Indovoices.com-Hujan deras di 15 menit sebelum kapal cepat Ocean 6 yang membawa kami, merapat ke dermaga Sri Bintan Pura, Tanjungpinang-Kepulauan Riau (Kepri) sempat membuat kecut hati. Jarum jam sudah menunjuk pukul 11.00 WIB lebih. Rencana untuk mengejar sholat Jum’at di Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, pun berantakan. Maklum untuk sampai ke lokasi kami harus berpindah dermaga, berganti alat angkut perahu motor. Meski jarak Tanjungpinang – Pulau Penyengat, hanya 2 mil laut dan bisa ditempuh 15 menit, namun hujan deras membuat gerak kami tidak leluasa.
Benar saja, ketika mendarat di Sri Bintan, kami terpaksa berteduh di warung di pojok dermaga. Sembari menunggu hujan reda, kami sempatkan mengisi perut yang mulai keroncongan. Dari warung itulah, kami semakin merasakan atmosfer Melayu. Ini melengkapi sensasi saat kapal cepat merapat ke daratan Tanjungpinang. Dari atas kapal yang berlabuh dari Dermaga Telaga Punggur (Batam), terlihat atap bangunan di wilayah dermaga lancip ke atas. Atap yang disebut “tunjuk langit”, atau masyakat di sana menyebut Belah Bumbu, sebagai ciri khas khas arsitektur bangunan melayu.
Suasana Melayu semakin kental, ketika pengunjung menginjakkan kaki di pelabuhan. Selain pernak-pernik atau asesori bangunan, suasana melayu tampak dari pakaian, serta dialek percakapan warga di sana. Berbalas pantun merupakan tradisi lisan yang terus hidup di tengah kehidupan warga setempat.
Kota Tanjungpinang merupakan destinasi wisata menarik. Di sini lah,pusat peradaban Melayu bersemayam, sesuai julukan Kepulauan Riau sebagai Bunda Tanah Melayu. Selain lumbung masyarakat suku Melayu, Kepulauan Riau tersohor pula sebagai negeri pantun.
Banyak destinasi wisata di sana, seperti Pulau Penyengat yang hanya berjarak kurang lebih 2 mil dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Pantai Trikora dengan pasir putihnya terletak kurang lebih 65 km dari Tanjungpinang, dan Pantai Buatan yaitu Tepi Laut yang terletak di garis pantai pusat kota sebagai pemanis atau wajah kota (waterfront city).
Pelabuhan Laut Sri Bintan Pura, disinggahi kapal-kapal jenis feri dan feri cepat (speedboat) untuk akses domestik ke pulau Batam dan pulau-pulau lain seperti Kepulauan Karimun dan Kundur, serta kota-kota lain di Riau. Pelabuhan ini juga merupakan akses internasional ke Malaysia dan Singapura.
Wisata Religi
Ada apa di Pulau Penyengat? Pulau kecil ini merupakan destinasi wisata unik di kawasan wilayah Kepulauan Riau. Jauh sebelum lokasi wisata lain yang banyak menarik minat pelancong di sekitar Pulau Bintan Kepri, Pulau Penyengat sudah lama dikenal, khususnya bagi para pelancong religi. Selain suasana alam yang masih asri, di sana ada masjid bersejarah, bangunan kuno dengan arsitektur Melayu, dan sejumlah makam anggota keluarga kerajaan. Diantaranya makam Ali Haji bin Raja Haji Ahmad, tokoh pencipta “Gurindam Dua Belas”.
Transportasi menuju Pulau Penyengat sangat mudah. Dari Batam (pelabuhan Telaga Punggur), pelancong bisa menggunakan kapal cepat dengan ongkos Rp65 ribu/orang. Jadwal operasinya terbilang padat. Sesuai jadwal yang terpampang di dermaga, kurang dari 30 menit, selalu ada kapal yang berlabuh.
Sesampai di Dermaga Sri Bintan, Tanjungpinang, perjalanan dilanjutkan dengan kapal perahu dengan ongkos Rp7 ribu per orang. Perahu regular ini, akan berangkat setelah penumpang genap 15 orang “Kalau mau cepat, kita bisa sewa. Tarifnya Rp200 ribu per perahu. Anda bisa bebas, kapan berangkat dan balik lagi,” kata Ismail, salah satu perantau pedagang yang tiap hari bolak-balik Tanjungpinang-Penyengat, yang kebetulan berangkat bareng ke Penyengat.
Selepas 15 menit perjalanan, pelancong akan disambut gerbang selamat datang. Di kiri dan kanan jalan dermaga, tersedia tempat makan yang menawarkan aneka menu kuliner. Termasuk menu tradisional Rujak Rajungan. Sementara untuk transportasi, tersedia cukup banyak pilihan, kecuali mobil roda empat. Di pulau yang luasnya sekitar 2 km2 itu, bisa dijelajahi dengan jalan kaki, menggunakan sepeda sewa (Rp. 30 ribu per jam), atau menyewa motor Rp. 50 ribu/jam.
Selepas dari gerbang masuk pulau, sekitar 50 meter, terlihat megah Masjid Raya Sultan Riau. Tempat ibadah ini berdiri sekitar tahun 1761-1812 . Awalnya, masjid ini berupa bangunan kayu sederhana berlantaikan batu bata dengan sebuah menara setinggi lebih kurang 6 meter. Dari jauh masjid ini tampak mencolok dengan cat warna kuning terang.
Belakangan, demikian cerita Sulaeman, pemandu wisata yang asli warga di sana, masjid ini direhab di tahun 1832 M untuk menyambut hari raya Idul Fitri di masa Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman. Beliau merupakan cucu dari Raja Haji Fisabililah, putra dari Raja Ahmad (Engku Haji Tua).
Selain masjid yang konon menggunakan material telur sebagai pengganti semen, di Penyengat bertebaran sejumlah makam tokoh-tokoh kerajaan. “Di sekitar makam Raja Ali, ada juga beberapa makam keluarga kerajaan lain, bahkan ada juga yang sampai saat ini belum diketahui namanya,” jelas Beni, pemuda yang yang bertugas sebagai penjaga makam. (jpp)