Pembangunan ekonomi yang massive di era pemerintahan Presiden Jokowi patut di apresiasi. Target Indonesia menjadi 10 besar negara maju pada tahun 2030, bukanlah isapan jempol. Pemerintahan Joko Widodo telah membuktikan dan melakukan banyak hal.
Perkembangan menjadi negara maju butuh pembangunan dalam banyak aspek, salah satunya infrastruktur dasar berupa jalan Tol
Infrastruktur fisik yang akan membuka kawasan pertumbuhan ekonomi baru, memperpendek jarak tempuh, meningkatkan daya saing dengan menekan ekonomi berbiaya tinggi.
Pembangunan infrastruktur, umumnya berada di bawah payung Proyek Strategis Nasional (PSN), dalam pelaksanaanya memerlukan lahan. Tidak sedikit lahan yang masuk dalam proyek PSN merupakan tanah warga
Lahan lahan milik warga masyarakat tersebut akan mendapat kompensasi pembayaran ganti rugi. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan menyampaikan istilah ganti rugi dirubah menjadi ganti untung, dimana masyarakat bisa merasakan dampak keuntungan ekonomi dari pembebasan lahan.
Proses pembebasan lahan tersebut dikenal dengan Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum, diatur dalam UU No 2 tahun 2012 dan diperbarui oleh UU Cipta Kerja tahun 2020.
Sebelum UU no 2 tahun 2012 diberlakukan, seringkali pengadaan tanah terkendala terkait sengketa kepemilikan dan sengketa keberatan atas nilai ganti rugi objek pengadaan. Tidak sedikit proyek berjalan ditempat karena persoalan tersebut yang butuh waktu penyelesaian. Setelah UU No 2 /2012 diberlakukan, jika terjadi kasus sengketa maka uang ganti pembebasan lahan akan dititipkan di Pengadilan Negeri dalam naungan wilayah hukumnya. Dalam prosesnya dikenal dengan nama Konsinyasi yang dapat diserahkan kepada siapapun yang berhak sesuai keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Selanjutnya Proyek dapat terus dilaksanakan tanpa bergantung waktu penyelesaian status hukum di lahan yang sedang bersengketa.
Pengadaan tanah mutlak butuh payung hukum Undang Undang , tanpa UU akan berhadapan langsung dengan UUD 45 yg melindungi hak dasar warga negara, sehingga berpotensi Merampas hak warga negara secara sewenang wenang dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)
Dalam pasal 3 UU 2 tahun 2012 menyebutkan bahwa proses pengadaan tanah tetap menjamin hak hak warga negara yang terdampak. Tidak dibenarkan mengambil secara sewenang wenang.
Kesewenangan bisa didefinisikan dalam dua hal, yaitu merampas paksa secara fisik tanpa ganti rugi, dan/atau kebijakan terstruktur yang membiarkan putusan incracht tidak dilaksanakan, sehingga menunda/menghambat pembayaran ganti rugi.
Kementerian BPN/ATR dalam proses pembebasan lahan PSN berstatus sebagai Ketua Tim Pengadaan Tanah, umumnya di delegasi kepada kantor dinas pertanahan di bawahnya
Dalam kasus pengadaan tanah tol jatikarya, lahan warga seluas 4,2 hektar yang terkena proyek jalan tol telah dana telah di konsinyasi sejak tahun 2017, karena sebelumnya sempat berstatus sengketa kepemilikan. Namun setelah diputus oleh MA melalui PK II No 815 PK/Pdt/2018, secara sah dan berkekuatan hukum tetap tanah tersebut milik warga Jatikarya. PUPR sebagai pelaksana proyek jalan tol telah menitipkan uang ganti untung yang layak untuk lahan tersebut kepada Pengadilan Negeri Bekasi.
Tetapi kemudian persoalan di lapangan menjadi tidak sesederhana itu dalam proses penyerahan dana konsinyasinya.
Sesuai UU 2 tahun 2012 serta aturan pelaksanaannya PP 19 tahun 2021 dan Peraturan Menteri Nomer 19 tahun 2021, untuk penyerahan uang ganti rugi diperlukan putusan BHT disertai surat pengantar dari ketua tim pengadaan tanah (dalam hal ini Kepala Kantor BPN/ATR). Surat pengantar dengan merujuk hasil kutipan isi putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Sudah 2 tahun sejak keluarnya PK II MA No 815 PK/Pdt/2018 hingga penghujung tahun 2021 ini, pihak Kementerian BPN tidak memberikan surat pengantar tersebut, padahal sudah dimohon berulangkali kepada Kepala BPN Bekasi maupun kepada menteri BPN Sofyan Djalil.
Tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Ketua Panitia Pengadaan Tanah Tol jatikarya tidak menerbitkan surat pengantar untuk mengambil uang konsinyasi tersebut, bahkan menteri Sofyan Djalil dan para Dirjen memilih diam dalam perkara tanah warga yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut. BPN tidak menghormati putusan hukum MA.
Alhasil Kementerian ATR/BPN secara terstruktur , MULAI DARI MENTERI SOFYAN DJALIL, PARA DIRJEN, KANWIL & Kepala Kantor BPN telah sewenang-wenang terhadap hak tanah warga Jatikarya. Karena sudah 2 tahun “MERAMPAS” tanah warga, tanpa merealisasi pembayaran uang konsinyasi. Kesewenangan yang diduga telah melanggar Hak Asasi Manusia.
Ironisnya fakta tersebut di atas dilakukan oleh Kementerian yang selalu meng-klaim membela kepentingan masyarakat, tidak pernah sewenang wenang dan selalu patuh perundang undangan.
Pada kenyataanya.
Peraturan Menteri Nomer 19 tahun 2021 tentang pengadaan tanah yang dibuat ATR/BPN sendiri telah dilanggar dengan sengaja dan terang benderang.
DETAIL DAN INVESTIGASI ADA PADA BAGIAN TULISAN BERIKUTNYA
Sofyan Djalil silahkan mengklarifikasinya.