Indovoices.com-Pada Rapat Terbatas Bidang Politik, Hukum dan HAM (Ratas Polhukam), Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mengintroduksi penggunaan label baru seperti frasa “manipulator agama” sebagai pengganti terminologi “radikalisme.”
Tentu saja ini menarik, mengingat selama ini label “radikalisme” sering dikritik karena dinilai kurang tepat dipergunakan lantaran sarat kepentingan agenda global yang menyudutkan agama tertentu.
Sehingga, penting untuk disampaikan narasi tujuan terkait agenda strategis Indonesia ke depan terkait isu deradikalisasi atau “deideologisasi” secara clear and distance. Untuk itu penting dirumuskan definisi, kriteria dan indikator terhadap subject-matter isu yang hendak disampaikan kepada publik.
Terkait hal itu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta masyarakat untuk ikut mencegah penyebaran paham radikal di lingkungan masing-masing.
Menurut Menko Polhukam bahaya laten paham radikal jika terus dibiarkan akan sangat mudah merusak persatuan dan kesatuan bangsa sehingga paham-paham radikal tersebut sudah seharusnya harus dicegah sedini mungkin.
“Mulai dari lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar kita, cegah masuknya paham radikal yang dapat merusak persatuan negara ini,” ujar Mahfud di sela kegiatan Jalan Sehat Nasional (JSN) Khatulistiwa Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Pontianak, Kalimantan Barat, belum lama ini.
Sementara, Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi berencana menggelar penataran bagi ustad-ustad atau penceramah. Tujuannya untuk mencegah tersebarnya ajaran-ajaran provokatif kepada masyarakat lewat masjid-masjid atau tempat ibadah lainnya.
“Saya akan mengadakan penataran bagi ustad-ustad atau penceramah yang mau kami ajak ngomong tentang masalah toleransi, radikalisme, Pancasila. Nanti diberi sertifikat,” ujar Fachrul Razi di Jakarta, Senin (28/10/2019).
Menag mengatakan, langkah tersebut diambil untuk menunjukkan keseriusannya mencegah paham-paham radikal yang berkembang di tengah masyarakat. “Walaupun jumlah ustad/penceramah provokatif itu sedikit secara kuantitas, tapi secara kualitas tetap berbahaya,” ujar Fachrul Razi.
Sedangkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengingatkan para Aparatur Sipil Negara (ASN) agar tetap satu pemikiran untuk NKRI. Bahkan, mantan Kapolri ini tengah mengkaji program untuk pencegahan ASN dari paham radikalisme.
“Prinsipnya begini, kita tidak ingin ASN memiliki pemikiran di luar konsep negara,” ucap Tito usai pelantikan Praja muda di kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Kamis (31/10/2019).
Menurut Mendagri, Indonesia memiliki dasar Pancasila dan UUD 1945. Dua dasar pemikiran tersebut harus diterapkan kepada para ASN. Karena dengan Pancasila dan UUD 1945 modal paling dasar bagi Indonesia untuk menjadi kuat sampai dengan saat ini
“Kesetiaan pada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 45, kemerdekaan dan pluralisme, itu yang membuat bangunan NKRI ini kokoh,” jelas Tito.
Untuk mengulas tuntas tentang “Upaya Deradikalisasi”, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komkeminfo) menggelar Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 (Dismed FMB’9) dengan tema “Mengedepankan Strategi Deradikalisasi” di Kantor Kemkominfo, Jakarta, Senin (11/11/2019). Akan hadir sebagai narasumber Menko Polhukam Mahfud MD, Menag Fachrul Razi dan Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Soedarmo.
Dalam FMB’9 kali ini, dari sisi Menko Polhukam di antaranya akan mengulas narasi sosiologis atas latar belakang munculnya tren global maupun nasional terkait fenomena gerakan atau politik radikal yang mengatasnamakan agama (politik identitas).
Selanjutnya, memaparkan defisini dari politik radikal, seperti apa kriterianya dan apa saja indikator-indikatornya hingga bisa dikatakan radikal. Berikutnya penjelasan mengenai agenda Deradikalisasi secara jernih, jelas dan pilah, apa dasar hukum program Deradikalisasi dan program deradikalisasi atau deidiologisasi akan mengambil bentuk apa saja dan bagaimana pelaksanaan dari program ini?
Lalu, apakah ada terminologi baru pengganti politik radikal seperti yang disebutkan presiden adalah “manipulator agama”? Jika manipulator agama menjadi istilah baru, seperti apa definisi, kriteria, dan indikator-indikator dari “manipulator agama”.
Untuk Menteri Agama, akan memaparkan potret fenomena dari praktik keagamaan dalam beberapa waktu terakhir. Sejauh mana fenomena intolenrasi keagamaan telah menjadi ancaman serius bagi praktek kebhinekaan di Indonesia.
Kemudian, bagaimana membenahi iklim keagamaan yang cenderung eksklusif, sehingga sering sekali memantik sikap intoleran terhadap pemeluk agama lain. Serta, memaparkan program Deradikalisasi. Seperti apa bentuk implementasi yang akan dijalankan Kementerian Agama dari program Deradikalisasi.
Pada tahap berikutnya, menjelaskan kriteria paham radikalisme seperti apa, serta penting ditekankan bahwa radikalisme bukan disematkan kepada agama tertentu. Langkah-langkah apa saja yang akan dilakukan Kementerian Agama dalam memberantas paham-paham radikalisme. Termasuk di dalamnya bagaimana membina ormas-ormas agama agar tidak terpapar faham radikalisme.
Yang tak kalah penting, memaparkan aturan berpakaian Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagaimana telah diatur dalam Perpres No. 71 Tahun 2018. Aspek lain selain Perpres, berpakaian ASN juga memperhatikan aspek kerapihan, kelincahan, dan kesesuaian.
Untuk Kementerian Dalam Negeri akan memaparkan seperti apa bentuk implementasi dari Mendagri dalam program Deradikalisasi. Lalu, apa kebijakan dari Mendagri untuk menangkal paham radikalisme di Indonesia, dan upaya dalam mencegah ASN yang terpapar radikalisme.
Selanjutnya memaparkan aturan berpakaian di Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Dalam Negeri RI No. 6 Tahun 2016.
Terakhir, memaparkan bagaimana kebijakan Mendagri di daerah dalam mencegah meluasnya paham radikalisme. Memetakan daerah untuk melihat daerah yang berpotensi terpapar radikalisme. (jpp)