Gonjang-ganjing soal saham Freeport yang bikin repot, sudah berlangsung sejak beberapa bulan terakhir ini. Di satu sisi, pemerintah mengungkapkan keberhasilannya mengakuisisi saham Freeport sebesar 51 persen. Di sisi lain, pihak oposisi menuduh pengakuan tersebut hanyalah pencitraan disebabkan belum secara resmi ditandatanganinya pengalihan saham tersebut.
Namun hari ini, tanggal 21 Desember 2018, telah menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pasalnya PT Inalum (Persero) sudah membayar saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Dengan demikian, saham Indonesia atas PTFI telah sah menjadi 51%.
Melalui pengumuman yang disampaikan oleh Jokowi sore hari ini, dihadiri oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin, CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson.
“Saya baru saja menerima laporan dari seluruh menteri terkait, dari Dirut Inalum dan dari CEO dan dirut PT Freeport McMoRan, disampaikan bahwa saham PT Freeport sudah 51,2% sudah beralih ke PT Inalum dan sudah lunas dibayar,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kesempatan tersebut.
Seperti diketahui, dari 100% saham PTFI, pemda Papua akan memiliki 10%, Inalum 41.2%, dan perusahaan tambang Amerika Serikat Freeport McMoRan sebesar 48.8%. Namun gabungan antara Inalum dan Pemda Papua akan menjadikan entitas Indonesia menjadi pengendali PTFI.
Bila kita flashback ke belakang, upaya mendapatkan saham Freeport bukanlah perkara mudah. Butuh waktu yang panjang, setidak 3,5 hingga 4 tahun agar dapat terlaksana seperti pengakuan yang disampaikan Jokowi.
“Ini kan namanya proses itu mesti pertama-tama harus head of agreement, nanti ditindaklanjuti ke-2, ke-3. Tapi kesepakatan itu perlu saya sampaikan ya, ini proses panjang hampir 3,5 tahun hampir 4 tahun kita lakukan dan alot sekali,” ujar Jokowi di gedung akademi bela negara NasDem, Jl Pancoran Timur II, Jakarta Selatan, Senin 16 Juli 2018.
Untuk menunjukkan keseriusannya, Jokowi pun memberikan mandat kepada PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) melalui kementerian BUMN, untuk membeli saham dari PT. Freeport Indonesia. PT Inalum sendiri merupakan induk dari perusahaan tambang negara antara lain PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukit Asam Tbk dan PT Timah Tbk. Dan kini, Inalum juga menjadi induk dari PT Freeport Indonesia (PTFI).
Hal ini sesuai dengan tugas dan kepercayaan yang diberikan pemerintah kepada Inalum yaitu menguasai cadangan strategis pertambangan nasional, meningkatkan nilai tambah industri pertambangan melalui hilirisasi, dan menjadi perusahaan kelas dunia.
Untuk membayar saham PTFI, Inalum telah menerbitkan obligasi global. Tak main-main, dana yang diambil dari pasar ini mencapai US$ 4 miliar.
Puncaknya adalah hari ini di mana pemerintah telah sah mencaplok 51 saham Freeport. Hal ini juga sekaligus mengakhiri 51 tahun tidak pernah mayoritasnya saham kepemilikan Indonesia di PT Freeport Indonesia (PTFI). Sejak beroperasi di Indonesia atau tepatnya tahun 1967, kontrak karya (KK) pertama ditandatangani. Kepemilikan Indonesia atas Freeport hanya menggenggam saham sekitar 9,36% melalui PT Inalum (Persero).
Pengambilalihan saham tersebut memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia. Tidak saja dari segi ekonomi namun juga dari segi politis.
Dari segi ekonomi, pemerintah berpotensi mendapatkan penerimaan yang cukup besar dari pajak penghasilan (PPh) hingga royalti. Untuk PPh misalnya, potensi penerimaannya mencapai US$ 822 juta sampai dengan 2041. Freeport juga masih memiliki cadangan emas dan tembaga bawah tanah yang berlimpah.
Dari total cadangan mineral di Tambang Grasberg yang mencapai 3,8 miliar ton, sebanyak 1,7 miliar ton telah diambil Freeport.
Jumlah cadangan emas dan tembaga yang tersisa diperkirakan masih 2,1 miliar ton atau setara dengan 2400 triliun rupiah. Keseluruhan cadangan tersebut diperkirakan baru akan habis di tahun 2054. Cadangan emas dan tembaga di Grasberg adalah salah satu yang terbesar di dunia.
Malah menurut salah satu berita yang saya baca, menyebutkan jika disetarakan dalam bentuk barang, kekayaan Rp 2.400 triliun ini bisa untuk membeli 2,4 juta unit mobil Alphard seharga Rp 1 miliar. Atau jika ingin yang lebih mewah, ini setara dengan membeli 240 ribu unit mobil Ferrari seharga Rp 10 miliar. Jika panjang satu mobil Alphard adalah 4 meter, maka saat dijejerkan perlu area sepanjang 9,6 juta meter atau 9600 km. Ini sama dengan jarak dari Jakarta ke Afrika, Luar Biasa bukan?.
Selain itu sebagai pemilik saham terbesar, pemerintah juga dapat turun tangan untuk menyelesaikan masalah 8300 karyawan Freeport. Yang melakukan mogok kerja dan di-PHK secara sepihak oleh perusahaan beberapa waktu lalu, yang hingga kini belum mendapatkan keputusan yang jelas terkait nasib mereka.
Sedangkan dari sisi politis, sahnya pengembalian Freeport ke Pangkuan Ibu Pertiwi, juga menandai kembalinya kedaulatan energi kepada Indonesia dalam pengelolaan tambang di Bumi Papua. Hal ini menyusul berbagai blok migas yang sudah berhasil di ambil alih pengelolaannya. Sekaligus juga menepis tudingan miring dari orang-orang yang pro asing dan tidak senang terhadap keberhasilan pemerintah hingga menyebut tindakan pemerintah sebagai pencitraan saja.
Berpuluh tahun, kekayaan alam bangsa Indonesia dikelola oleh bangsa asing, tepatnya sejak orde baru 1967. Namun hanya di masa Jokowi lah satu persatu berhasil diambil-alih kembali. Keberhasilan ini sekaligus merupakan kado yang dipersembahkan Jokowi di penghujung tahun ini untuk Rakyat Indonesia.
Jadi bila masih ada capres yang masih berkoar-koar ingin mengembalikan kedaulatan bangsa, baru beretorika ingin merebut kekayaan bangsa Indonesia dari asing, mungkin capres itu kudet (kurang update) dan kuper (kurang pergaulan). Karena apa yang disampaikannya semua sudah dikerjakan oleh Jokowi. Mungkin sampai berakhirnya pemerintahan Jokowi di 2024 nanti, yang belum diambil alih tinggal KFC dan Mc Donald saja, masa itu mau diambil alih juga sih? Ah ngomongin KFC dan Mc Donald, jadi lapar nih. Makan dulu yuk!…