Kekuasaan yang belum berumur 1 tahun ini sedang dalam kondisi solid. Power Jokowi masih efektif, termasuk dalam hal kontrol terhadap Polri dan TNI. Yang terpenting lagi penguasaan dominasi di parlemen sudah sepakat tanpa oposisi. Issue gonjang ganjing menggulingkan pemerintah, narasi-narasi rusuh, apalagi makar, itu recehan saja yang justru membikin resah masyarakat. Hal seperti itu dimasa pandemi bisa mudah dimanfaatkan oleh orang atau golongan yang kecewa atau sedang terpuruk ekonominya.
Mereka yang bikin onar berencana makar maupun yang ikut-ikutan itu tidak punya tujuan konkrit. Tidak ada alasan subjektif maupun kondisi objektif yang saat ini mendorong orang untuk menggulingkan kekuasaan. Tujuannya bikin resah dan rusuh yang pada akhirnya yang dirugikan warganya sendiri.
Kalau memang ada niat menggulingkan kekuasaan itu “masih bagus” daripada bikin sekedar rusuh. Celakanya lagi mereka otak keonaran itu pun tidak punya niat ngambil kekuasaan. Inilah yang jauh lebih jahat. Cuma mau ngambil keuntungan disela kesibukan Pemerintah mengatasi Pandemi Corona
Jadi sasarannya bukan pemerintah, tapi justru warga kelas netizen
Mesti dibedakan antara yang jelas tujuannya dan yang gak jelas. Yang jelas tujuannya adalah mereka yang setidaknya siap menanggung akibatnya. Memprovokasi orang untuk ber-kontroversi, resikonya ada pada pelaku. Celaka itu mereka ini kaum siluman yang tidak mau tanggung jawab atas segala resiko kerusakan yang terjadi.
Contoh jelasnya bisa kita lihat bagaimana Ruslan Buton (RB) yang sudah punya modal sakit hati pada pemerintah didaulat menjadi martir. Usai direspon aparat muncul gerakan mendukung RB di berbagai daerah. Sakit hati itu ditularkan secara masif membentuk “kerusakan” dan “keresahan” baru. Pertanyaan berikutnya, cukupkah fenomena RB untuk melengserkan Pemerintah? Opini kedzoliman pemerintah yang dituduhkan ke RB mudah dipatahkan oleh kedzoliman masa lalu RB. “Kerusakan” terjadi di tingkat massa lokal plus purnawirawan sealiran.
Contoh lain lagi perihal seminar pemakzulan Presiden yang “pura-pura” nyata akan dilaksanakan membonceng diruang diskusi mengatas namakan institusi pendidikan. Moment acara tersebut hanya butuh viral dan diperbicangkan kontroversinya. Tidak butuh dilaksanakan, karena tujuannya membangkitkan “keresahan”. Catatannya, “kerusakan” yang terjadi dikalangan sebagian intelektual ditambah mahasiswa.
Kasus salah judul dan asumsi media detik yang menghujam kebijakan prakondisi New Normal teramat prematur untuk menjadi vonis kesalahan kebijakan. Untuk urusan yang satu ini hanya urusan ratting dan viewer terkait bisnis media. Memandulkan hidden agenda media lebih efektif dilakukan dengan menghadapkan detik di “pengadilan” media. Berapa banyak media lain yang menyalahkan dibanding meng-Amini menjadi presepsi obyektif. Catatan ‘kerusakan” yang terjadi ada pada di opini para netizen yang diobok-obok logikanya.
Kerusakan demi kerusakan diciptakan secara sporadis terjadi dan siapa yang bertanggung jawab itu bukan urusan para kreatornya. Itulah modus para siluman.
Akhirnya didapatlah kesimpulan, bahwa Gerakan turunkan Jokowi menjadi tidaklah efektif ketika mereka para otak maupun pelaku tidak ada niat memegang kekuasaan saat sukses menurunkan Rezim. Tujuannya hanya untuk membuat kerusakan di beberapa kelas sosial. Mereka yang sesungguhnya sadar bahwa cara efektif melengserkan Pemerintahan adalah dengan :
1. Menguasai Parlemen
2. Satukan Parpol Parpol dalam satu semangat suksesi
3. Pengaruhi TNI/Polri utk argumentasi politik.
Jika ke 3 kiat di atas tidak mampu dilakukan, gerakan massa sebanyak apapun akan mudah dipatahkan dengan pendekatan karakter politik Jokowi dalam meluluhkan bara api. Bukan dengan guyuran air yang hanya memadamkan sesaat, tetapi dengan menjauhkan kobaran dari angin agar tak merembet dan api padam sendiri kehabisan energi.
Itulah Jokowi. Dia yang sudah berhitung 10 langkah ke depan disaat kita masih melakukan 2 langkah terdekat.
Salam Indonesia Utuh
Dahono Prasetyo
Depok 4/06/2020