Indovoices.com –Kepolisian Daerah (Polda) Maluku menyatakan dua anggota polisi yang diduga terlibat kasus penjualan senjata api (senpi) dan amunisi kepada seorang tersangka yang tertangkap di Polres Bintuni, Papua Barat akan diproses pidana dan kode etik. “Yang jelas kami sedang memproses mereka secara pidana maupun pelanggaran kode etik,” kata Kabid Humas Polda Maluku Komisaris Besae M Roem Ohoira, di Ambon.
Menurut dia, selain dua oknum anggota berpangkat bripda yang telah ditahan, polisi juga menahan warga sipil yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. Polisi masih terus melakukan pendalaman terhadap perkara ini, sehingga belum bisa dirilis secara terbuka kepada publik.
Terungkapnya kasus dugaan penjualan senjata api dan amunisi berawal dari Polres Bintuni (Papua Barat) menahan seorang warga yang mengaku membelinya di Kota Ambon. “Berdasarkan hasil pengembangan pemeriksaan terhadap pelaku yang ditahan di Polres Bintuni, dia mengaku kalau senjata api dan amunisi tersebut dibeli dari Ambon,” ujarnya.
Karena itu, Kapolda Maluku Inspektur Jenderal Refdi Andri memerintahkan Kapolresta Ambon dengan didukung oleh Polda Maluku melakukan koordinasi dengan Polres Bintuni dan Polda Papua Barat.
Data yang dihimpun, pada awal Agustus 2017 lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ambon memvonis Yunus Patawari dan Syahrul Nurdin alias La Ode Igadolun selama tiga tahun penjara, karena terbukti sebagai perakit dan penjual senjata api rakitan jenis pistol serta ratusan butir amunisi ke Papua.
Hal yang memberatkan terdakwa dihukum penjara, karena Yunus Pattawari secara berulang kali membuat senjata api rakitan, sedangkan rekannya Syahrul Nurdin telah mengirim senjata api serta ratusan amunisi tersebut sebanyak delapan kali ke Manokwari, Papua Barat melalui anak buah kapal KM Ngapulu.
Sedangkan yang meringankan adalah kedua terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya dan mereka belum pernah dihukum.
Dalam persidangan, kedua terdakwa mengakui senjata api dan amunisi dijual ke Papua atau Papua Barat, karena biasanya digunakan sebagai mahar atau mas kawin.
Modus seperti ini juga sama dengan para pelaku jaringan Filipina yang memasok senjata api dan amunisi kepada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua atau Papua Barat dan telah diungkap Polda Papua Barat.
Terdakwa Syahrul Nurdin awalnya memesan senjata api rakitan laras pendek dari rekannya Yunus yang bekerja di bengkel dengan harga satu pucuk senjata api Rp750 ribu dan total senjata api yang dibuat sebanyak sepuluh pucuk.
Dia juga mengaku telah membeli amunisi dari seorang oknum anggota Denzipur V bernama Adi alias Hadi alias Andika Hadi alias Andi.
Peluru tajam yang dibeli dari Adi adalah jenis SS1 kaliber 5,56 milimeter sebanyak 15 sisir atau 150 butir seharga Rp 10 ribu per butir, sedangkan enam butir lainnya kaliber 38 mm spesial dari seseorang bernama Jefry seharga Rp20 ribu per butir.
Senjata rakitan dan amunisi buatan Pindad ini dikirim terdakwa kepada seseorang di Manokwari, Papua Barat bernama Husen dan tujuannya akan dipakai sebagai mas kawin.
Terdakwa mendatangi Pelabuhan Yos Sudarso Ambon, lalu menitipkan paketnya bertuliskan ‘Untuk Kakakku’ tanpa ada nama penerima tersebut kepada seorang buruh pelabuhan bernama Amirudin alias Rois untuk dititip pada anak buah kapal KM Ngapulu.
Rois mendapatkan bayaran bervariasi di setiap kali pengiriman paket antara Rp200 ribu hingga Rp500 ribu dan dia akan meminta nama serta nomor telepon genggam ABK yang dititipkan barangnya. Terdakwa pun akhirnya mengaku senpi ini dijual lagi oleh Husen di Manokwari seharga Rp5 juta dan Rp30 ribu per butir untuk amunisibaru hasilnya dibagi dua.(msn)