Indovoices.com –Penggelapan Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) terjadi di SMKN 53 Jakarta Barat. Kasus korupsi ini terungkap setelah Kejaksaan Negeri Jakarta Barat melakukan penyelidikan.
Kompas.com telah merangkum sejumlah fakta terkait kasus ini.
Dua tersangka
Kejari Jakbar sejauh ini sudah menetapkan dua tersangka dalam penggelapan dana BOP tahun anggaran 2018 ini. Seorang tersangka adalah W, yang menjabat sebagai Kepala Sekolah SMKN 53 Jakbar saat penggelapan itu dilakukan.
Satu tersangka lainnya adalah MF, seorang staf Suku Dinas Pendidikan 1 Jakarta Barat. W dan MF diduga bekerja sama menggelapkan dana BOP tahun 2018 yang total anggarannya mencapai Rp 7,8 miliar.
Namun, total anggaran yang digelapkan masih dalam proses perhitungan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Modus korupsi
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Dwi Agus Arfianto mengungkapkan modus korupsi dana BOP ini.
“Modusnya Saudara W mantan kepala sekolah itu memberi kode password kepada MF untuk bisa mengakses aplikasi dana BOP,” kata Dwi kepada Kompas.com, Selasa (25/5/2021).
“Padahal, sebenarnya satu-satunya yang boleh pegang password adalah kepala sekolah,” tambah Dwi.
Setelah mendapat password untuk mengakses aplikasi dana BOP, MF pun mulai melakukan penggelapan.
“Misalnya dia membuat SPJ fiktif dalam melakukan pengadaan barang,” kata Dwi.
Setelah berhasil melakukan penggelapan, MF pun menyetorkan sejumlah uang kepada W.
Digunakan untuk membeli vila di Puncak
Dwi mengungkapkan bahwa MF menggunakan uang hasil korupsi dana BOP itu untuk memperkaya diri. Salah satunya adalah membeli sebuah vila di Puncak, Bogor, Jawa Barat.
“Si MF, salah satu yang kelihatan agak signifikan dibelikan vila di daerah Puncak,” ujar Dwi kepada Kompas.com.
“Yang lain ya (digunakan) untuk kebutuhan sehari-hari yang bersangkutan,” sambungnya.
Dibagikan ke guru
Sementara itu, kepala sekolah W menggunakan sebagian dari dana korupsi itu untuk memberi honor tambahan bagi para guru SMKN 53.
Jumlah honor tambahan tersebut berkisar antara Rp 1 juta-Rp 2 juta per orang.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Reopan Saragih mengatakan, para guru menyatakan siap mengembalikan uang hasil korupsi itu kepada negara.
“Guru-guru yang harusnya tidak boleh menerima horor mereka ingin mengembalikan. Nilainya kecil, hanya Rp 1 juta-Rp 2 juta,” ujar Reopan, Selasa kemarin.
Reopan menyebutkan, para guru tidak tahu bahwa honor tambahan dari W adalah hasil penggelapan dana BOP. Oleh karenanya, mereka tidak akan dijerat sebagai tersangka.
“Kan kasihan juga, mereka juga punya iktikad baik (mengembalikan) untuk pemulihan keuangan negara, walaupun nilainya tidak maksimal,” kata Reopan.
Terancam 12 tahun penjara
Atas perbuatannya, W dan MF kini sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Keduanya dikenakan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Ancaman hukumannya mencapai 20 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Kejari Jakbar masih terus bekerja mengumpulkan bukti tambahan untuk menjerat dua pelaku.
Sampai Senin (24/5/2021) , penyidik Kejari Jakbar melakukan penggeledahan di Kantor Sudin Pendidikan 1 Jakbar serta di Gedung Sekolah SMKN 3 Jakbar.
Tak ditahan
Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, W dan MF belum ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Barat.
Alasannya, saat ini pihak kejaksaan masih menunggu hasil pemeriksaan kerugian negara dari BPK.
“Rp 7,8 miliar itu total anggaran, yang digelapkan kami perkirakan setengahnya. Tapi kami masih menunggu hasil audit BPK,” kata Reopan.
W dan MF pun masih berkantor seperti biasa sampai Selasa kemarin.
Hal ini disampaikan Kepala Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat (Jakbar) Aroman.
Menurut dia, W masih berprofesi sebagai guru meski tak lagi menjadi kepala sekolah. Adapun MF saat ini bertugas di Kantor Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.
“Status Pak W saat ini masih sebagai guru dan Pak MF sebagai staf di Kasatlak Kecamatan Taman Sari,” kata Aroman, Selasa kemarin.