Adalah Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang pertama kali menggulirkan wacana ini. Dia mengatakan, jika UU tak selesai-selesai dibahas oleh DPR, maka para anggota DPR tak bisa digaji.
“Integritas sesuatu sebuah given di setiap orang, hari ini kita bicara seperti apa anggota DPR, wakil rakyat perform di DPR, integritas itu being honest,” ujar Saut saat diskusi di Hotel Bidakara, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa 4 Desember 2018.
“Jadi kalau ada Undang-undang disahkan DPR itu honest nggak sih? Orang yang nggak berintegritas itu nggak bisa digaji. Jadi, kalau DPR nggak selesai-selesai bahas UU, jangan digaji pak ketua,” imbuhnya.
Sebagai catatan mengenai buruknya kinerja DPR, pada masa sidang 2018/2019, dari 24 Rancangan Undang-undang (RUU) yang seharusnya dibahas oleh DPR, hanya 16 yang masuk dalam pembahasan, dan hanya 3 yang berhasil disahkan menjadi UU. Hal ini disorot betul oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang menyebutkan bahwa kinerja DPR, terutama di tahun ini benar-benar kacau.
Itu kita masih belum berbicara soal tingkat kehadiran anggota dewan yang lebih amburadul. Dalam berbagai rapat sidang yang diselenggarakan oleh DPR, ternyata banyak anggota dewan yang memilih tidak hadir. Tidak jarang, yang hadir kurang dari separuh jumlah keseluruhan anggota DPR dalam berbagai sidang di DPR selama ini.
Sebagai contoh, dalam rapat sidang paripurna kesembilan yang diselenggarakan pada tanggal 3 Desember 2018 kemarin. Rapat tersebut membahas tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (SSKCKR) dan Larangan Minuman Beralkohol itu hanya dihadiri oleh 151 dari total 560 anggota dewan alias hanya 27 persen.
Mundur ke sidang paripurna sebelumnya yang membahas tentang RUU pesantren juga tak jauh berbeda. Dari 560 anggota dewan, hanya 164 yang hadir alias tingkat kehadirannya hanya mencapai 29 persen.
Namun lucunya salah satu anggota dewan, yakni Wakil Ketua DPR Fadli Zon dari Gerindra meminta agar rakyat memaklumi kinerja buruk, bobrok, jeblok, dan amburadul DPR ini
Dirinya berasalan bila penurunan kinerja anggota DPR ini merupakan hal yang wajar karena di tahun politik ini, banyak anggota dewan yang sibuk berkampanye untuk mendaftarkan diri kembali menjadi calon anggota legislatif periode berikutnya.
Namun Fadli Zon lupa atau bisa jadi mendadak dungu. Bila ketidakhadiran anggota dewan itu bukan hanya menjelang pileg atau memasuki tahun politik saja. Bahkan di tahun-tahun sebelumnya juga lebih kurang sama. Berbeda ceritanya bila sejak awal para anggota dewan sudah rajin masuk sidang, selalu hadir dalam rapat serta mereka sudah berupaya sebaik mungkin, dan ternyata hasil UU yang dihasilnya tetap minim, itu mungkin bisa kita maklumi.
Namun kalau dari awal para anggota dewan yang terhormat itu sudah nggak niat kerja, nggak mau ikut rapat, lha apanya yang mau dimaklumi? Bahkan sekadar datang, duduk, diam, tanpa menyimak isi rapat pun tidak mampu mereka lakukan. Kurang bajingan bagaimana lagi mereka ini?
Jadi jujur saja, saya sangat mendukung wacana KPK ini. Namun jangan sekedar hanya wacana, kalau bisa dijadikan sebagai usulan dan direalisasikan sesegera mungkin.
Wacana dari KPK tentang anggota DPR tak digaji jika UU tak tuntas ini disambut oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet). Dia setuju asalkan ketentuan itu juga berlaku untuk pemerintah. Alasannya, pemerintah juga terlibat dalam pembuatan UU.
“Soal UU saya setuju omongan Pak Saut yang bilang kalau ada anggota DPR yang nggak mau ngerjain UU nggak usah di gaji. Tapi masalahnya hambatan datang dari pemerintah, karena konstitusi kita menulis, melahirkan UU itu DPR bersama pemerintah,” tutur Bamsoet.
Dan lagi-lagi saya setuju, bila bisa diterapkan di institusi-institusi pemerintah baik di pusat hingga ke daerah, maka ini akan menjadi sebuah langkah yang luar biasa untuk menciptakan pemerintahan yang berbasis kinerja.
Saya masih ingat, dulu di masa gubernur DKI yang sebelumnya juga sudah diterapkan cara yang mirip seperti itu. Sebelumnya tunjangan kerja daerah (TKD) pegawai negeri sipil (PNS) di DKI Jakarta disesuaikan berdasarkan pangkat dan golongan.
Namun kemudian dirubah oleh Ahok, TKD disesuaikan dengan kinerjanya. Pasalnya banyak pegawai yang dinilai berkinerja rendah namun mendapatkan TKD tinggi. Namun sayangnya setelah berganti gubernur, TKD berbasis kinerja ini kehilangan gaungnya, entah masih diterapkan atau diam-diam malah sudah dihapus oleh gubernur saat ini?
Nah kembali ke soal usulan dari KPK tersebut, meskipun saya setuju hal tersebut diterapkan kepada pemerintah, tidak hanya pemerintah pusat namun hingga ke daerah. Namun tetap saja harus dimulai dari DPR maupun DPRD dulu. Karena merekalah yang kinerjanya paling amburadul dan mendapat sorotan dari masyarakat luas selama ini. Jadi mari kita dukung wacana KPK agar dapat menjadi usulan bahkan direalisasikan sesegera mungkin. Setuju?