Indovoices.com -Penangkapan Kepala Lapas Sukamiskin jadi pembuka problematik yang tak terduga, idealnya, lapas bikin napi terbina. Tapi jadi ladang proyek dan ‘bancakan’ semata.
Kamar itu berpendingin udara. Dengan sejumlah set furniture, ada ranjang empuk, lemari dan rak yang menempel di dinding, washtafel, toilet dengan shower dan air panas, dispenser, serta televise layar datar berukuran besar. Sepintas, kamar ini seperti sebuah apartemen tipe studio bergaya minimalis.
Namun jangan salah. Ini merupakan sel narapidana milik Fahmi Darmawansyah di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Ia mendekam di salah satu sel Lapas Sukamiskin akibat terjerat perkara suap proyek satelit monitoring di Bakamlapada pada 2016 lalu.
Kamar mewah itu ‘terbongkar’ setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan Fahmi dan Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein, 21 Juli tahun lalu. Fahmi ditangkap lagi karena menyuap Wahid demi mendapatkan fasilitas wah dan izin keluar sel.
Bukan hanya Fahmi yang memiliki sel mewah lagi nyaman di Lapas itu. Inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM, juga memperlihatkan kemewahan kamar para napi kourpsi lain. Sebuah fasilitas yang tentu saja tak layak berada di dalam Lapas.
Namun, ada harga, tentu ada rupa. Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengisyaratkan hal ini saat konferensi pers penangkapan Wahid pada Juli 2018 silam itu. Ia menyebut kisaran ratusan juta rupiah harus dikeluarkan napi demi fasilitas haram di dalam Lapas.
“Dari informasi awal, rentangnya antara 200-500 juta rupiah per kamar untuk mendapat tambahan fasilitas tertentu,” kata Syarif.
Setahun kemudian dari operasi penangkapan itu, April 2019, Wahid Husein terbukti menerima suap dari tiga narapidana korupsi atas pemberian fasilitas dan izin khusus. Ia dijatuhi hukuman pidana 8 tahun penjara dengan denda Rp400 juta.
Kasus itu memang bukan temuan baru, di mana lembaga pemasyarakatan yang mestinya jadi tempat pembinaan para napi, justru berubah menjadi tempat yang nyaman dengan ragam fasilitas kelas hotel berbintang. Alih-alih terbina, justru seolah para napi mampu mengatur Lapas sekehendak hati mereka. (kpk)