Bila selama ini Jokowi selalu dituding memanfaatkan hukum untuk mengkriminalisasi si A, si B atau si C. Bahkan si Rizieq yang kabur ke Arab dan tidak bisa kembali, yang disalahkan juga Jokowi. Maka melalui berita hari ini, semua tudingan itu dijungkirbalikkan. Pasalnya Jokowi justru menjadi salah satu pihak yang divonis oleh MA dalam kasus Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kalimantan.
Baiklah, sebelum saya menjelaskan lebih lanjut, ada baiknya kita lihat kembali kronologinya agar dapat memahami kejadiannya secara utuh. Ceritanya berawal dari saat terjadi kebakaran hebat pada 2015. Salah satu provinsi yang dilanda kebakaran hutan adalah Kalimantan. Oleh sebab itu, sekelompok masyarakat kemudian memutuskan untuk menggugat negara. Mereka adalah Arie Rompas, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin dan Mariaty.
Ada tujuh pihak yang digugat, mulai dari Presiden Republik Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Menteri Pertanian Republik Indonesia, Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Gubernur Kalimantan Tengah, serta Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.
Persidangan pun bergulir dari Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya, Pengadilan Tinggi hingga berakhir di Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung pun memutuskan untuk mengabulkan gugatan dan menghukum pihak tergugat. Ada 12 poin utama hukuman yang diberikan, mulai dari menerbitkan berbagai aturan terhadap perlindungan hutan dan lahan, pembuatan roadmap hingga pendirian rumah sakit untuk menangani korban bencana kebakaran.
Sebagian hukuman penerbitan peraturan pemerintah (PP) itu pada dasarnya sudah dilakukan oleh pemerintah bahkan jauh-jauh hari sebelumnya.
Kembali ke tahun 2015 saat kebakaran besar terjadi, Presiden Jokowi ketika itu baru saja beberapa bulan menjabat. Sementara kasus karhutla sudah menjadi langganan rutin setiap tahunnya dan terjadi di daerah-daerah rawan baik di Sumatera maupun Kalimantan.
Ada banyak faktor menjadi penyebab kebakaran tersebut, mulai dari jor-joran izin di masa lalu, alih fungsi lahan gambut, lemahnya penegakan hukum, hingga ketidaksiapan pemerintah saat titik api sudah meluas.
Jokowi bahkan sempat merasa geram atas kebakaran yang terjadi berulang kali itu. Buntutnya, Jokowi mengancam akan copot Pangdam dan Kapolda yang tidak mampu menangani kebakaran hutan dan lahan di wilayahnya secara cepat.
Pemerintahan Jokowi lantas mempelajari dari kejadian-kejadian kebakaran hutan sebelumnya. Termasuk kebakaran hutan tahun 1997 yang melahap 10-11 juta hektare hutan dan lahan di Indonesia.
Jokowi melalui Menteri LHK di tahun yang sama, menerbitkan Surat Edaran 494/2015 kepada seluruh pemegang konsesi untuk menghentikan semua kegiatan pembukaan gambut dan pembukaan kanal/drainase yang menyebabkan kekeringan ekosistem gambut.
Lalu Menteri LHK juga menerbitkan PermenLHK P.77/2015 yang mengatur pengambilalihan areal terbakar di konsesi oleh pemerintah.
Jokowi sendiri pada Januari 2016, mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.01 Tahun 2016 untuk membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk merestorasi areal gambut terbakar 2015. Hingga lahirnya PP 57 tahun 2016 tentang tata kelola gambut yang menjadi awal pondasi moratorium pembukaan gambut baru.
PP terkait gambut ini bahkan menciptakan sejarah tersendiri menurut Ahli kebakaran hutan dan lahan dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo. Menurut beliau, karena moratorium tidak hanya berlaku pada izin gambut yang lama, tapi juga pada konsesi izin yang lama tidak diperbolehkan lagi melakukan pembukaan lahan gambut dan pembukaan kanal yang menyebabkan gambut menjadi kering dan rentan terbakar.
Tidak cukup sampai di situ, berturut-turut Menteri LHK menerbitkan lahir PermenLHK nomor 32 tahun 2016, PermenLHK terkait pengelolaan dan pemulihan gambut nomor 14 sampai dengan 17 tahun 2017. Hingga SOP pencegahan Karhutla 2016 oleh Kemenko Perekonomian, PermenLHK nomor 9 tahun 2018 tentang siaga darurat kebakaran, serta keseriusan penegakan hukum yang untuk pertama kali baru berani menyasar korporasi secara tegas.
Secara keseluruhan dapat dikatakan penanganan terhadap masalah kebakaran hutan dan lahan di masa pemerintahan Jokowi adalah yang tersukses, bila dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Hal ini terbukti di mana kebakaran hutan di Indonesia turun drastis, setelah hampir dua dekade lamanya kita mengekspor asap ke negara tetangga. Sejak itu Karhutla tiap tahun menurun tajam. Luas area yang terbakar pun berkurang hingga 92,5%.
Kembali ke hukuman yang dijatuhkan oleh MA, kemungkinan pemerintah akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) mengingat pemerintahan di Masa Jokowi sudah melakukan banyak poin-poin yang diminta oleh MA. Kalaupun PK juga ditolak, pemerintah hanya perlu melaksanakan beberapa ketentuan untuk melengkapi yang sudah ada saja.
Namun intinya, pemerintahan Jokowi telah menunjukkan dan benar-benar menjadikan hukum sebagai panglima, bukan politik apalagi kekuasaan.