Indovoices.com –Berkunjung ke daerah Cikarang, Bekasi,
Rasanya kurang pas kalau tidak sekaliyan mengunjungi klenteng Tek Seng Bio,
Yang merupakan klenteng tertua di kota Cikarang.
Klenteng yang berada di Jalan Fudholi, Desa Karangasih, Kecamatan CikarangUtara, Kabupaten Bekasi,
Dibangun pada 1825.
Klenteng inipun merupakan saksi bisu awal masuknya bangsa Tionghoake tanah Bekasi.
——————————
Berdasarkan cerita turun-temurun,
Bangsa Tionghoa sebenarnya sudah masuk ke Cikarang sejak abad ke-16.
Bangunan kelenteng berukuran 60 x 50 meter dengan 13 altar ini sudah banyak mengalami perubahan,
Tetapi tidak kehilangan arsitektur aslinya.
Bagian yang masih asli, di antaranya,
Adalah bagian pintu utama,
Yakni pintu kusen dengan dua daun pintu khas kayu buatanzaman dahulu.
Selain juga terdapat dua tambur dan peti antik.
Tambur yang tidak memiliki hiasan atau ukiran itu masih difungsikan sebagai alat tetabuh pada saat Cap Gomeh.
——————————
Tuan Rumah disini adalah YM. Kongco Lim Thay Su Kong (Lin Thai si gong 1537-1607 Masehi).
Melansir dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Lin_Taishi_Gong,
Beliau adalah salah satu leluhur marga Lim,
Yang merupakan seorang guru besar dimasa Dinasti Ming.
Nama aslinya adalah Lim Kay Chun atau Lin Xiechun.
Nama lainnya adalah Lim Hu Goan atau Lin Fuyuan.
Pada tahun 1565,
Dalam usia 28 tahun,
Dia mendapat gelar Sarjana Utama (Ciongghoan, Zhuangyuan) dari pihak kekaisaran dan memulai pengabdiannya pada negara.
Setelah mendapat gelar dia masuk ke Akademi Hanlin,
Sebuah akademi dimana para sarjana bertugas untuk mencatat, menulis, mengedit dan melakukan perencanaan akademis.
Pada tahun 1568 dia terpilih sebagai sarjana utama di Akademi Hanlin (Hanlim Tayhaksu/Hanlin Daxueshi) dan mendapat tugas untuk mengedit dan mengatur catatan sejarah negara.
Pada tahun 1573 dia dipromosikan menadi guru besar(Thaysu/Taishi) dari pemerintah dan juga sebagai guru dari pangeran mahkota (Thaycu Thayhu/Taizi Taifu).
Selama Lin Thaisi menjabat sebagai guru besar,
Dia menyelamatkan sebuah kuil dari kehancuran para pengacau yang ada wilayahnya.
Setelah menangkap para pengacau kemudian Lin menyadari bahwa kuil tersebut didirikan utuk Sembilan Kaisar,
Jiuhuang Dadi atau Kiuhong Tayte dalam dialek Hokkian.
Pada suatu malam Jiuhuang Dadi datang kedalam mimpi Lin Taishi untuk menunjukkan rasa terima kasih terhadap usaha Lin dalam menyelamatkan kuil tersebut.
Jiuhuang Dadi kemudian menganugerahi Lin dengan gelar Jiuhuang Taishi Gong atau Kiuhong Thaysukong dalam dialek Hokkian.
Hari berikutnya ketika Lin kembali ke kuil tersebut,
Dia melihat sebuah kursi yang didedikasikan untuk dirinya.
Sejak itu, Lin juga dikenal sebagai dewa.
Dalam usia 71 tahun,
Lin Thaisi wafat pada tahun 1607 dan di makamkan di Bukit Qixing (Chitseng, Hokkian) yang terletak di provinsi Fujian.
Di sekitar klenteng kini merupakan daerah permukiman penduduk, baik keturunan Tionghoa maupun warga pribumi.
Bangunan-bangunan di tepi Jalan Raya Pasar Lama Cikarang juga berarsitektur Tiongkok.
Jejaknya sebagai daerah pertokoan masih tampak jelas.
Keberadaan klenteng ini menjadi salah satu bukti bahwa Kabupaten Bekasi sejak abad ke-16 Masehi telah mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina berikut wujud-wujud akulturasi antar bangsa yang berlangsung secara damai.
Posisinya yang strategis di tengah kota menyimpan cerita tersendiri mengapa bangsa Tionghoa sampai di Cikarang.
Wilayah Bekasi di masa kejayaan Belanda merupakan wilayah strategis.
Belanda menjadikan Bekasi sebagai satu kota penghubung pemerintahan kolonial. Hal itu dibuktikan dengan adanya Kantor Kawedanaan Cikarang di Jalan Gatot Subroto, yang kini beralih fungsi menjadi Perpustakaan Umum Kabupaten Bekasi.
Bangsa Tionghoa membangun wilayah perekonomian baru di Cikarang seiring dengan dibukanya Kantor Kewedanaan Cikarang tersebut.
Kewedanaan adalah perwakilan kepala pemerintahan di bawah bupati di atas kecamatan.
Konon bangsa Tionghoa kala itu menjadikan Bekasi,
Tepatnya di daerah Cikarang,
Sebagai lokasi perdagangan baru selain Batavia.
Letaknya yang tak jauh dari pesisir utara membuat distribusi barang menjadi lebih mudah.
—————————-
Satu hal yang menarik,
Bahwa kehadiran para warga Tionghoa di masa lalu,
Yang kemudian melahirkan keturunan-keturunan hasil “asimilasi” dengan penduduk setempat.
Adalah karena alasan berdagang,
Dan bukan untuk menyebarkan agama.
Di masa lalu,
Posisi masuknya agama di bumi Nusantara,
Hanya sebagai “pengikut”,
Dan bukan menjadi pokok utama bangsa asing hadir ke Nusantara.
Karena mereka pada saat itu,
Lebih tertarik dengan perdagangan rempah2,
Yang tentunya lebih menguntungkan,
Ketimbang yang lain.
Adanya bangsa asing yang masuk dengan budayanya,
Yang kemudian melebur dengan budaya lokal Nusantara,
Lalu melahirkan budaya baru pun,
Merupakan sebuah keindahan tersendiri,
Yang tak bisa dipungkiri,
Menambah khazanah seni dan budaya Nusantara …
Salam Kebangkitan Nusantara,
Salam Indonesia Raya … 🇲🇨🇲🇨🇲🇨