Indovoices.com- Setelah bertahan selama 45 tahun, akhirnya batasan usia minimal perkawinan diubah. Kini secara umum, hanya yang berusia minimal 19 tahunlah yang diizinkan menikah. Itu bagian dari upaya mengerek kualitas hidup manusia Indonesia.
, fraksi-fraksi di DPR RI menyetujui usulan pemerintah untuk menaikkan batas usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun, sebagai bagian dari revisi atas UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Persetujuan tersebut disampaikan fraksi-fraksi DPR RI dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Perkawinan, di Ruang Rapat Badan Legislasi DPR RI, Gedung Nusantara I DPR RI.
Penyerahan Revisi UU itu dilakukan Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Totok Daryanto. “Kami menyerahkan RUU perkawinan, untuk mendapat persetujuan rapat paripurna DPR RI,” ujar Totok.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah pun menerima revisi UU tersebut dan menanyakan pada seluruh anggota DPR RI yang hadir. Dengan persetujuan para anggota, revisi UU itu pun disahkan dan segera dijadikan undang-undang.
Mengiringi prosesi itu, semburat bahagia tampak mewarnai raut muka Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise. Hadir dalam acara itu mewakili pemerintah, Yohana pun mengucap syukur dan mengaku lega.
“Keputusan ini memang sangat ditunggu masyarakat Indonesia. Tidak saja untuk menyelamatkan anak dari praktik perkawinan anak yang sangat merugikan bagi anak, tapi juga merugikan keluarga maupun negara,” katanya.
Lebih jauh Yembise mengatakan, keputusan itu juga merupakan buah manis dari perjuangan dan kerja keras bersama. “Demi memperjuangkan masa depan anak-anak Indonesia sebagai SDM Unggul dan Generasi Emas Indonesia pada 2045, akhirnya setelah selama 45 tahun, UU perkawinan mengalami perubahan,” tandasnya.
Kabar gembira yang bergema di ruang paripurna DPR ketika itu memang bukan hanya milik segelintir orang. Tapi layaknya menjadi kabar bahagia bagi seluruh anak bangsa. Sebagaimana disampaikan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Profesor Khoiruddin Nasution, selaku salah satu pemateri dalam Seminar Nasional bertema “45 Tahun Undang-Undang Perkawinan: Relevansi dalam Tata Hukum dan Perkembangan Sosial Budaya Indonesia Kontemporer”, yang berlangsung di Fakultas Syariah IAIN Surakarta.
Profesor Khoiruddin mengingatkan, revisi atas UU Perkawinan tentu tidak begitu saja ada, tanpa suatu masalah yang melandasinya.”Salah satunya, saat itu marak sekali terjadi perkawinan dini, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di usia yang masih belia,” jelas Ahli Hukum Keluarga itu.
Dia juga menegaskan bahwa jika terjadi nikah dini, maka anak-anak yang dilahirkan bisa saja tidak dapat tumbuh berkembang dengan selayaknya. Baik dari sisi fisik, maupun sisi kecerdasan. Akhirnya banyak terlahir sumber daya manusia yang tidak optimal. “Pentingnya merencanakan keluarga sebelum pernikahan,” tandasnya.
Pendapat senada juga disampaikan anggota DPR-RI Endang yang terlibat langsung dalam Revisi UU Perkawinan itu. Selaku pemateri Endang mengungkapkan tujuan revisi UU itu adalah melindungi perempuan, yang sebenarnya belum matang lahir batin untuk menikah. Sebab disadari, kata dia, dampak dari nikah dini itu berantai.
Pengesahan UU Perkawinan bukanlah akhir dari sebuah langkah. Melainkan justru awal melalui sebuah kesepakatan baru tentang perkawinan yang diberlakukan demi mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Perkawinan Sudiro Asno menilai penting, adanya sosialisasi.
“Masyarakat harus memahami (UU ini), karena kita mengeluarkan undang-undang dalam rangka tujuan nasional yang ingin kita capai. Harus dimulai dari sekarang, sedikit demi sedikit untuk menunda perkawinan,” tuturnya.
Sesuai Fokus Pembangunan
Peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia memang tengah digenjot realisasinya di banyak lini. Apalagi, Presiden Joko Widodo telah berjanji, bahwa pada periode kedua kepemimpinannya, program SDM Berkualitas akan dijadikan sebagai fokus utama.
Terkait dengan revisi UU Perkawinan, seperti pernah diingatkan Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu, sumber daya manusia unggul dapat terwujud, dimulai dari ibu yang sehat dan cerdas.
“Sumber daya manusia yang unggul akan terwujud bila bayi Indonesia lahir dari seorang ibu yang sehat secara fisik, mental, dan sosial,” kata Pribudiarta, dalam bincang media yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta, medio Agustus 2019.
Pribudiarta mengatakan ibu yang sehat secara fisik, mental, dan sosial akan terwujud dari perkawinan yang berkualitas. Konsekuensinya, perkawinan harus terjadi antara individu yang siap untuk berumah tangga.
Oleh karena itu, pencegahan perkawinan anak melalui revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Anak menjadi suatu hal yang penting untuk mewujudkan visi “Sumber Daya Manusia Unggul, Indonesia Maju” sebagaimana disampaikan Presiden.
“Kita tidak akan bisa berharap pernikahan anak akan menjadi perkawinan yang berkualitas dan menghasilkan keturunan yang berkualitas,” tuturnya.
Negara Serius
Keseriusan pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas SDM Indonesia juga tampak pada postur APBN 2020. Dilansir Kementerian Keuangan, APBN 2020 yang nilainya mencapai Rp2.528,8 triliun (dua ribu limaratus duapuluh delapan triliun delapan ratus miliar rupiah), naik sekitar 2,75 persen dari APBN 2019.
Lantas apa makna dokumen itu? Itu mengungkap ihwal arah pembelanjaan uang negara. Di mana tertuang di dalamnya, secara umum, pemerintah pusat akan mengendalikan Rp1.670 triliun, dan Rp858,8 dikelola daerah dalam bentuk transfer daerah dan dana desa.
Nah merujuk fokus pemerintahan ke depan, maka dari dokumen itulah tampak bahwa dari Rp1.670 triliun belanja pusat itu, porsi yang dialokasikan ke kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp884,6 triliun. Selebihnya Rp785,4 untuk biaya non-K/L, antara lain, untuk subsidi dan bayar utang.
Khusus terkait kesehatan, dalam APBN 2020 disebutkan angkanya Rp132,2 T atau naik 13 persen dari 2019. Jumlah tersebut dirincikan dari pusat 97,2 T dan daerah 34,9 T. Dengan anggaran tersebut, rencananya digunakan untuk memenuhi target penurunan angka stunting dari 30,8 persen ke 27,1%. Sedangkan penerima bantuan iuran BPJS (KIS) tetap di 96,8 juta orang. (jpp)