Setelah disyahkannya Undang-Undang (UU) Anti Terorisme oleh DPR pada Jumat, 25/5/18 jelas suatu kemajuan dalam antisipasi dan penanggulangan terorisme.
Seiring dengan itu Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) Bpk Tito Karnavian menghimbau kepada para kepala daerah untuk lebih giat lagi membantu dan memantau keamanan. Terutama memantau sel-sel teroris dan radikalis di daerah masing-masing. (sumber)
Sebelum disyahkan, selama ini pihak Polri tidak bisa dan sulit menindak pelaku diduga teroris yang akan membuat makar. Bisa dikatakan pelaku teroris sedikit leluasa merencanakan aksi ‘jihadnya’. Mulai dari pembelian material, peracikan dan perekrutan sampai pada aksi nyata para teroris yakni bom bunuh diri atau model penyerangan lainnya.
Setelah disyahkan UU Anti terorisme ini, barulah Polri dan dibantu TNI bisa bertindak. Artinya, sejak sedini mungkin sudah bisa melakukan cegah dan tangkal sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku.
Aksi teroris yang berentetan belakangan ini tidak saja dilihat dari perbuatan langsung seperti penyerangan fisik atau melakukan bom bunuh diri. Aksi itu juga bisa terpantau dilakukan secara tidak langsung (verbal) lewat media social (medsos) yang sudah lama terlihat marak.
Ujaran kebencian, fitnah serta hoax kerap mewarnai di lini massa medsos dalam propaganda kaum intoleran dan radikalis. Yang secara tidak langsung ikut pula memberi ruang celah kepada teroris. Lewat pesan di medsos (WA, Telegram, FB) mereka membangun agitasi-agitasi untuk ‘menyerang’ pemerintah yang kerap dikatakan thogut.
Pihak cyber crime Polri sudah bisa melacak terhadap akun-akun yang sering mengumbar kebencian, fitnah, dan hoax yang mungkin saja berafiliasi dengan jaringan teroris internasional seperti ISIS. Tidak tertutup kemungkinan kepada akun-akun yang terdeteksi itu akan melakukan makar.
Penulis merasa yakin, bahwa dengan disyahkannya UU Anti Terorisme itu, maka kemungkinan pihak yang selama ini mengumbar agitasi-agitasi atas nama agama itu mulai berpikir ulang untuk menyebarkan fitnah-hoax-kebencian tersebut. Setidaknya akan berkurang.
Karena ujaran kebencian yang disertai fitnah dan provokasi itu akan menyuburkan kembali benih-benih intoleran dan radikalisme yang kemudian akan melahirkan teroris-teroris baru. Dengan alasan ‘jihad’ (versi mereka) sudah barang tentu akan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Jihad yang digembar-gemborkan oleh kaum teroris itu jelas sangat keliru penempatannya. Mereka mengartikan jihad itu seolah berjuang itu harus dengan senjata dengan target menghancurkan objek dan membunuh subjek.
Padahal, jihad sesungguhnya yang diajarkan Rasulullah Saw adalah jihad melawan hawa nafsu. bisa dimaknai juga artinya bersungguh-sungguh. Model inilah jihad akbar /terbesar yang ditekankan.
Harus dijalankan dalam konteks positif. Seperti bersungguh-sungguh untuk mengurangi kemiskinan, kebodohan, bersungguh-sungguh untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Bahkan dalam suatu hadits diriwayatkan, seorang suami yang mencari nafkah diluar untuk menghidupi keluarganya adalah dipandang berjihad untuk keluarganya. Bila dia meninggal saat bekerja dapat dikategorikan dengan mati syahid.
Sangat keliru dan keterlaluan rasanya bila makna jihad itu dibelokan kepada hal negative atau yang dapat merusak tatanan kehidupan. Apa lagi dalam kondisi damai dimana bangsa dan Negara tidak dalam keadaan berperang.
Dalam keadaan berperang pun juga ada adab-adab yang perlu diperhatikan. Nabi Muhammad Saw, menekankan kepada umatnya ketika dalam berperang agar TIDAK ; membunuh anak-anak, merusak fasilitas rumah ibadah agama lain, melukai perempuan dan para tua jompo, membunuh para rahib dan pendeta, melukai binatang tunggangan lawan, menebang pohon, dan merusak mayat musuh.
Bandingkan dengan yang dilakukan para kaum teroris itu. Mirisnya mengatasnamakan Islam pula. Sungguh sangat keji dan sadis apa yang telah mereka lakukan terhadap para korban baik yang di mako Brimob maupun di rumah ibadah Kristiani di Surabaya.
Bila kita melihat kembali sejarah awal pemberontak yang melahirkan aksi teroris, maka kita akan teringat apa yang dialami oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Beliau ditikam dengan sabetan pedang oleh yang bernama Abdurahman Ibnu Muljam pada bulan Ramadhan puasa yang ke 17. Tiga hari kemudian Khalifah Ali meninggal.
Ibnu Muljam juga dikenal ahli ibadah dan pandai dalam ilmu AL Quran. Dia juga tergabung dengan kelompok yang dikenal dengan kaum Khawarij. Dari sinilah mulai akar paham-paham radikalisme dalam Islam itu sampai sekarang. Motifnya tidak lain memakai istilah ‘pemurnian’ ajaran Islam versi mereka.
Padahal apa yang dilakukan kaum khawarij itu sungguh bertolak belakang dari nilai-nilai dan essensi ajaran Islam itu sendiri. Islam yang hadir lewat Rasulullah Saw adalah Islam yang menebarkan rahmat, cinta dan kasih sayang. Dengan kata lain Islam Rahmatan lil Alamiin.
Maka tidak heran rasanya paham-paham Khawarij itu masih ada menempel dipikiran sebagian oknum-oknum muslim sampai saat ini. Meminjam istilah Buya Sjafiie Maarif bahwa mereka itu menerapkan “theologi maut”. Biasanya mereka berkarakter intoleran dengan yang berbeda paham. (https://islami.co/ibnu-muljam-pembunuh-ali-bin-abi-thalib/ )
Masih ingatkah kita saat proses pilkada DKI yang lalu ? Yakni tidak akan mensholatkan jenazah umat muslim yang memilih sang petahana Ahok. Itu bisa dikatakan model kecil saja. Suatu tindakan yang tidak beradab rasanya hanya gegara perbedaan pandangan pilihan politik demi ambisi nafsu syahwat politik kekuasaan.
Persis sama apa yang diinginkan Ibnu Muljam demi mendapatkan seorang perempuan cantik dan semakin bersemangat untuk membunuh Khalifah Ali.
Jadi kembali pada pokok tulisan ini, yakni pihak keamanan Polri dan TNI sudah bisa melakukan tindakan cegah-tangkal sedini mungkin kepada para pelaku teroiris. Termasuk pula terhadap pendukung-pendukungnya lewat media social yang mempropagandakan tentang jihad dan memutar balikan fakta yang terjadi.
Dan yang terpenting lagi para stake holder harus memantau di segala lini terutama di sektor pendidikan. Bila kedapatan suatu institusi pendidikan menyebarkan paham-paham radikalisme maka segera ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku.
Paham-paham “theology maut” itu bila dibiarkan kepada anak-anak didik kita justru ini yang sangat berbahaya. Ibarat bom waktu mereka ini suatu saat akan menjelma jadi monster mengerikan bagi umat manusia di persada bumi ini. Jangan biarkan generasi kita menjadi Ibnu Muljam-Ibnu Muljam pada zaman now ini.
Bangsa dan Negara ini ditakdirkan sebagai bangsa majemuk dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia sudah seharusnya menampilkan ajaran Islam yang ramah dan merangkul bukan ajaran yang bersifat memukul.
Demi tetap menjaga NKRI ini warga sipil harus siap ikut membantu pihak Polri-TNI dalam memberangus para kaum intoleran dan radikalisme baik langsung maupun tidak langsung.
Mari sebagai rakyat yang cerdas dan waras kita siap membangun NKRI yang Baldatun Thoiyibatun wa Rabbun Ghafurr.
Semoga aparat keamanan Polri dan TNI bisa melaksanakan amanah UU Anti Terorisme dengan professional.
Barakallahu fiikum.