RUU KUHP: MENJAGA JOKOWI
DI JALUR REFORMASI
Denny JA
Jokowi perlu dijaga dan dikawal agar setia berjalan di jalur platform politik reformasi. Ia perlu dijaga tak hanya dari musuh-musuh politiknya, tapi juga bahkan dari lingkarannya sendiri.
Ini salah satu hikmah dari meledaknya gerakan september 2019. Itulah gerakan mahasiswa dan civil society di aneka provinsi yang paling militan, paling emosional, paling kuat pasca 1998.
Mereka memprotes RUU KUHP dan Revisi KPK yang dianggap melenceng dari agenda reformasi.
Agar fokus, tulisan kali ini hanya membatasi pada RUU KUHP saja. Bahkan dalam RUU KUHP itu, dibatasi hanya pada isu pidana seksual.
Tak lain dan tak bukan, karena pidana seksual itu menggambarkan dengan lebih terang pertarungan ideologi. Dibalik pro kontra pasal itu terjadi pertarungan ideologi gerakan mahasiswa + civil society yang pro hak asasi manusia versus politisi “abad pertengahan” yang ingin membawa Indonesia melawan peradaban modern, dan pergi ke masa silam.
Poster yang beredar dalam demo RUU KUHP itu bercerita banyak: “Selangkanganku Bukan Milik Negara!” Ini bahasa yang khas milineal. Agak kasar tapi mengekspresikan kejujuran mindset zaman now. Sekaligus juga, ia menggambar kemarahan mengapa para politisi “abad pertengahan” ingin merampasnya.
Pesan poster itu sangat jelas. Yaitu negara jangan masuk ke ranah pribadi yang dijamin oleh deklarasi universal hak asasi manusia PBB. Jangan bawa Indonesia menuju politik abad pertengahan, melanggar hak asasi manusia, yang ingin mengatur ranah pribadi warga negara, seperti yang dipelopori oleh beberapa politisi itu.
-000-
Ketika peradaban bergerak menuju prinsip hak asasi yang menghargai perbedaan paham seksualitas, agak mengherankan RUU KUHP dibuat melawan arus sejarah. RUU KUHP itu malah begerak mundur ke masa silam menambah luas kriminalisasi soal seksualitas.
Hal yang masuk akal jika KUHP perlu direvisi. Itu KUHP lama warisan belanda. Tapi ia harus direvisi sesuai perkembangan zaman. Bukan sebaliknya, direvisi untuk dibawa kepada politik abad pertengahan.
Dalam KUHP yang akan direvisi memang sudah ada pidana seksual. Tapi cakupannya terbatas hanya kepada hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah saja. Pengadunya (delik aduan) juga terbatas pada pasangan yang dirugikan saja.
Bahkan kriminalisasi seksual yang terbatas itu pun sudah dianggap kuno. Sesama negara Asia saja, seperti India, sudah mengubahnya. Mahkamah Agung India di tahun 2018, mengikuti perkembangan zaman.
Di India, apalagi di negata barat, hubungan seksual di luar pernikahan bukan lagi masalah kriminal. Itu masalah moral belaka. Tak boleh ada ancaman penjara bagi hubungan seksual antar orang dewasa, suka sama suka.
RUU KUHP kita justru bergerak melawan zaman. RUU itu justru memperluas wilayah kriminalisasi seksual. Kini yang dipidana tak hanya pasangan suami istri yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Tapi mereka yang belum menikahpun, jika melakukan hubungan seksual juga dipidana.
Pihak yang boleh mengadukan juga diperluas. Yang berhak mengadukan pidana seksual itu, bukan hanya pasangan yang bersangkutan, tapi juga anak dan orang tua. Bahkan pejabat setempat dapat juga mengadukan hal itu sejauh mendapat izin tertulis dari pasangan yang bersangkutan, anak dan orang tua.
Apa yang terjadi? Ketika peradaban begerak maju, negara semakin tidak mencampuri ranah pribadi, RUU KUHP justru ingin merampas ranah pribadi, memperluasnya, dan mengkriminalkannya?
Siapa yang akan terkena efek dari perluasan kriminalisasi seksual ini? Yang terkena efek adalah warga negara yang memiliki paham seksual yang berbeda. Padahal paham seksual mereka dilindungi oleh hak asasi manusia PBB.
Mereka tak hanya kaum LGBT. Mereka juga anak muda yang belum dan sudah menikah, ataupun orang tua, yang merasa berkuasa atas tubuhnya sendiri. Mengapa negara mau ikut campur mengurus tubuh mereka. Seperti bunyi poster itu: padahal “selangkanganku bukan milik negara.
Wisatawan asing yang akan berkunjung ke Indonesia pun menjadi was was. Mereka juga datang dari peradaban dimana hubungan seksual antar orang dewasa sejauh suka sama suka itu bukan masalah kriminal.
Right to sexuality itu soko guru peradaban modern. Itu bagian dari Right to privacy yang memang dijamin oleh hak asasi manusia. Mengapa RUU KUHP ingin merampasnya? Mengapa RUU KUHP ingin mengkriminalkan apa yang dijamin oleh prinsip hak asasi manusia?
-000-
Para politisi di pemerintahan ataupun DPR, ada baiknya membuka mata. Bacalah data. Pelajari 10 negara yang paling maju berdasarkan indeks yang terukur.
Itu bisa saja indeks pembangunan manusia (Human Development Index). Itu bisa juga indeks kebahagiaan (World Happiness Index). Itulah indek terukur paling mutakhir, paling jauh yang dirumuskan para ahli terbaik dunia masa kini.
Yang diukur dalam indeks itu tak hanya kemajuan sebuah negara, tak hanya kesejahteraan ekonomi, tapi kebahagiaan warga negara.
Apa tujuan dibuatnya negara dan pemerintahan? Tak lain dan tak bukan untuk membahagiakan warga negara, melindungi kebebasannya, ikut mensejahterahkannya. Semua tujuan negara itu kini sudah dirumuskan dalam indeks yang terukur.
Suka atau tidak, itulah fakta. Sepuluh negara paling maju itu adalah negara yang menghargai hak asasi manusia. Negara yang menghargai rights to privacy. Negara yang menghargai righs to sexuality. Negara yang meminjam istilah poster itu: “tidak mengurusi selangkangan warga negara.”
Periksa pula 10 negara yang paling rendah indeks kebahagiannya? Suka atau tidak, itulah data. 10 negara yang paling buruk indeks pembangunan manusia dan indeks kebahagian adalah negara yang juga tak menghargai dan tak menjamin hak asasi manusia.
Lalu mengapa para politisi membuat RUU KUHP tak mencontoh negara yang paling mampu membahagiakan warga negara? Kok malah membawa Indonesia menuju negara pelanggar hak asasi manusia?
Tapi bagaimana dengan ajaran agama? Bukankah agama melarang hubungan seksual di luar pernikahan? Bukankah agama melarang LGBT?
Dalam prinsip hak asasi manusia, ajaran agama justru dilindungi dan dihormati. Bagi yang percaya, silahkan praktekkan ajaran itu. Silahkan dakwahkan prinsip itu.
Namun ruang publik negara modern milik semua warga negara. Total jumlah agama yang ada berdasarkan statistik mutakhir sekitar 4200. Satu agama banyak pula interpretasinya. Negarapun harus menghormati aneka interpretasi agama yang berbeda. Termasuk aneka paham seksual yang berbeda yang hidup dihayati warga negara.
-000-
Kini DPR sudah sepakat dengan Jokowi untuk menunda RUU KUHP itu kepada DPR periode berikutnya. Para politisi itu sudah merasakan sendiri luasnya gelombang protes mahasiswa dan civil society atas pasal pidana seksual itu.
Ketika pembahasan RUU KUHP itu dibuka kembali, terutama pasal pidana seksual, ingatlah prinsip hak asasi manusia. Jangan membawa Indonesia melawan peradaban. Jangan beri tempat politisi yang membawa visi politik abad pertengahan.
Ternyata politisi dengan visi abad pertengahan itu tak hanya ada di pihak musuh politik Jokowi. Waspada pula. Politisi dengan visi abad pertengahan itu juga berada di lingkaran Jokowi.
Ingatlah poster yang agak kasar tapi jujur menggambarkan semangat zaman: “Selangkanganku bukan milik negara!”***
Sept 2019
Untuk membaca tulisan Denny JA lainnya, silahkan klik di sini
Link: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/2379759052120230?sfns=mo