Hari ini diberitakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Romi yang merupakan panggilan dari Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy, Jumat 15 Maret 2019. Disebutkan bila penangkapan itu terjadi pada pukul 09.00 di Kanwil Kementerian Agama Sidoarjo.
Pihak KPK sendiri belum memberikan keterangan resmi terkait kabar penangkapan Romi ini. Sementara Ketua DPP PPP Lena Maryana membantah penangkapan tersebut. “Enggak betul,” kata dia.
Saat ditanya lebih lanjut mengenai keberadaan Romi di Sidoarjo dia juga tidak mengetahui. “Saya enggak tahu soal itu,” ujarnya.
Belum diketahui penangkapan ini terkait kasus apa. Hingga kini dari KPK belum melakukan konferensi pers. KPK memiliki waktu 1×24 jam untuk menentukan status Romi.
Namun berdasarkan informasi yang beredar, kuat dugaan terkait keterlibatan Romi dalam suap jabatan di lingkungan Kementerian Agama.
Romi menjadi Ketua Umum PPP kedua yang harus berurusan dengan KPK. Sebelumnya Ketum PPP terdahulu, Suryadharma Ali, yang juga mantan Menteri Agama, saat ini juga masih mendekam di penjara karena perkara korupsi. KPK sebelumnya menetapkan Suryadharma sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun 2010-2013.
Walaupun awalnya saya sempat terkejut membaca berita ini. Namun rasa terkejut itu berubah menjadi rasa kagum terhadap KPK. Pasalnya penangkapan tersebut sekaligus mementahkan anggapan kubu sebelah yang menuding bahwa KPK berpihak kepada Jokowi.
Tidak tanggung-tanggung, Ketua Dewan Pembina Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais sendiri pernah menuding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi alat bagi penguasa. Ketika itu dirinya menyebutkan bila KPK tak berani menangani kasus-kasus korupsi besar seperti Bank Century dan BLBI.
Bahkan Prabowo sendiri pernah menyebut bila korupsi di Indonesia telah stadium empat. Bagi saya hal ini secara tidak langsung meremehkan hasil kerja KPK yang dianggap tidak mampu memberantas korupsi.
Sedangkan Jokowi sendiri belum memberikan tanggapan terhadap kejadian yang baru terjadi ini. Namun bila menilik kebiasaan beliau yang mengedepankan proses hukum. Dapat dipastikan Jokowi tidak akan melakukan intervensi, terhadap hukum yang menjerat Ketua Umum PPP yang merangkap sebagai anggota dewan penasehat TKN tersebut.
Indonesia selama berada di bawah kepemimpinan Jokowi berusaha menerapkan hukum secara adil. Tidak memandang apakah yang melakukan pelanggaran hukum adalah anggota koalisi atau bukan, semua mendapatkan perlakuan yang sama, diserahkan ke pihak yang berwenang untuk mengadilinya tanpa intervensi.
Hal ini tentu berbeda bila kita bandingkan dengan paslon 02 yang pernah menyebutkan jabatan presiden sebagai kepala penegak hukum (chief of law enforcement officer). Dimana merupakan cermin bawah sadar Prabowo untuk menggunakan jabatan presiden seandainya terpilih, sebagai alat intervensi hukum.
Belum lagi diperkuat melalui penegasan Prabowo beberapa waktu yang lalu yang menyebutkan akan menjemput Imam Besar Front Pemela Islam (FPI) Rizieq Shihab jika dirinya terpilih menjadi presiden di Pilpres 2019 ini, menggunakan pesawat pribadi miliknya.
Menandakan Prabowo akan menerabas segala aturan hukum yang berlaku, hanya untuk melindungi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Akan seperti apa Indonesia bila dipimpin oleh orang seperti ini? Entahlah.
Yang jelas dari perbandingan tersebut, untuk sisi penegakan hukum. Menurut saya, Jokowi masih merupakan pilihan yang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan Prabowo. Bagaimana menurut Anda?
Trailer Berita Penangkapan Ketua Umun PPP