Indovoices.com – Sudah banyak studi yang menyimpulkan bahwa negara-negara (berkembang) dengan limpahan sumber daya alam yang luar biasa justru terjebak pada korupsi yang sistemik. Benua Afrika adalah contoh yang banyak menjelaskan fenomena kutukan SDA. Berbagai konsep telah diperkenalkan untuk menggambarkan keadaan yang kontradiktif itu.
Logisnya, negara dengan kekayaan alam yang melimpah tentu dapat dengan mudah membangun untuk kemakmuran rakyatnya. Namun faktanya tidak demikian karena korupsi yang menggurita justru banyak terjadi di berbagai negara dengan kantong SDA yang sangat besar.
Indonesia pada era Orde Baru sangat menikmati era harga minyak dunia yang tinggi. Kita sebagai produsen minyak kala itu mendapatkan income yang cukup besar, bahkan SDA menjadi tulang punggung pendapatan negara. Namun kita semua pasti paham bagaimana rezim Orde Baru dikelola. Korupsi yang massif terjadi bersamaan dengan eksploitasi besar-besaran atas SDA kita. Hal ini berbeda dengan nasib negara miskin SDA yang lebih banyak mengandalkan pajak rakyatnya sebagai pemasukan utama, namun sebaliknya, negara-negara ini dikenal sebagai negara yang lebih bersih dari korupsi.
Mengapa demikian? Fenomena ini bisa dijelaskan dalam kerangka rent seeking behavior dan level akuntabilitas vertical pejabat public di negara-negara kaya SDA dan yang bergantung pada pajak. Penjelasannya, SDA merupakan sesuatu yang given dari alam, dan pejabat negara memiliki otoritas penuh untuk mengaturnya, tanpa banyak campur tangan dari pihak luar, termasuk warga negara. Karena itu, otoritas negara untuk mengatur, baik itu ijin atas eksplorasi dan eksploitasi melahirkan perilaku perburuan rente.
Maka dari itu, berbagai perusahaan tambang berlomba-lomba menyuap pejabat negara, dengan nilai yang kadang sangat fantastis untuk mendapatkan ijin atau kontrak. Pada saat yang sama, isu pengelolaan SDA adalah isu yang kompleks, rumit dan sangat teknis sehingga banyak warga negara yang tidak terlalu memahaminya. Karena adanya gap pengetahuan yang lebar, fungsi pengawasan menjadi tidak berjalan efektif.
Sementara itu, kontribusi warga negara terhadap negara tidak terlalu dapat dijelaskan pada negara yang kaya SDA, sehingga tuntutan warga atas negara juga tidak terlalu tinggi. Hal ini berbeda dengan situasi di negara yang penghasilan utamanya berasal dari pajak. Karena warga yang membayar pajak, dan berkontribusi langsung kepada negara, maka warga negara memiliki ikatan yang lebih kuat, dan sekaligus basis legitimasi yang memadai untuk menuntut pertanggungjawaban pengelolaan sumber daya publik kepada pejabat negara. Barangkali, hal inilah yang juga menyebabkan negara-negara yang bergantung pada pajak rakyat dikenal sebagai negara yang lebih bersih.
Indonesia sendiri sebenarnya telah beranjak dari negara yang tergantung pada pendapatan sektor SDA ke negara yang mendorong pemasukan pajak lebih besar. Hal itu sudah terlihat dari beberapa tahun belakangan, dimana kontribusi pajak untuk pembangunan memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan pendapatan sektor lain, termasuk SDA. Namun demikian, karena SDA di Indonesia juga masih sangat besar, maka pemberantasan korupsi pada sektor ini bisa dilakukan setidaknya dengan menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah penguatan sistem antikorupsi pada pengelolaan sektor SDA. Kombinasi penegakan hukum dan penyediaan early warning system pada proses terbitnya ijin dan kontrak dari negara kepada sektor swasta bisa membantu menekan praktek suap.
Sedangkan pendekatan kedua adalah melalui strategi pengurangan eksploitasi atas SDA secara bertahap dan mengganti ketergantungan atas SDA pada sumber-sumber lain yang lebih berjangka panjang. Dalam hal ini, kebijakan atas sektor energi sebagai misal dapat diterapkan untuk mengurangi korupsi. Misalnya saja, mengganti ketergantungan pada batu-bara sebagai sumber utama pembangkit listrik dengan sumber matahari. Pada saat kebijakan negara diterapkan untuk mengurangi penggunaan batu-bara, secara otomatis perilaku perburuan rente pada industri batu-bara bisa dikurangi. Namun sayangnya, Indonesia nampaknya masih berkutat pada pendekatan pertama, yang efektifitasnya masih terus dipertanyakan luas karena korupsi yang seakan tak berhenti pada sektor SDA.***
Adnan Topan Husodo
Koordinator ICW