Indovoices.com -Salah satu yang menjadi perhatian Transparency International Indonesia (TII) adalah relativitas antara risiko korupsi dengan dampak korupsi terhadap partisipasi masyarakat. Hal ini terungkap saat pemantauan mandiri terhadap implementasi Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Stranas PK) yang dilakukan di empat kota, yaitu Malang, Makassar, Semarang, dan Pekanbaru. Pemantauan dilakuan sejak bulan Juli 2018 hingga April 2019.
Menurut Manajer Riset TII Wawan Suyatmiko, keterlibatan masyarakat sipil dianggap penting untuk diajak secara aktif dan partisipatif. “Di sisi lain, partisipasi masyarakat sipil masih dianggap sangat rendah. Partisipasi masyarakat sipil sendiri terdiri dari akses dan kapasitas yang sangat rendah,” katanya saat peluncuran Laporan Pemantauan Mandiri Stranas PK di Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Rabu (24/7).
Hasil riset itu menyebutkan bahwa akses masyarkat sipil terhadap kebijakan antikorupsi dan Stranas PK hanya mendapatkan poin 1,47 dan kapasitas masyarakat sipil hanya 2,41 poin.
“Ini bisa jadi sebab-akibat. Bisa saja akses masyarakat sipil menjadi rendah karena kapasitas masyarakat sipil yang masih cenderung rendah bagi pemerintah.”
Melihat hasil riset tersebut, TII memberikan beberapa rekomendasi kepada tim Stranas PK. Pertama, ketiga fokus kerja Stranas PK perlu diukur dari sisi pemerintah dan diselaraskan dengan manfaat bagi masyarakat.
“Karena bagaimanapun masyarakat adalah penerima manfaat dari setiap program yang dijalankan lembaga negara.”
Kedua, TII merekomendasikan agar tim Stranas PK melakukan sosialisasi dan diseminasi informasi terhadap program dan capaian yang telah dilakukan Stranas PK. Sehingga masyarakat bisa mengetahui tujuan dan manfaat Stranas PK.
“Kemudian masyarakat bisa merasakan dampaknya terhadap mereka.”
Wawan menjelaskan, hasil riset juga menunjukkan bahwa masyarakat sipil menilai risiko korupsi dianggap sangat tinggi. Skor risiko korupsi yang tinggi dihasilkan dari skor potensi korupsi sebesar 3,82 poin dan dampak korupsi sebesar 3,93 poin, dimana angka 4 menggambarkan sangat tinggi.
Risiko korupsi yang tinggi meliputi tiga fokus area, yaitu perizinan dan tata negara, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Dalam hasil riset, risiko korupsi dalam keuangan negara dianggap paling tinggi karena mendapatkan skor 3,98.
“Hal ini berarti, potensi dan dampak korupsi pada keuangan negara dianggap penting untuk diperbaiki,” kata Wawan.
Sementara itu, dampak korupsi yang paling tinggi ada di area perizinan dan tata negara. Area tersebut mendapatkan skor 4.00 yang artinya sangat tinggi.
Mengenai dampak antikorupsi, Wawan mengatakan bahwa penilaian masyarakat sipil mengenai dampak program antikorupsi dalam kerja Stranas PK masih cenderung rendah. Menurutnya, tim nasional Stranas PK perlu melakukan sosialisasi secara lebih luas.
“Sehingga nanti diharapkan dapat mampu menjawab cita-cita Stranas PK yang dampaknya bisa dirasakan.”
Meskipun masyarakat sipil menilai program antikorupsi cenderung rendah (2,20 poin), skor capaian program antikorupsi mendapatkan nilai yang cenderung tinggi, yaitu 3,04.
Menanggapi rekomendasi TII mengenai sosialisasi kinerja Stranas PK, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden yang merupakan anggota tim nasional Stranas PK, Bimo Wijayanto mengatakan bahwa selama ini tim nasional Stranas PK sudah bekerja keras sejak Peraturan Presiden No. 54 tentang Stranas PK ditandatangani Presiden.
Menurutnya, masukan ini bisa menjadi otokritik untuk tim nasional Stranas PK agar lebih meningkatkan sosialisasi ke masyarakat, terutama ke CSO di daerah.
“Itu menjadi kritik yang akan kami telaah dan kami tingkatkan.”
Kemudian Bimo menjabarkan beberapa perubahan signifikan sejak Stranas PK dibentuk. Misalnya, pelibatan Stranas dengan program Beneficial Ownership di Indonesia.
“Indonesia dianggap salah satu yang advance. Mungkin hal ini belum terdengar sampai ke daerah,” kata Bimo.
Kemudian upaya Stranas PK dalam implementasi kebijakan Satu Peta. Menurutnya, kebijakan ini masih dianggap salah satu upaya pencegahan yang masih belum didengar hingga penjuru negeri. Namun, jika Indonesia sudah berhasil membuat Satu Peta, upaya pencegahan korupsi di Indonesia akan semakin mudah dengan pemantauan secara bersama-sama secara daring.
Bimo mengapresiasi upaya TII dalam mengawal Stranas PK melalui riset ini. Tim Stranas PK akan menjalankan rekomendasi dari TII terutama mengenai sosialisasi kepada masyarakat. Ia berharap, gerakan pemantauan terhadap kinerja Stranas PK bukan hanya dilakukan TII, namun juga menjadi gerakan yang dilakukan semua pihak.
Sementara itu, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, Stranas PK merupakan sinergi yang nyata bagi sejumlah lembaga dan instansi pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
“KPK tidak berjalan sendiri, ada lembaga-lembaga negara lainnya dalam Stranas PK untuk menjalankan tugas besar itu.”
Febri juga setuju dengan masukan hasil pemantauan yang dilakukan TII untuk melibatkan masyarakat atau kelompok pegiat antikorupsi. “Karena masyarakat adalah penerima manfaat terbesar, maka perlu aksi kolaboratif dan partisipatif untuk mengoptimalkan kerja pemberantasan korupsi.”
Stranas PK merupakan salah satu langkah pemerintah dalam memerangi korupsi melalui sektor pencegahan seperti yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No.54 Tahun 2018. Implementasi yang baru berjalan selama 8 bulan ini, melibatkan banyak lembaga negara sehingga perlu terus dikawal agar berjalan dengan optimal.
Sekretaris Jenderal Dadang Trisasongko mengatakan bahwa pemantauan yang dilakukan TII merupakan salah satu cara masyarakat sipil untuk berkontribusi dengan gerakan Stranas PK.
“Kami berkontribusi untuk memberikan masukan tentang bagaimana strategi ini dijalankan di daerah,” ujar Dadang.
Dadang mengatakan tujuan riset ini untuk melihat sejauh mana implementasi strategi pemberantasan korupsi yang telah dan sedang berjalan serta memberikan masukan untuk tim nasional Stranas PK.
“Masukan ini akan kami berikan ke tim nasional.” (kpk)