Mengulas insiden yang terjadi pada beberapa pekan lalu, dimana aktivis konterversial Ratna Sarumpaet dicegah keberangkatannya dan ditangkap oleh polisi di atas pesawat Turkish Airlines. Saat itu Ratna sudah siap berangkat ke Cile, menghadiri konferensi internasional penulis drama wanita. Penangkapan ini dilakukan terhadap Ratna yang diduga menyebarkan isu hoax. Prosedur seperti ini merupakan hal yang umum dalam proses hukum acara pidana, tapi yang menarik dalam kasus ini adalah bahwa pesawat yang dinaiki oleh Ratna merupakan pesawat Turkish Airlines (pesawat yang terdaftar di Turki). Ditambah juga dengan pernyataan yang menggelitik oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang menyatakan, “Jadi waktu Anda udah keluar dari Imigrasi, sebenarnya kewenangannya itu sudah ada di kewenangan internasional, enggak bisa orang ditangkap sembarangan” (kumparan.com). Disinilah kemudian muncul pertanyaan apakah betul penangkapan tersebut masuk dalam ranah jurisdiksi internasional?
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, ada dua pertanyaan yang terlebih dahulu perlu dikemukakan. Pertama, apakah Indonesia mempunyai yurisdiksi terhadap penangkapan tersebut? Kedua, apakah pesawat Turkish Airlines merupakan penjabaran teritorial Turki sehingga penangkapan tersebut dapat dikatakan sebagai yurisdiksi Turki (internasional)? Kedua pertanyaan dapat terjawab dengan merujuk pada Konvensi Chicago 1944. Sebagimana tertera dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944,
“The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.”
Secara implisit dinyatakan bahwa suatu negara mempunyai kedaulatan penuh sehingga suatu negara dapat menerapkan hukumnya terhadap pihak-pihak di wilayahnya. Oleh karena itu, pesawat sipil harus tunduk pada aturan hukum dimana pesawat itu berada berhubung pesawat sipil bukanlah perpanjangan teritorial dari sebuah negara sebagaimana halnya dengan lingkungan kedutaan besar suatu Negara ataupun kapal perang bendera suatu negara.
Implikasi kedaulatan ini dapat dilihat dari pasal-pasal lain dalam Konvensi Chicago 1994. Mengacu Pasal 11 dan Pasal 12 Konvensi Chicago yang menyebutkan:
Article 11:
“Subject to the provision of this Convention, the laws and regulations of a contracting State relating to the admission to or departure from its territory of aircraft engaged in international air navigation, or to the operation and navigation of such aircraft while within its territory, shall be applied to the aircraft of all contracting States without distinction as to nationality, and shall be complied with by such aircraft upon entering or departing from or while within the territory of that State.”
Article 12:
“Each contracting State undertakes to adopt measures to insure that every aircraft flying over or maneuvering within its territory and that every aircraft carrying its nationality mark, wherever such aircraft may be, shall comply with the rules and regulations relating to the flight and maneuver of aircraft there in force. Each contracting State undertakes to keep its own regulations in these respects uniform, to the greatest possible extent, with those established from time to time under this Convention. Over the high seas, the rules in force shall be those established under this Convention. Each contracting State undertakes to insure the prosecution of all persons violating the regulations applicable.”
Disini terlihat bahwa negara dimana suatu pesawat sedang singgah menerapkan peraturan hukumnya dan apabila perlu mengambil tindakan sesuai peraturan nasionalnya baik itu mengenai pelandasan, keberangkatan, manuver terlepas kebangsaan pesawat udara tersebut. Dalam kasus Ratna jelas dia masih berada dalam yurisdiksi kedaulatan ekslusif Indonesia, dimana pesawat itu sedang singgah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam kasus ini penangkapan tersebut merupakan yurisdiksi ekslusif Indonesia.