Bila selama ini kita mengatakan bahwa Prabowo melakukan pelanggaran HAM, maka segala sanggahan dari pendukungnya pun bermunculan. Yang secara garis besarnya menolak tudingan tersebut dengan berbagai alasan.
Bahkan untuk mengklarifikasi tudingan tersebut, tim Prabowo sampai-sampai harus mengeluarkan buku biru yang berisi tanya jawab terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Prabowo. Diantaranya adalah soal penculikan dan pelanggaran HAM ini.
Namun secara tidak sengaja saya membaca di salah satu media dengan judul “Ketua Timses Prabowo Pilih Langgar HAM daripada Negara Runtuh”
Selanjutnya di paragrap pertama tertulis pernyataan dari Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Djoko Santoso yang menyatakan lebih baik melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ketimbang membiarkan negara runtuh.
Hal ini disampaikan terkait pertanyaan mengenai potensi serangan isu HAM kepada capres Prabowo Subianto oleh pihak lawan dalam debat paslon capres-cawapres pada 17 Januari 2019.
Membaca hal tersebut membuat saya berpikir, berarti secara tidak langsung, Djoko Santoso sendiri mengakui kalau Prabowo ketika itu melakukan pelanggaran HAM. Dengan demikian berbagai sanggahan yang menyebutkan Prabowo tidak melanggar HAM, otomatis gugur alias BOHONG.
Nah alasan yang dikemukakannya bahwa lebih baik melanggar HAM daripada negara runtuh pun terkesan berlebihan. Bahwa keadaan ketika itu ricuh, kacau bahkan timbul penjarahan, pemerkosaan yang menyasar etnis tertentu dan pembakaran di mana-mana memang tidak dapat kita pungkiri.
Namun tidak ada berita atau analisa yang menyebutkan Indonesia akan runtuh kala itu. Malah yang runtuh adalah kediktatoran Orde Baru yang sudah bercokol selama 32 tahun. Dan faktanya setelah orde baru runtuh, negara Indonesia masih tetap berdiri dan masuk ke fase baru yakni jaman reformasi.
Perihal keterlibatan Prabowo yang melakukan pelanggaran HAM sendiri sebenarnya sudah pernah dibocorkan oleh dokumen rahasia Amerika Serikat. Sebanyak 34 dokumen rahasia itu mengungkap rentetan laporan pada masa prareformasi, salah satunya bahwa Prabowo Subianto disebut memerintahkan Kopassus untuk menghilangkan paksa sejumlah aktivis pada 1998 dan adanya perpecahan di tubuh militer.
Dokumen-dokumen yang dirilis ke publik oleh lembaga Arsip Keamanan Nasional (NSA) ini mengemukakan berbagai jenis laporan pada periode Agustus 1997 sampai Mei 1999. Pada arsip tertanggal 7 Mei 1998, mengungkap catatan staf Kedutaan Besar AS di Jakarta mengenai nasib para aktivis yang menghilang.
Catatan itu memuat bahwa para aktivis yang menghilang boleh jadi ditahan di fasilitas Kopassus di jalan lama yang menghubungkan Jakarta dan Bogor.
Namun, siapa di balik aksi penghilangan itu?
Hasil percakapan seorang staf politik Kedutaan Besar AS di Jakarta dengan seorang pemimpin organisasi mahasiswa memunculkan nama Prabowo Subianto.
Dikemudian hari, hal ini diperkuat oleh Mayjen (TNI) Syamsu Djalal yang angkat bicara soal kasus penculikan aktivis pada 1997. Mantan Danpuspom TNI yang mengusut kasus penculikan aktivis itu mengatakan Tim Mawar Kopassus mengakui telah menculik sejumlah orang.
Mereka juga mengaku melakukan penculikan karena diperintah oleh Danjen Kopassus saat itu yakni Prabowo Subianto.
Pada masa kampanye pemilihan presiden 2014, Prabowo berulangkali menekankan dirinya tidak bersalah ketika rangkaian peristiwa 1998 terjadi dan mengatakan dia hanya menjalankan perintah atasan.
Nah terlepas dari perintah atasan ataupun inisiatif sendiri. Apa yang saya tangkap adalah Prabowo secara tidak langsung mengakui kalau dirinya ada terlibat dalam penculikan tersebut. Setidaknya tidak ada penyangkalan secara tegas dari dirinya sendiri bahwa dia tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap tindakan penculikan tersebut.
Apalagi sekarang, secara tersirat Djoko Santoso walaupun tidak menyebutkan nama Prabowo secara langsung. Namun dirinya sendiri sudah mengakui lebih baik melanggar HAM daripada negara runtuh.
Saya tidak tahu pendapat pembaca, namun saya merasa ngeri membayangkan bila orang-orang seperti ini berkuasa. Bisa saja apa yang dilakukannya di masa lalu akan terulang kembali, menculik orang-orang yang kritis kepada dirinya. Membungkam media yang dianggapnya memusuhi dirinya bukan hal yang mustahil.
Belum lama ini dia menuduh wartawan sebagai antek, menghina wartawan tidak pernah masuk mall bahkan menuding media mencari-cari kesalahannya. Dirinya pun merasa marah saat wartawan tidak menulis peserta reuni 212 sesuai keinginannya yakni sebanyak 11 juta, Coba bayangkan.
Padahal statusnya saat ini masih calon presiden, belum menjadi presiden lho. Gimana pula kalau seandainya dirinya jadi presiden? Bisa-bisa semua orang yang kritis dibungkam dengan alasan daripada negara runtuh, media-media dibredel dengan alasan daripada negara bubar.
Karena alasan itu pula yang dulu selalu dipakai bapak mertuanya setiap kali dia membungkam rakyatnya yang terlalu banyak tanya atau media yang kritis.
Semoga saja tidak seperti yang saya bayangkan, namun daripada berandai-andai, kenapa tidak pilih yang pasti-pasti saja? Dan bagi saya pilihan yang pasti itu ya tetap Jokowi, bagaimana dengan anda?