Sebenarnya fenomena Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terpapar oleh virus radikalisme bukanlah barang baru. Fenomena ini sudah berlangsung sejak lama, bukan hanya PNS saja, virus radikalisme bahkan menyelusup juga ke dalam dunia pendidikan dan dunia ketentaraan.
Lihat saja di dunia pendidikan, anak-anak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) bahkan sudah diajar untuk mengkafir-kafirkan temannya yang berbeda dengan mereka, diajarkan untuk tidak menghormat bendera, dilarang menyanyikan lagu Indonesia Raya dan sebagainya oleh guru-guru yang merupakan pengikut dan simpatisan kaum radikal semacam HTI.
Masih ingat yel-yel “bunuh Ahok?”. Yang meneriakkan yel-yel tersebut ternyata anak-anak kecil yang masih belum mengerti apa-apa, semua disusupi bahkan perguruan tinggi pun tak lepas dari cengkeraman mereka. Terbukti beberapa dosen pengajar di beberapa perguruan tinggi atau universitas ternyata merupakan simpatisan dan pendukung HTI.
Harus diakui, kalau cara-cara kaum radikal menyelusup memang sangat licik, mereka memilih sektor-sektor strategis untuk dipengaruhi, sasaran mereka adalah menguasai dunia pendidikan yang merupakan cikal bakal penerus bangsa, menyelusup ke tentaraan dan PNS, agar saat mereka merasa kuat dan memberontak, semua dapat mereka kuasai dengan mudah.
Pemberontakan HTI diberbagai negara yang pernah terjadi, ternyata dilakukan oleh berbagai perwira tinggi dan menengah yang telah terpapar oleh ajaran radikalisme.
Di Indonesia, mereka mempersiapkan diri dengan lebih matang, tidak hanya menyelusup ke instansi ketentaraan saja, selain dunia pendidikan, kementerian negara di berbagai instansi pun mereka coba kuasai.
Penyebaran virus radikalisme ternyata telah berlangsung lama, dakwah-dakwah rutin yang dilakukan oleh berbagai kementerian, serta berbagai kegiatan ceramah, banyak diisi oleh ustad-ustad radikal, dari situlah ajaran radikalisme masuk dan mulai mempengaruhi para PNS.
Yang menyedihkan, kondisi ini berjalan selama bertahun-tahun, sebenarnya hampir mustahil menteri atau pejabat kementerian yang mengepalai kementerian bersangkutan tidak mengetahui hal ini. Namun bisa jadi, sikap tidak mau ambil pusing, merasa bukan tugasnya, tidak perduli terhadap berbagai kegiatan di kementeriannya menyebabkan ajaran radikal ini tumbuh subur tanpa penghalang.
Pemerintah sendiri dalam hal ini, Kementerian PAN, sudah kecolongan lebih 20 tahun pasca reformasi, sudah saatnya melakukan screening khusus untuk setiap PNS. Jangan sampai mereka yang dibayar dari duit rakyat namun malah menebarkan ideologi kebencian dan kekerasan melawan negara.
Saat Presiden Jokowi menetapkan HTI sebagai organisasi terlarang pun, keadaan masih belum banyak berubah, walau secara organisasi, HTI resmi dibubarkan, namun tokoh-tokohnya masih bebas dan berkeliaran menyebarkan racun radikalismenya melalui dakwah-dakwah yang mereka lakukan.
Kejadian di Mako Brimob, disusul oleh pemboman tiga Gereja di Surabaya dan Mapolresta Surabaya lalui diikuti berbagai kicauan di dunia sosmed yang menganggap kejadian tersebut sebagai settingan, sandiwara, pengalihan isu, bahkan menertawakan korban pemboman yang parahnya disampaikan oleh beberapa oknum PNS, bahkan ada PNS yang menjadi kepala sekolah salah satu sekolah.
Hal tersebut seketika menghentak kesadaran pemerintah bahwa ada kanker radikalisme yang bercokol di berbagai kementerian negara yang bila tidak segera ditangani akan mampu membunuh inangnya suatu saat nanti.
Hingga saat ini sudah dua kementerian dan satu badan kepegawaian negara mengumumkan akan mengambil tindakan tegas untuk PNS yang ketahuan menyebarkan paham radikalisme.
Salah satunya, dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati langsung menanggapi aksi teror bom Surabaya dan Sidoarjo yang terjadi sejak kemarin hingga hari ini.
Dirinya langsung menginstruksikan kepada pimpinan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menindak tegas pegawai atau PNS Kemenkeu yang menyebarkan paham radikalisme. Hal ini disampaikan oleh Sri Mulyani tanggal 14 Mei 2018.
“Satukan sikap, bulatkan pikiran dan tekad, serta rapikan langkah kita menjaga NKRI,” demikian yang disampaikan oleh Sri Mulyani.
Bahkan untuk mempertegas larangannya, Menkeu Sri Mulyani meminta masyarakat untuk berperan serta melaporkan PNS yang melanggar ke Kemenkeu.
“Jika menemukan pegawai Kemenkeu yang melanggar netralitas PNS atau ASN di media sosial (Twitter, Instagram, Facebook, dan lain-lain) atau sarana komunikasi pribadi (WhatsApp, Telegram, LINE, dan lain-lain), segera laporkan melalui Whistleblowing Systhem (WISE) Kemenkeu.”
Tentunya dengan menyertakan bukti berupa link maupun screenshot. Kemenkeu juga menjamin 100 persen keamanan dan akan merahasiakan Identitas whistleblower (pelapor).
WISEweb: wise.kemenkeu.go.id atau
Email: pengaduan.itjen@kemenkeu.go.id.
Telepon: (021) 345-4236
Alamat: Gd. Djuanda II Lt. 6, Jalan Dr. Wahidin No.1 Jakarta Pusat 10710.
Langkah Kementerian Keuangan juga diikuti oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM), yang juga menginstruksikan pegawainya untuk tidak menyebar kebencian yang dapat memicu perpecahan dan mendukung aksi terorisme. Instruksi tersebut diterbitkan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial dan tersebar pada Selasa 15 Mei 2018 kemarin.
Sedangkan Badan Kepegawaian Negara juga mengeluarkan instruksi untuk mengikutsertakan partisipasi masyarakat guna melaporkan PNS yang suka menyebar kebencian, hoax, hingga memecah belah.
Caranya dengan mengirim surel ke humas@bkn.go.id.
Atau melalu jalur sosmed lainnya,
Dapat melalui Twitter: twitter.com/bkngoid, atau Facebook; facebook.com/bkngoid.
Semoga aksi ketiga lembaga tersebut segera diikuti oleh lembaga kementerian lainnya untuk melakukan pembersihan virus radikalisme di internal kementerian itu sendiri. Sudah saatnya para ustad atau penceramah yang diundang untuk melakukan ceramah, diseleksi dengan ketat. Utamakanlah ustad-ustad atau penceramah yang ceramahnya memberikan kesejukan dan tuntunan yang baik bukannya yang suka memprovokasi dan menebar kebencian.
Melalui artikel ini, saya juga berusaha menggugah kesadaran netizen untuk berperan aktif mempersempit ruang gerak penyebaran paham radikalisme dengan cara memerangi dan melaporkan konten-konten negatif, bukan hanya sekedar berani mengecam dan mengutuk saja, tapi juga berani untuk bertindak, sambil terus mendorong UU Terorisme segera disahkan. Karena tanpa partisipasi masyarakat, pemerintah akan sulit membasmi paham radikalisme hingga ke akar-akarnya.
Untuk melaporkan ceramah yang bersifat radikal, ujaran kebencian, SARA dan sebagainya, dapat mengikuti infografis dibawah ini