Untuk mengawali tulisan tahun 2019 ini, saya ingin membahas berita tentang KPK yang mengeluarkan aturan baru, yakni tahanan kasus korupsi yang ditangani lembaga antirasuah dilakukan pemborgolan.
Alasan pemberlakuan aturan baru tersebut disebabkan banyaknya para terperiksa maupun terduga koruptor yang merasa tidak bersalah melakukan tindakan korupsi.
Sering kali terlihat wajah koruptor yang bahagia dan tertawa di depan sorotan kamera maupun awak media, setiap kali akan atau usai menjalani pemeriksaan terkait kasus yang melilitnya. Bahkan dalam berbagai kesempatan, para tahanan juga seringkali menunjukkan aksinya di depan awak media yang ingin mewawancarainya.
Tak jarang aksi-aksi nyeleneh ditunjukkan oleh para tahanan, seperti mantan Bupati Purbalingga Tasdi, yang seringkali memberikan salam metal ketika hendak diperiksa. Kemudian ada Setya Novanto dan Idrus yang sumringah setiap memasuki gedung KPK.
Penerapan peraturan borgol ini pun disampaikan oleh Juru Bicara KPK Febri Diansyah yang mengatakan, untuk meningkatkan penindakan pihaknya telah memutuskan untuk mulai menerapkan aturan pemborgolan bagi tahanan yang masuk atau keluar.
“Pada hari kerja pertama Tahun 2019, KPK mulai melakukan pelaksanaan tugas seperti biasa, baik penindakan ataupun pencegahan,” ungkapnya dalam pesan singkat, Rabu 2 Januari 2019.
Saya sendiri menilai, sebenarnya penerapan borgol tersebut kurang efektif. Hal ini mengingat mental para koruptor di Indonesia yang cenderung sudah “kebal“. Terlihat dari penerapan pemakaian rompi orange KPK selama ini toh tidak mampu membuat koruptor merasa malu. Jarang kita melihat pemakai rompi tersebut menunduk atau pun menangis menyesali perbuatannya.
Terbukti dari berita yang saya baca hari ini, dimana seorang terdakwa korupsi alih-alih merasa malu, malah merasa keren menggunakan baju oranye KPK, gila gak…
“Ya kalau peraturannya seperti itu, harus saya jalani. Saya nikmati saja, pakai baju oranye (rompi tahanan KPK) Jakmania, keren,” kata Eni Maulani Saragih di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu 2 Januari 2019.
Daripada mengenakan borgol, saya lebih setuju bila para tahanan digantungi plank dengan tulisan Terduga KORUPTOR atau Terperiksa KORUPTOR, tulisan terduga atau terperiksanya kecil saja, namun tulisan “KORUPTOR“-nya dibuat sebesar mungkin, kalau perlu terbaca dari jarak 20 meter, itu yang pertama.
Yang kedua, tidak kalah penting atau malah yang terpenting menurut saya adalah dari segi hukuman bagi para koruptor selama ini yang terkesan ringan, tidak cukup maksimal.
Sebagai gambaran, dari hasil penelitian yang dikeluarkan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW), vonis terpidana kasus korupsi selama 2017 dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi maupun peninjauan kembali (PK). Hasilnya, rata-rata vonis pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa tipikor di tingkat pengadilan hanya 2 tahun 2 bulan penjara. Coba bayangkan!
Itu vonisnya lho, yang dijalani sudah pasti lebih kecil dari itu. Mulai dari potongan remisi dan sebagainya mungkin si koruptor hanya 1,5 tahun saja dalam sel. Jadi tidak heran, banyak mantan napi koruptor, setelah keluar dari sel, masih dapat kembali menikmati hasil kejahatannya. Malah masih punya modal untuk menjadi caleg lagi, jadi kapan kapoknya?
Harusnya hukuman untuk koruptor dibuat maksimal, sesuai dengan nilai korupsi yang dilakukan. Semakin besar nilai korupsinya maka hukumannya semakin berat. Kalaupun tidak bisa memberlakukan hukuman mati, setidaknya hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara. Hukuman paling ringan itu 10 tahun penjara plus hukuman merampas seluruh harta korutor atau dimiskinkan sekalian, itu maunya saya. Namun seperti yang kita ketahui, pembuat UU itu adalah anggota dewan yang terhormat dimana badan tersebut juga yang diketahui paling banyak anggotanya tertangkap melakukan korupsi.
Jadi untuk menerapkan hukuman mati atau maksimal, KPK mungkin masih perlu jalan panjang hingga dapat terealisasi.
Namun bukan berarti tidak ada tindakan yang tidak dapat dilakukan oleh KPK untuk mempermalukan para pelaku korupsi tersebut. Selain menggantungkan plank di leher Koruptor seperti yang saya sebutkan di atas, masih banyak cara lain lagi yang dapat dilakukan.
Diantaranya, merealisasikan penjara khusus koruptor yang di sekeliling penjara itu dibuatkan parit yang dalam dan diisi dengan buaya seperti yang pernah disarankan oleh Budi Waseso beberapa tahun yang lalu. Walaupun ketika itu Budi Waseso menyarankan untuk Napi Bandar Narkoba, namun tidak menutup kemungkinan diperluas untuk para koruptor juga.
Kemudian KPK juga bisa menerapkan hukuman sosial kepada para koruptor, misalnya mewajibkan para koruptor menghabiskan sepertiga atau seperempat masa hukumannya untuk melakukan kegiatan sosial, bahkan kalau perlu dipekerjakan sebagai buruh kasar untuk berbagai proyek infrastruktur yang sedang dibangun pemerintah..
Lho, kalau lari atau kabur gimana? Jangan khawatir, tanamkan saja chip Radio Frequency Identification (RFID) yang biasa ditanamkan dalam tubuh binatang peliharaan. Jadi para pengawas cukup memantau dari monitor saja keberadaan para koruptor tersebut.
Lalu KPK juga dapat membuat monumen Koruptor, yang berisi nama-nama para pelaku korupsi yang dapat dilihat untuk umum. Hmm.. kalau tempatnya bagus, mungkin bisa sekalian jadi tempat wisata juga lho.. hehehe.
Cukup? Belum? Ok saya tambahkan lagi, bagaimana kalau KPK menggelar Corruptor Awards? KPK dapat menjalin kerjasama dengan berbagai stasiun televisi untuk menggelar acara Corruptor Awards dimana dapat diumumkan siapa pelaku korupsi terbanyak tahun ini, siapa pelaku korupsi terbaru di tahun ini, berikut nama-nama para koruptor yang tertangkap tahun ini, tampilkan wajahnya di layar televisi.
Masih kurang? Nih saya kasih yang terakhir, daripada memasang spanduk “Berani Tidak Korup Itu Hebat“. Lebih baik ubah sisi kanan dan sisi kiri gedung KPK menjadi video tron yang menampilkan nama-nama para koruptor berikut wajahnya, lakukan secara rutin hingga koruptor itu bebas dari hukuman.
Dan yang lebih dahsyat lagi, bebankan semua biaya kepada koruptor itu sendiri. Mulai dari pembuatan video tron, termasuk pajaknya, pembuatan monumen, penanaman chip RFID, pembuatan penjara khusus koruptor, pengadaan acara Corruptor Awards, semuanya ditanggung oleh koruptor itu sendiri, jadi tidak ada alasan untuk membebani keuangan negara. Keren bukan?. Jadi bila ada pembaca yang berkomentar, “Ah itu mah gak mungkin bisa buat para koruptor ngompol“. Jawaban saya, “setidaknya sudah mampu membuat kantong koruptor jebol”. Bagaimana menurut Anda?