Menilik kejadian beberapa pekan lalu, penulis sempat melihat suatu kegiatan “unjuk rasa” di dalam gedung Mahkamah Agung (Media center), penulis tergelitik dengan peristiwa tersebut. Singkat cerita, penulis dengan rasa penasaran bertemu dengan koordinator masyarakat Desa Jatikarya dan rekan-rekan yang terkait dengan sengketa atas tanah Desa Jatikarya.
Masyarakat Desa Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi sudah sangat lelah! Karena sengketa tanah tak berujung selesai. Ditengah keletihan dan frustrasi mendalam, masyarakat pencari keadilan tersebut memutuskan untuk berdamai sejak Maret 2019 dan memilih mencabut perkara yang dipersengketakan pada 12 April 2019. Namun sayangnya, upaya mengembalikan hak-hak masyarakat tersebut masih terkendala, karena berkas perkara yang pernah diteruskan PN Bekasi ke Mahkamah Agung belum dikembalikan ke PN Bekasi. Perkara teregister dengan No. 815/PK/Pdt/2018. Ada Apa gerangan? Mengapa Mahkamah Agung begitu lamban?
Disadari atau tidak, putusan para Hakim Agung maupun jajaran Hakim di bawah Mahkamah Agung, ada yang kontradiktif & kontroversial, berimbas mendelegetimasi kehormatan lembaga Peradilan itu sendiri. Saat ini adalah moment emas Mahkamah Agung untuk mengembalikan marwah institusi , mengakomodasi keinginan masyarakat berdamai dengan mengembalikan berkas perkara!
Sejak tahun 1999 masyarakat bersengketa atas objek tanah yang terletak di desa Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi. Mahkamah Agung selaku Lembaga Peradilan Tertinggi di negeri ini sudah berkali-kali memeriksa dan memutus perkara atas objek tanah sengketa tersebut. Sangat mungkin, tanpa disadari terjebak dalam berbagai keputusan kontroversial. Dapat dipahami hal seperti itu terjadi, karena bagaimanapun juga para Hakim Agung adalah manusia. Hakim sejatinya adalah individu independen yang setiap putusannya hanya dipertanggungjawabkan kepada Tuhan YME.
Pada awalnya tanah di klaim milik Departemen Pertahanan dengan Sertipikat Hak Pakai (SHP) No. 1/Jatikarya. Melalui putusan TUN No. 68/G/1999/TUN/ Bdg jo. Putusan No. 32 PK/TUN/2003 tanggal 17 Maret 2005, SHP No. 1 telah dinyatakan BATAL.
Selanjutnya masyarakat saling klaim atas objek tanah tersebut. Ada banyak gugatan atas objek tanah tersebut, sebagian besar tidak dapat diterima, dan beberapa putusan teregister yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) yakni:
- Putusan No. 199/Pdt.G/2009/PN Bks jo. Putusan No. 218 PK/Pdt/2008 yang menyatakan objek sengkteta seluas 48,5 Ha adalah milik Candu bin Godo, dkk (warga masyarakat Jatikarya) dan telah diletakkan sita jaminan serta penetapan eksekusi No. 27/Eks/2010/PN Bks tertanggal 24 Mei 2010.
- Putusan No. 29/Pdt.G/2002/PN Bks jo. Putusan No. 257/PK/Pdt/2009 jo. Putusan No. 543/PK/Pdt/2013 yang menyatakan objek sengketa adalah milik Hasan Karno dkk, seluas 54,4 Ha. Putusan dengan penetapan eksekusi No. 29/Eks/2010/PN Bks tanggal 30 April 2010. Sayangnya putusan perkara ini diputus tanpa pemeriksaan setempat dan menggunakan 85 AJB palsu tertanggal 31 Des 1982 (AJB dinyatakan palsu oleh Laboratorium Kriminal Mabes Polri No. 919/DTF/2004 tanggal 8 Maret 2004). Pemalsu, Hasan Karno cs sudah diputus bersalah dengan Putusan Pidana karena menggunakan 85 AJB palsu untuk menjual tanah seluas 54,4 Ha. Disamping itu Hasan Karno, dkk pernah bersumpah di Pengadilan Negeri Bekasi bahwa mereka bukanlah pemilik tanah 54,4 Ha. (Berita acara Sumpah No. W8.DF.AT.01.10-1668. tanggal 11 Agustus 2005).
- Putusan No. 221/Pdt.G/2010/PN Bks jo. Putusan No. 331 PK/Pdt/2017 yang menyatakan: Surat kuasa cacat hukum; Putusan No 29/Pdt.G/2002/PN Bks tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tehadap para penggugat (Nursen cs) dan tergugat (Hasan Karno cs); para penggugat dan tergugat bukan pemilik tanah objek sengketa perkara No. 29/Pdt.G/2002/PN Bks dan juga menyatakan 85 AJB Notaris R. Soedirdja ,SH, tanggal 31 Desember 1982 tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Kemudian pihak Ramzani ,SH dkk, (selaku tergugat), bersama Nursen Cs (para penggugat) mengajukan PK ke II terdaftar di Mahkama Agung RI dengan No 815/PK/Pdt/2018 (yang hingga saat ini belum diputus).
- Dalam perjalan proses PK ke II para pihak masyarakat yang bersengketa telah merasa lelah, memilih jalan Damai dengan akte damai dihadapan Notaris dan memutuskan untuk mencabut perkara PK ke II. Pencabutan perkara oleh para principal telah dilakukan dihadapan panitera PN Bekasi dan telah diteruskan ke MA sejak 12 April 2019, namun sampai dengan 9 Juli 2019, sudah 3 bulan berkas perkara ini belum dikembalikan oleh MA ke PN Bekasi.
Saatnya para Hakim Agung meluruskan seluruh fakta-fakta dan kebenaran yang sesungguhnya. “Kekeliruan” masa lalu harus diperbaiki dalam rangka menegakkan marwah Mahkamah Agung sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi di Indonesia.
Ada cara mudah dan tehormat bagi Mahkamah Agung untuk tidak ikut “campur tangan” lagi, ketika masyarakat memillih berdamai dan mencabut perkara. Mengembalikan berkas perkara adalah keniscayaan . Dapat dibayangkan bagaimana kepastian hukum di negeri ini ?, ketika suatu perkara sudah dicabut oleh para principal karena sudah berdamai, kemudian dengan sengaja atau tidak sengaja perkara tersebut tetap dilanjutkan dan diputus oleh para Hakim yang mulia? Bukankah perdamaian adalah sarana tertinggi yang selalu diutamakan & diupayakan dalam setiap sengketa perdata?
Langkah elegan para Hakim Agung sangat dinantikan. Membuat penetapan dan mengembalikan berkas perkara 815/PK/Pdt/2018 dengan segera ke PN Bekasi, adalah sangat terhormat. Mengakhiri penantian panjang masyarakat Desa Jatikarya, sekaligus memulihkan hak-hak masyarakat yang sudah letih bertikai selama 20 tahun, adalah hal mulia.
Note:
Penulis adalah seorang Pemerhati Hukum Indonesia, saat ini adalah Mahasiswa Tugas Akhir Fakultas Hukum di salah satu Perguruan Tinggi Swasta terkemuka di Jakarta.
Penulis juga merupakan Inisiator dan salah seorang Pemohon Uji Materiil UU Pajak Bumi Bangunan di Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 3/PUU-XVI/2018.
Artikel lain dalam Indovoices:
https://www.Indovoices.com/umum/are-land-value-taxes-violating-basic-human-rights/
https://www.Indovoices.com/hukum/indonesia-mempunyai-hak-menangkap-ratna-sarumpaet/