Indovoices.com –Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) merampungkan rangkaian diskusi publik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di Hotel JS Luwansa Jakarta pada Senin (14/6/2021).
Kegiatan tersebut digelar atas dasar penundaan rapat paripurna DPR RI untuk penetapan RKUHP pada 26 September 2019 yang disebabkan karena adanya beberapa substansi dalam RKUHP yang menuai sorotan di masyarakat.
Substansi tersebut mengenai 14 isu di antaranya penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, menyatakan diri dapat melakukan tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib, dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin, contempt of court, unggas yang masuk dan merusak kebun yang ditaburi benih, advokat yang curang, penodaan agama, penganiayaan hewan, kontrasepsi, perzinahan, kohabitasi, penggelandangan, aborsi, dan perkosaan.
Sebelumnya kegiatan diskusi serupa telah dilaksanakan di kota-kota lain di antaranya Medan, Semarang, Denpasar, Yogyakarta, Ambon, Makassar, Padang, Banjarmasin, Surabaya, Mataram, dan Manado.
Anggota Tim Ahli penyusun RUU KUHP yang juga merupakan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Marcus Priyo Gunarto mengatakan terdapat sejumlah usulan perubahan terkait 14 isu kontroversi dalam RUU KUHP tersebut.
Berikut penjelasan dan ringkasan materi yang disampaikan Marcus dalam diskusi publik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di Hotel JS Luwansa Jakarta pada Senin (14/6/2021) hari ini.
1. Penghinaan Terhadap Presiden atau Wakil Presiden
Ketentuan mengenai penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden sebelumnya termuat pada pasal 218.
Dalam materi presentasi Marcus yang ditampilkan, dijelaskan pasal tersebut mengalami perubahan dari delik yang bersifat biasa (umum) menjadi delik aduan.
Dijelaskan, pengaduan dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden dan terdapat pengecualian jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Dalam materi tersebut juga dijelaskan ketentuan tersebut tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah.
Marcus menegaskan pasal tersebut dipertahankan bukan untuk hanya melindungi presiden dan wakil presiden yang saat ini menjabat melainkan pejabat setelahnya.
“Tidak dimaksudkan untuk melindungi yang presiden ini saja kok. Itu nanti untuk presiden-presiden yang akan datang. Kita ingin membuat suatu peraturan yang rasional untuk jangka waktu yang lama. Tidak ada pembuatan peraturan Undang-Undang pidana itu untuk kepentingan ad hoc. Tidak boleh, itu larangan. Peraturan perundang-undangan pidana itu untuk jangka waktu yang lama,” kata Markus.
2. Santet
Ketentuan mengenai santet sebelumnya termuat pada pasal 252.
Dalam materi presentasi Marcus dijelaskan tindak pidana tersebut merupakan delik formil.
Dijelaskan, perbuatan yang dipidana adalah apabila seseorang menyatakan bhwaa dirinya mempunyai kekuatan untuk menimbulkan penyakit, dan sebagainya.Selain itu, tindak pidana tersebut perlu dikriminalisasi karena sifatnya yang sangat kriminogen (dapat menyebabkan terjadinya tindak pisana lain) dan viktimogen (secara potensial dapat menyebabkan kerugian berbagai kepentingan).
Pasal tersebut juga ditujukan untuk melindungi kepentingan individul misalnya mencegah praktik penipuan dan melindungi religiusitas serta ketenteraman hidup beragama yang dilecehkan oleh perbuatan syirik.
Dalam penjelasannya, Marcus mengatakan sebetulnya dalam RKUHP tidak termuat kata-kata santet melainkan yang ada adalah menyatakan diri dapat melakukan satu perbuatan yang mencelakakan orang lain.
Marcus mencontohkan kasus di Banyuwangi dimana sekelompok masyarakat menganiaya seseorang yang dituduh dukun santet.
“Nah, karena faktual itu ada, maka ketentuan bahwa menyatakan diri dapat melakukan sesuatu tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib ini, ini tetap dipertimbangkan. Karena pasal ini bersifat kriminogen dan viktimogen untuk mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan baru dan untuk mencegah timbulnya korban,” kata Marcus.
3. Dokter atau Dokter Gigi Tanpa Izin
Kerentuan terkait dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin sebelumnya termuat pada pasal 276.
Dalam materi presentasi Marcus dijelaskan pemerintah mengusulkan untuk menghapus pasal tersebut dalam RUU KUHP karena telah dimuat dalam psaal 76 Undang-Undang 26 tahun 2004 tentang praktik kedokteran.
“Sehingga kalau diatur itu justru akan memiliki duplikasi pengaturan,” kata Marcus.
4. Unggas dan Ternak yang Merusak Kebun
Ketentuan terkait unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih sebelumnya termuat dalam pasal 278 sampai 279.
Dalam materi presentasi Marcus dijelaskan pemerintah mengusulkan untuk mengubah pasal 278 dan 279 menjadi delik materiil karena masih diperlukan guna melindungi para petani yang berpotensi mengalami kerugian karena benih atau tanamannya dirusak oleh unggas atau ternak orang lain.
Marcus mengatakan sebetulnya pasal tersebut merupakan pasal lama dalam KUHP.
Dari masukan yang diterima oleh para perumus, pasal ini masih diperlukan oleh para petani karena bagi para petani, bibit ataupun pembibitan merupakan suatu keadaan yang sangat diperlukan.
Hal itu karena, lanjut dia, dalam tanaman-tanaman tertentu terkadang membutuhkan waktu yang tepat sebab, kalau nanti menanamnya pada musim yang tidak tepat hasilnya bisa tidak baik dan itu merugikan.
“Maka, para perancang ini sekalipun menimbulkan suatu persoalan tetapi dengan argumentasi bahwa pasal ini adalah pasal lama yang ada di dapam KUHP tetapi menimbulkan persoalan, maka kemudian juga okelah kalau memang begitu kita tambahkan, atau kita ubah yang tadinya delik formil menjadi delik materiil,” kata dia.
5. Contempt of Court
Ketentuan mengenai contempt of court sebelumnya termuat pada paaal 281.
Dalam materi presentasi Marcus dijelaskan pemerintah mempertahankan pasal tersebut dengan perubahan pada penjelasan pasal 281 c sehingga berbunyi “Yang dimaksud dengna ‘dipublikasikan secara langsung’ misalnya live streaming, audio visual, tidak dipeekenakankan.
Pasal tersebut juga ditujukan untuk mencegah saksi yang belum didengar keterangannya mengetahui keterangan yang telah disampaikan saksi sebelumnya.
Ketentuan tersebut juga ditujukan tidak untuk mengurangi kebebasan wartawan untuk mempublikasikan berita setelah sidang pengadilan selesai diselenggarakan.
“Kalau kebetulan saksi itu bertolak belakang dalam penyikapannya terhadap kasus yang sedang diperiksa itu, itu kan sangat menguntungkan bagi saksi yang akan diperiksa kemudian. Karena kemudian dia bisa mengolah. Ini bisa menjadikan pengadilan itu tidak objektif. Itu sebetulnya yang dimaksud oleh para perancang/perumus KUHP pada saat itu. Nah, kontroversi itu kemudian sudah diakomodasi dengan ditambahkan beberapa penjelasan dalam pasal ini,” kata Marcus.
6. Advokat Curang
Ketentuan mengenai advokat curang sebelumnya termuat di pasal 282.
Dalam materi presentasi Marcus dijelaskan pemerintah mengusulkan agar ketentuan pasal tersebut tetap diatur dalam RKUHP.
Dijelaskan, penjelasan pasal 282 membatasi bahwa ketentuan tersebut ditujukan kepada advokat yang secara curang meminta kliennya menyuap pihak-pihak yang terkait proses peradilan.
Marcus menjelaskan soal advokat curang pernah menjadi suatu kontroversi karena yang dibaca itu adalah hanya perbuatan yang dikualifikasikan pada huruf a dan huruf b di Pasal 282 tanpa dibaca yang menjadi awal dari rumusan pasal itu.
Hal itu, lanjut dia, karena rumusan pasalnya menggunakan gaya ancaman pidana dulu kemudian kualifikasi deliknya atau sifat perbuatannya, baru menjelaskan perbuatan yang dilarang.
Marcus menjelaskan rumusannya pada saat itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori lima, advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang:
Mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya.
“Kalau tanpa dibaca secara curang, ya betul. Karena apa? Karena tugas dari seorang advokat itu adalah berusaha untuk mendamaikan. Mengadakan kesepakatan-kesepakatan cari solusi yang paling baik itu hal yang bagus, yang dibolehkan,” kata Marcus.
Ketentuan selanjutnya, sambung dia, mempengaruhi panitera, saksi, juru bahasa, penyidik penuntut umum, atau hakim perkara dengan atau tanpa imbalan.
“Advokat itu memang tugasnya itu mempengaruhi penyidik, jaksa, hakim dengan argumentasi-argumentasiya itu ya memang tugasnya memengaruhi. Tugasnya memang itu. Tapi yang tidak dibolehkan itu apa? Digunakan dengan cara-cara yang curang tadi. Jadi curang itu sebagai bestanddelen delik (kata, frasa atau kalimat yang secara tegas tercantum dalam rumusan delik),” kata Marcus.
7. Penodaan Agama
Ketentuan mengenai penodaan agama sebelumnya diatur pada pasal 304.
Dalam presentasi Marcus dijelaskan pemerintah mengusulkan penjelasan pasal 304 yang berbunyi: ” Yang dimaksud dengan ‘penodaan terhadap agama’ misalnya menghina Keagungan Tuhan, sifat-sifat-Nya, kitab suci, atau merendahkan nabi/rasuo, yang dapst menimbulkan keresahan di lingkungan umat beragama yang bersangkutan”.
Dijelaskan pula, dalam ketentuan tersebut, uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara objektif dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata atau frasa yang bersifat permusuhan atau penodaan, bukan tindak pidana.
“Jadi, saya kira dengan adanya penjelasan soal pengertian penodaan ini, kontroversi sudah bisa diakhiri,” kata Marcus.
8. Penganiayaan Hewan
Ketentuan mengenai penganiayaan hewan sebelumnya termuat pada pasal 342.
Dalam presentasi Marcus dijelaskan pemerintah telah menambahkan penjelasan pasal 342 ayat (1) huruf a sehingga berbunyi: “Yang dimaksud dengan ‘kemampuan kodrat’ adalah kemampuan hewan yang alamiah.
“Ini juga menimbulkan kontroversi dipersoalkan karena tidak jelas dengan rumusan kemampuan kodratnya pada waktu itu. Kemudian oleh para perumus ini sudah diberikan satu penjelasan, yang dimaksud dengan kemampuan kodrat adalah kemampuan hewan secara alamiah atau yang alamiah,” kata dia.
9. Alat Pencegah Kehamilan dan Pengguguran Kandungan
Ketentuan mengenai alat pencegah kehamilan dam pengguguran kandungan sebelumnya termuat pada pasal 414 sampai 416.
Dalam materi presentasi Marcus dijelaskan ketentuan pasal 416 tidak ditujukan bagi orang dewasa melainkak untuk memberikan perlindungan kepada anak agar terbebas dari seks bebas.
Dijelaskan, pengecualian ketentuan pasal tersebut jika dilakukan untuk program KB, pencegahan penyakit menular seksual, kepentingan pendidikan, dan untuk ilmu pengetahuan.
Selain itu, pengecualian juga berlaku jika dilakukan untuk pendidikan dan lain-lain yang diatur dalam pasal 416 ayat (1) termasuk apabila yang melakukan adalah relawan yang kompeten yang ditunjuk oleh pejabat berwenang.
Dijelaskan juga, pasal 414 sampai 416 RUU KUHP sesuai dengan pasal 28 UU 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
“Jadi di sini juga ada pengecualian jika dilakukan untuk program KB, pencegahan penyakit menular, kepentingan pendidikan, dan untuk ilmu pengetahuan, jika dilakukan untuk pendidikan dan lain-lain diatur pasal 416
termasuk apabila yang melakukan adalah relawan kompeten yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang ini dikecualikan, tidak dipidana,” kata dia.
10. Perzinaan
Ketentuan mengenai perzinaan sebelumnya termuat pada pasal 417.
Dalam materi presentasi Marcus dijelaskan tidak ada satupun agama yang diakui di Indonesia yang memperbolehkan perzinaan.
Juga dijelaskan, perzinaan merupakan kejahatan tanpa korban yang secara individual tidak langsung melanggar hak orang lain tetapi melanggar nilai budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat.
Dijelaskan pula pasal tersebut merupakan penghormatan terhadap lembaga perkawinan dan ketentuan dalam pasal tersebut tidak dikaitkan dengan perceraian sebagaimana dirumuskan dalam KUHP.
“Dan dirumuskan sebagai delik aduan,
Dan dibatasi hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang paling terkena dampaknya yaitu suami, istri, orang tua, atau anaknya,” kata Marcus.
11. Kohabitasi (Kumpul Kebo)
Ketentuan terkait kohabitasi sebelumnya tercantum pada pasal 418.
Dalam materi presentasi Marcus, dijelaskan ketentuan pasal tersebut merupakan delik aduan.
Dijelaskan pula, aduan hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang terkena dampak.
Juga dijelaskan, pemerintah mengusulkan untuk menghapus ketentuan kepada desa yang dapat mengajukan aduan sehingga pengaduan hanya dapat dilakukan oleh suami/istri (bagi yang terikat perkawinan) atau orang tua atau anaknya (bagi yang tidak terikat perkawinan).
Dalam penjelasan maupun materi presentasinya, Marcus tidak menggunakan frasa kumpul kebo.
Soal ketentuan kohabitasi, kata dia, ditujukan untuk menghormati lembaga perkawinan maka dibatasi, sekalipun untuk menghormati lembaga perkawinan.
“Dulu diributkan karena kepala desa, RT, atau RW itu diberi kemungkinan itu karena alasannya ini kan untuk melindungi kepentingan lembaga perkawinan. Ini sudah dihapuskan, hanya mereka-mereka yang memiliki kepentingan, yang paling terdampak,” kata Marcus.
12. Penggelandangan
Ketentuan mengenai penggelandangan sebelumnya termuat pada pasal 431.
Dalam presentasi Marcus dijelaskan pemerintah mengusulkan agar ketentuan pasal tersebut tetap diatur dalam RUU KUHP.
Dijelaskan, pasal tersebut dirumuskan demi menjaga ketertiban umum.
Sanksi yang dijatuhkan bukanlah pidana penjara melainkan hanya pidana denda.
Selain itu dijelaskan, dimungkinkan untuk dijatuhkan pidana alternatif berupa pidana pengawasan atau pidana kerja sosial.
“Dulu yang dipersoalkan adalah soal sanksinya. Kemudian sanksi denda ini bisa dialternatifkan nanti dengan pidana pengawasan atau pidana kerja sosial,” kata Marcus.
13. Aborsi
Ketentuan terkait aborsi sebelumnya termuat pada pasal 469 sampai 471.
Dalam presentasi Marcus, tidak ditampilkan pointers seperti pada penjelasan sebelumnya
Namun ia menjelaskan pada ketentuan terkait aborsi dalam RUU KUHP ditambahkan pengecualian jika aborsi itu diakibatkan karena perkosaan.
“Kemudian yang berikutnya juga ditambahkan pada pasal yang terkait dengan dokter yang membantu melakukan aborsi karena perkosaan, itu juga tidak dipidana,” kata Marcus.
14. Marital Rape (Perkosaan dalam Perkawinan)
Ketentuan pada pasal tersebut sebelumnya termuat pada pasal 479.
Dalam materi presentasi Marklcus dijelaskan ketentuan mengenai perkosaan dalam perkawinan ditambahkan dalam rumusan pasal 479 supaya komsisten dengan pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT atau tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan.
Dijelaskan, pasal 479 RUU KUHP merupakan ketentuan mengenai perkosaan yang telah diperluas mencakup statutory rape atau hubungan seksual dengan anak secara konsensual dan perbuatan cabul yang dilakukan dengan memasukan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain, memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya sendiri, atau memasukan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain.
Selain itu dijelaskan pula pasal 479 mengatur mengenai pemberatan dalam hal: korban adalah anak kandung, anak tiri, atau anak di bawah peraliannya; memkasa anak melakukan hubungan seksual dengan orang lain; dan mengakibatkan luka berat atau mati.
“Pasal 479 juga mengatur mengenai pemberatan apabila korbannya adalah anak-anak, memaksa anak melakukan hubungan seksual dengan orang lain yang mengakibatkan luka berat atau mati,” kata Marcus.