Tidak banyak bangsa di dunia yang dengan bangga “plus” nekat, ngaku-ngaku sebagai bangsa dan negara yang agamis. Salah satu dari yang tidak banyak itu Indonesia. Ini terlihat jelas dalam berbagai kesempatan. Begitu sering mendengar para pemimpin dengan bangga menyatakan Indonesia adalah bangsa dan negara agamis. Like father, like son! Rakyat kebanyakan pun ikutan para pemimpin. Entah di rumah ibadah. Entah di tipi atau radio. Maupun di warung-warung kopi. Mulai warung yang branded seperti setarbak, sampai kaki lima. Obrolan yang menyatakan Indonesia adalah bangsa dan negara agamis begitu sering terdengar. Demikian pula dengan simbol-simbol keagamaan. Mulai dari Sabang sampai Merauke. Mulai dari kota besar, sampai pelosok pedesaan bahkan pedalaman. Sangat mudah menemukan berbagai rumah ibadah. Namanya juga bangsa dan negara yang agamis toh!
Bagaimana nasib yang berani ngaku Atheis atau penganut paham Komunis? Asli najong a.k.a. najiz. Wajib dimusnahkan. Demikian yang ada dalam benak kebanyakan orang Indonesia. Utamanya yang lagi keranjingan hal-hal yang berbau agama. Contoh yang tercatat dengan tinta hitam yang “tak lekang termakan waktu” adalah PKI (Partai Komunis Indonesia) di era Soeharto dengan OrBa (Orde Baru) nya. Walau Soeharto sudah lengser lebih kurang 21 tahun. Tetap saja yang namanya PKI masih sering dibawa-bawa. Utamanya oleh kelompok yang sakau agama yang ngebet menjadikan NKRI tercinta sebagai negara khilafah. So, jangan sok-sok an ngaku-ngaku atheis atau pendukung komunis di negara dan bangsa agamis ini ya. Bisa-bisa bernasib apes!
Korelasi Yang Absurd
Bagaimana korelasi antara pengakuan sebagai yang bangsa dan negara agamis dengan perilaku keseharian atau saat (khususnya) ada pesanan aksi demo? Hihihi, ajaib binti jemila. Korupsi tetap jalan. Sebar ujaran kebencian dan fitonah a.k.a HOAX tetap gencar. Bahkan tindakan anarkis wajib ada saat aksi demo. Loh, kok bisa?
Patut menduga, banyak para pemimpin dan masyarakat umum yang lupa akan makna dan esensi dari sebuah “PENGAKUAN.” Nih tak ingetin yak. Di mana-mana yang namanya sebuah “pengakuan” pasti berlaku “ada harga yang harus dibayar.” Atau istilah kerennya “ada konsekuensi logis.” Nah, kalau berani ngaku sebagai bangsa dan negara agamis maka apa yang harus dibayar? Sederhananya harus gak doyan, bahkan takut korupsi! Sebab korupsi itu bertentangan dengan ajaran agama sehingga sudah pasti DOSA! Namanya juga bangsa agamis toh? Sederhananya harus gak doyan, bahkan takut menyebar ujaran kebencian dan memfitonah a.k.a menebar HOAX! Sebab menyebar ujaran kebencian dan memfitonah a.k.a. menebar HOAX itu bertentangan dengan perintah agama sehingga sudah pasti DOSA! Namanya juga bangsa agamis toh toh? Sederhananya harus juga gak doyan, bahkan takut berbuat anarkis! Sebab berbuat anarkis itu bertentangan dengan hukum agama sehingga sudah pasti DOSA. Namanya juga bangsa agamis toh toh toh?
Jadi jelas, kalau berani ngaku sebagai bangsa dan negara agamis, maka ada “harga yang harus dibayar!” Di antaranya: TIDAK KORUPSI! TIDAK MENYEBAR UJARAN KEBENCIAN, FITONAH a.k.a. HOAX! Dan TIDAK BERBUAT ANARKIS! Tentunya harus menambah dengan dan lain sejenisnya, dan lain sejenisnya. Soalnya terlalu banyak contoh yang tidak sinkron antara sebuah pengakuan dengan praksis keseharian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan.
Apa lacur?
Realitas Ter-Aktual dan Faktual
Di tengah-tengah situasi dan kondisi yang relatif kondusif. Selasa, 24 September 2019 dan Rabu, 25 September 2019. Awan kelabu kembali menggelayuti berbagai kota di Indonesia. Termasuk khususnya Ibukota NKRI yaitu Jakarta. Aksi demo kembali marak. Katanya, ini katanya loh ya. Om dan Tante Santa (Baca: Sinterklas) dan para kroni pecandu KKN gak mau Jokowi dilantik untuk kedua kalinya. Jadinya Om dan Tante Santa dan kawan-kawan ikhlas menggelontorkan duit mereka yang gak beseri. Ke siapa? Siapa lagi kalau bukan ke sebagian kecil masyarakat pecandu perilaku barbar. Tentu tidak ketinggalan kelompok kecil yang sakau agama tapi dalam praksisnya doyan banget berperilaku barbar.
Tengok akibat dari aksi demo kemarin. Pagar pembatas, roboh diamuk massa yang berdemo. Gardu pintu masuk tol hangus terbakar. Lagi-lagi karena ulah yang pendemo. Itu baru benda mati yang notabene gak tau apa itu DOSA. Benda hidup? Jatuh korban di kedua belah pihak. Baik aparat yang sedang mengamankan aksi demo maupun para pendemo. Viral foto dan video seorang perusuh melempari aparat dengan batu segede gaban. Viral juga beberapa aparat yang tertembak panah. Dan berbagai-bagai foto dan video lainnya.
Pasca aksi demo rusuh. Eh viral video Ninoy Karundeng seorang jurnalis independen bonyok. Dalam video viral itu, bahkan terdengar jelas ada yang ngomong mau mematikan Ninoy. Duh biyung, si Ninoy dianggap sama dengan kecoak. Tragisnya, ancaman tersebut bukan di Kalijodoh zaman now di era gabener, misalnya. Melainkan di dalam sebuah ruang rumah ibadah yang kudus dan suci.
Puji TUHAN, GOD is GOOD, GOD is LOVE, dan GOD is a MIRACLE. Sederhananya, TUHAN belum berkehendak. Atas campur tangan kasihNYA. Ninoy Karundeng masih hidup. Kembali pulang ke rumah. Bertemu dengan keluarga tercinta. Walau masih dilanda trauma, sudah mulai beraktifitas.
Quo Vadis NKRI Yang Agamis
Dari 2 contoh di atas saja, terlihat jelas gambaran eksistensi sebagian manusia Indonesia. Di satu sisi, selalu ngaku-ngaku sebagai bangsa dan negara agamis. Di sisi lain, dari praksisnya, doyan berperilaku BARBAR. Memang sih, cuma minoritas. Namun kalau terbiarkan terus tanpa penegakkan hukum yang jelas. Pasti akan terus berulang. Oleh karena itu, ke depan, mau tidak mau, suka tidak suka, pemerintah harus berani menegakkan hukum sejelas dan seterang-terangnya. Bukan penegakkan hukum tebang pilih seperti yang selama ini terjadi. Pencuri ayam harus mendekam di penjara tanpa pengecualian. Koruptor kakap tiap minggu bisa wakuncar. Dan lain sejenisnya dan lain sejenisnya.
Last but not least, mudahan di periode ke-2 Jokowi menjadi Presiden RI. Revolusi mental yang menjadi tema utama diawali dengan PENEGAKKAN HUKUM YANG ADIL SEADIL-ADILNYA TANPA PANDANG BULU.
#everonwardnoretreat
#carpediem
#GODblessNKRItercinta