Indovoices.com –Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam laskar Front Pembela Islam (FPI) menyebut ada belasan kali percobaan pembunuhan pada mantan pimpinan FPI Rizieq Shihab.
Ketua TP3 Abdullah Hehamahua menyebut laporan tersebut akan dimasukkan dalam buku putih yang akan diberikan pada Presiden Joko Widodo.
Namun, ia tidak merinci siapa yang hendak melakukan percobaan pembunuhan itu.
“Berapa kali HRS coba dibunuh. Ada datanya, belasan. Ya Anda tahulah siapa, di buku putih saya jelaskan,” jelas Abdullah dalam diskusi virtual di YouTube Medcom.id, Minggu (14/3/2021).
Abdullah menilai bahwa konflik antara polisi dan enam anggota FPI sebenarnya adalah buntut dari permasalahan Pilkada DKI Jakarta 2017.
Ia mengklaim, saat itu Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta karena peran Rizieq Shihab.
“Kalau mau lihat persoalannya itu bermula dari Pilkada DKI. Secara teoritis Ahok harus menang. Tapi kalah, kenapa kalah? Karena HRS dan 212 turun ke Masjid dan ke Mushola. Dan di situ persoalan bermula,” ungkap Abdullah.
Abdullah menambahkan, polisi seharusnya menggunakan seragam lengkap jika diperintahkan membuntuti Rizieq Shihab.
Namun yang terjadi, polisi tidak menggunakan seragam, sehingga enam laskar FPI melakukan perlawanan.
“Petugas kepolisian tidak menggunakan uniform lengkap, jika itu terjadi tengah malam, ada mobil dempet, zig-zag dalam pikiran kita itu pasti penjahat mau merampok, membegal dan seterusnya. Itu naluriah logis, andai kata mereka (polisi) menggunakan uniform resmi, saya akan salahkan FPI kenapa melawan,” tuturnya.
Sebagai informasi, TP3 juga akan menyerahkan buku putih berisi berbagai bukti penemuan terkait penembakan enam orang laskar FPI yang terjadi di Tol Jakarta-Cikampek Km 50, 7 Desember 2020 lalu.
TP3 juga meminta pemerintah untuk melakukan pengadilan kasus ini di Pengadilan HAM.
Abdullah menyebut bahwa tewasnya enam laskar FPI merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat.
Meski demikian, pandangan itu dibantah oleh Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik yang menyebut bahwa Komnas HAM tidak menemukan bukti-bukti yang kuat untuk menyatakan bahwa peristiwa tersebut masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.
Sebab jika mengacu pada Statuta Roma suatu kasus dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat ketika tindakan penyerangan dan pembunuhan itu merupakan hasil dari kebijakan atau lembaga negara.
“Kalau kita lihat kasus (penembakan 6 laskar) FPI apakah ada kebijakan dalam hal ini kepolisian atau lembaga negara ya Presiden itu? Itu tidak kami temukan,” terang Taufan dalam kesempatan yang sama.
Sementara itu, Polri menyebut, tiga anggota Polda Metro Jaya yang menjadi terlapor dalam dugaan unlawful killing terhadap empat anggota laskar FPI dibebastugaskan.
Hal ini bertalian dengan telah dimulainya penyidikan kasus tersebut setelah Polri melakukan gelar perkara.
Dalam perkara ini, ketiganya diduga melakukan pembunuhan dan penganiayaan yang mengakibatkan kematian berdasarkan Pasal 338 jo Pasal 351 Ayat (3) KUHP.
Namun, status ketiga anggota polisi itu belum ditentukan. Penetapan tersangka akan dilakukan seiring dengan penyidikan.
Polri pun telah mengirimkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kasus unlawful killing ke Kejaksaan Agung.