Indovoices.com- Indonesia menjadi salah satu contoh model pengelolaan Hiau Paus yang diakui dunia. Hal ini tercermin lewat terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah pelaksanaan pertemuan tahunan ke-3 Threatened Species Working Group (TSWG) di Gorontalo.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL), Brahmantya Satyamurti Poerwadi, usai acara yang belangsung di Gorontalo. Pertemuan TSWG ini berada di bawah kerja sama regional Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) yang akan dihadiri oleh perwakilan dari 6 (enam) Negara anggota, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, dan Kepulauan Solomon. Sebelumnya, pertemuan tahunan pertama dan kedua dilaksanakan di Filipina dan Malaysia.
Gorontalo dipilih sebagai lokasi pelaksanaan kegiatan karena dipandang telah menjalankan prinsip pengelolaan ekowisata Hiu Paus (Rhincodon typus) secara berkelanjutan, seperti yang ada di Desa Botubarani, Kabupaten Bone Bolango. Hal ini tercermin dari penerapan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagaimana diatur dalam Pedoman Wisata Hiu Paus yang disusun Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Ditjen PRL tahun 2016. Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan pembelajaran model pengelolaan Hiu Paus di negara-negara wilayah segitiga karang (coral triangle).
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Brahmantya Satyamurti Poerwadi menyampaikan, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo merupakan salah satu dari sedikit lokasi di Indonesia yang dapat menjadi tempat pembelajaran konservasi dan ekowisata bahari.
Ia menjelaskan, hiu paus merupakan satu dari 20 jenis ikan prioritas konservasi dalam renstra 2015-2019 dan akan dilanjutkan pada periode renstra 2020-2024. Secara umum, Indonesia telah melindungi penuh spesies hiu paus melalui Keputusan Menteri Kelutan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18/KEPMEN-KP/2013. Aturan ini bertujuan untuk menghindari pemanfaatan secara ekstraktif dalam kegiatan perikanan terutama untuk bisnis sirip hiu. Namun demikian, hiu paus tetap dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata minat khusus spesies terancam punah.
“Kehadiran hiu paus di perairan Desa Botubarani sudah menjadi daya tarik wisatawan sejak tahun 2016. Ratusan bahkan ribuan turis mancanegara setiap tahun mengunjungi Desa Botubarani, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo,” tutur Brahmantya.
Lanjut dia, Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar bersama Kelompok Sadar Wisata Botubarani rutin setiap hari mengawasi kemunculan hiu paus di zona interaksi wisata sehingga diketahui kecenderungn waktu dan musim migrasi hiu paus di perairan Botubarani. Selain itu, para wisatawan sangat antusias untuk menjumpai hiu paus secara langsung di lautan.
Dalam catatan Kelompok Sadar Wisata Botubarani, pada tahun 2016 Desa Botubarani didatangi oleh lebih dari 30.000 wisatawan dalam periode 3 bulan. “Hal ini berkontribusi cukup fantastis untuk perekonomian masyarakat di Gorontalo dari sektor wisata. Terlebih lagi dengan adanya sosial media yang dapat digunakan untuk promosi, memberitakan keberadaan hiu paus di Desa Botubarani,” imbuhnya.
Mudahnya akses menuju Pantai Botubarani, membuat lokasi wisata ini ramai dikunjungi masyarakat. Akibatnya, kerumunan massa ini dapat memicu aktivitas wisata yang tidak ramah dan berdampak luka pada tubuh hiu paus. Untuk itu, Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Ditjen PRL bekerja sama dengan NGO terkait telah menginisiasi rencana aksi nasional (RAN) konservasi pengelolaan hiu paus.
Oleh karena itu, pertemuan dua hari ini akan diisi rangkain kegiatan untuk mengevaluasi implementasi rencana kerja TSWG di tahun 2019 serta memfinalisasi indikator untuk monitoring dan evaluasi untuk pelaporan spesies terancam di tingkat regional khususnya untuk mamalia laut, penyu, hiu, dan pari. (jpp)