Indovoices.com- Kementerian Kesehatan terus berupaya meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri dengan e-katalog maupun mendorong riset terapan biofarmaka dan vaksin.
“Kita sudah mempermudah sertifikasi obat, peredaran alat kesehatan. Kita juga sudah menggunakan e-katalog agar mendapatkan obat-obatan berkualitas dalam negeri dan bisa dijangkau masyarakat dengan murah,” ujar Staf Ahli Bidang Hukum Kemenkes, Kuwat Sri Hudoyo.
Demikian menurut Kuwat Sri Hudoyo dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 dengan tema “Peningkatan Perlindungan Masyarakat serta Daya Saing Obat dan Makanan” di Ruang Serba Guna Gedung Kemenkominfo, Jakarta, pada Senin (16/09/2019).
Menurut Kuwat, pengadaan barang/jasa pemerintah dengan e-katalog merupakan salah satu upaya Kemenkes mendapatkan obat-obatan dan alat kesehatan berkualitas domestik dengan harga terjangkau. Diharapkan dengan kerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), pengelola layanan kesehatan pemerintah dan para pelaku usaha industri farmasi mampu mendapatkan obat-obatan generik dan alat kesehatan yang terbaik. Di samping itu, pemerintah juga sudah membuka akses e-katalog ke kalangan rumah sakit swasta.
Kuwat menegaskan sudah saatnya industri farmasi Indonesia tidak lagi tergantung pada bahan baku impor dan mulai mengembangkan bahan baku dalam negeri seperti herbal. Kemenkes diharapkan mendorong industri farmasi dalam negeri agar memiliki daya saing.
“Apalagi alat kesehatan produk dalam negeri sudah banyak dimanfaatkan untuk layanan kesehatan masyarakat bahkan sebagian sudah bisa diekspor. Pengaturan pengawasan peredaran obat dan pangan terus dilakukan oleh Kemenkes sebagai bentuk perlindungan kesehatan masyarakat,” jelas Kuwat Sri Hudoyo.
Saat ini, industri farmasi di dalam negeri sebanyak 206 perusahaan. Jumlah tersebut didominasi oleh 178 perusahaan swasta nasional, 24 perusahaan multinasional dan empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Lalu, ada 11 ribu jenis obat, dengan 498-503 jenis obat di antaranya merupakan program pemerintah.
Pertumbuhan pasar industri farmasi di Indonesia rata-rata naik 13 persen. Dan dari tahun ke tahun, kenaikan pertumbuhan industri itu selalu konsisten. Bisa dirincikan market share industri farmasi di Indonesia, yaitu dokter sebanyak 58 persen, dan pasar bebas sebanyak 42 persen.
Industri farmasi dalam negeri termasuk industri yang telah lama berdiri dan mampu memenuhi 75 persen kebutuhan obat dalam negeri. Hanya saja, fakta juga menunjukkan bahwa saat ini industri farmasi masih terkendala produksi bahan baku. Hampir 90 persen bahan bakunya masih dipenuhi dari impor.
Oleh karena itu, pemerintah akan berupaya menggenjot angka investasi di sektor hulu farmasi. Saat ini, Indonesia masih mengimpor US$4 miliar dalam bahan baku obat dan sekitar US$800 juta dalam bentuk obat jadi.
Secara umum, neraca ekspor-impor, industri farmasi masih menunjukkan adanya defisit. Kendati nilai ekspor komoditas ini mengalami peningkatan dari US$1,01 miliar pada2017, menjadi US$1,13 miliar pada tahun lalu.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi FMB 9 tersebut antara lain, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf, dan Ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) Adhi S Lukman. (kominfo)