Indovoices.com– Dengan jumlah kelas menengah yang naik hampir 100 persen, dari 75 juta orang menjadi 140 juta orang, pada 1998, Indonesia sangat menarik untuk dijadikan pasar industri farmasi oleh negara-negara lain. Diperlukan keseriusan dalam mengelola situasi tersebut.
Pertumbuhan industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional, dalam catatan Kementerian Perindustrian, sebesar 4,46 persen, pada 2018. Dan kontribusi industri mencapai 2,78 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan nonmigas.
Itulah sebabnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pernah mengatakan bahwa kinerja industri farmasi cukup baik dalam beberapa tahun belakangan. “Angka (pertumbuhan) ini terus meningkat selama lima tahun terakhir,” kata Airlangga.
Sebagai industri andalan masa depan, industri farmasi dan bahan farmasi terus dikembangkan melalui berbagai insentif. “Salah satunya dengan pengurangan pajak maupun bea masuk yang ditanggung pemerintah serta bentuk insentif lainnya,” kata dia.
Menurut Airlangga, industri farmasi memiliki kekhususan sendiri. Farmasi termasuk industri yang padat modal (capital intensive), menggunakan teknologi tinggi (high technology), padat kajian (research and development intensive), aturannya ketat (heavily regulated), dan pasarnya terfragmentasi (fragmented market).
Saat ini industri farmasi di dalam negeri sebanyak 206 perusahaan. Jumlah tersebut didominasi oleh 178 perusahaan swasta nasional, 24 perusahaan multinasional dan empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Lalu, ada 11 ribu jenis obat, dengan 498-503 jenis obat di antaranya merupakan program pemerintah.
Pertumbuhan pasar industri farmasi di Indonesia rata-rata naik 13 persen. Dan dari tahun ke tahun, kenaikan pertumbuhan industri itu selalu konsisten. Bisa dirincikan market share industri farmasi di Indonesia, yaitu dokter sebanyak 58 persen, dan pasar bebas sebanyak 42 persen.
Industri farmasi dalam negeri termasuk industri yang telah lama berdiri dan mampu memenuhi 75 persen kebutuhan obat dalam negeri. Hanya saja, fakta juga menunjukkan bahwa saat ini industri farmasi masih terkendala produksi bahan baku. Hampir 90 persen bahan bakunya masih dipenuhi dari impor.
Oleh karena itu, pemerintah akan berupaya menggenjot angka investasi di sektor hulu farmasi. Saat ini, Indonesia masih mengimpor USD4 miliar dalam bahan baku obat dan sekitar USD800 juta dalam bentuk obat jadi.
Secara umum, neraca ekspor-impor, industri farmasi masih menunjukkan adanya defisit. Kendati nilai ekspor komoditas ini mengalami peningkatan dari USD1,01 miliar pada 2017, menjadi USD1,13 miliar pada tahun lalu.
Di lingkup industri makanan dan minuman (mamin), data yang ada menunjukkan bahwa pada kuartal I 2019, sektor industri makanan dan minuman tumbuh sebesar 6,77% (yoy). Meski tumbuh lebih tinggi dibandingkan kuartal IV 2018 yang hanya 2,74%, pertumbuhan kuartal pertama tahun ini merupakan yang terendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang menyentuh angka 8 hingga 12%.
Perlambatan sektor makanan dan minuman ini sudah dirasakan setidaknya sejak pertengahan tahun lalu. Pertumbuhan sektor ini berturut-berturut menurun sejak mencapai level tertinggi pada kuartal IV 2017 dengan pertumbuhan 13,77%.
Diketahui, pada 2016 kinerja industri mamin di Indonesia tumbuh pesat. Laju pertumbuhan pada triwulan III tahun 2016 sebesar 9,82 persen atau diatas pertumbuhan industri sebesar 4,71 persen pada periode yang sama.
Pertumbuhan didorong oleh meningkatnya pendapatan masyarakat, tumbuhnya populasi kelas menengah yang disertai kecenderungan pola konsumsi masyarakat yang mengarah untuk mengkonsumsi produk-produk pangan olahan ready to eat,” paparnya.
Industri mamin juga mempunyai peranan penting terutama dalam kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri non migas, di mana peran subsektor industri mamin merupakan yangterbesar dibandingkan subsektor lainnya yaitu sebesar 33,6 persen pada triwulan III tahun 2016.
Sumbangan nilai ekspor produk mamin (di luar CPO, PKO, CCO dan turunannya yang digunakan sebagai bahan olahan non-food) pada 2016 mencapai USD19 miliar, mengalami neraca perdagangan yang positif bila dibandingkan dengan impor produk mamin pada periode yang sama sebesar USD9,64 miliar. Di samping itu, dilihat dari perkembangan realisasi investasi, sektor industri mamin sampai triwulan III tahun 2016 sebesar Rp24 triliun untuk PMDN dan PMA sebesar USD1,6 miliar.
Tren pertumbuhan terkini itu tentu harus mendapat pencermatan khusus. Pasalnya, sebelumnya Airlangga juga mengatakan bahwa sejatinya industri makanan dan minuman (mamin) dinilai mampu menjadi instrumen yang berperan mendorong pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Karena potensi industri mamin dalam negeri cukup besar. Tidak ada pelaku yang mendominasi, supply chain-nya tidak terganggu mulai bahan baku, produksi, sampai ke konsumen.
Bagaimana langkah pemerintah untuk memperkuat industri obat dan makanan ke depan, sejumlah langkah terus dihelat. Antara lain, dengan mendorong agar sektor prioritas ini ikut berperan mendukung program pemerintah dalam pendidikan dan pelatihan vokasi industri. Selain itu, pelaku industri mamin juga didorong untuk mengembangkan kemitraan dengan Sekolah Menengah Kejuruan di sekitar lokasi pabrik agar meningkatkan kompetensi para siswa/siswi SMK tersebut.
Industri mamin nasional memiliki potensi untuk naik tingkat keindustry 4.0. Dengan naik level, industri mamin dalam negeri dapat mengembangkan inovasi dan teknologi terbaru melalui kemitraan dengan industri mamin di negara-negara maju.
Dan hal terkini yang tengah dilakukan adalah membuat regulasi khusus yang memberikan penguatan terhadap iklim pengawasan. Diyakini, dengan pengawasan yang tepat terhadap industri dan produk farmasi dan makanan di Indonesia, bukan hanya memberikan perlindungan maksimal terhadap masayarakat, tapi juga bakal tercipta produk farmasi dan makanan nasional yang berdaya saing internasional.(jpp)