Pada dasarnya Globalisasi mengubah semua yang ada pada dunia kita, hal itu menyangkut terhadap pemikiran, politik, ekonomi, budaya, agama, etnis, termasuk dimensi keamanan dan strategi. Oleh karena itu, tidak bisa kita pungkiri kenyaatan bahwa perjumpaan berbagai perbedaan adalah suatu hal yang sangat pasti. Dan tentunya hal ini menjadi sebuah tantangan yang nyata bagi manusia untuk menghadapi berbagai keberagaman nilai, budaya dan agama. Artikel ini memiliki tujuan agar bangsa Indonesia dari kalangan beragama memiliki paham yang normatif dalam menerapkan ajaran Agama yang mereka anut.
Pluralisme sendiri juga dapat berarti kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas), artinya, untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, golongan, agama, adat, hingga pandangan hidup.
Cara pandang terhadap pluralisme merupakan suatu yang berperan sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tak jarang cara pandang pluralisme menjadi sorotan yang utama dan menimbulkan sikap-sikap tertentu, misalnya keterbukaan, ketertutupan, kebencian dan lain-lain. Diantara banyaknya keberagaman yang kita miliki, agama adalah salah satu aspek yang dinilai dan dilihat sebagai sesuatu yang paling sering dibicarakan. Hal ini disebabkan oleh nilai-nilai mutlak yang terkandung didalam ajaran agama tersebut dan juga karena agama sangat mempengaruhi cara berelasi orang-orang beragama.
Berkenaan dengan munculnya berbagai paham mengenai pluralisme sendiri menjadi sorotan banyak orang yang menimbulkan pro dan kontra dikalangan cendikiawan, pemikir dan tokoh agama. Secara khusus dalam hal agama, berbagai masyarakat yang menganut agama/ kepercayaan berbeda-beda, dengan gambaran seperti itu, dapat dikatakan bahwa pluralisme agama bukanlah kenyataan yang mengharuskan orang untuk saling menjatuhkan, saling merendahkan, atau mencampuradukkan antara agama yang satu dengan yang lain, tetapi justru mempertahankannya pada posisi saling menghormati dan bekerjasama.
Sejatinya pluralisme bukanlah paham yang secara tiba-tiba muncul dari ruang hampa, akan tetapi disitu terdapat penghubung yang kokoh antara diskursus sekularisme, liberalisme yang kemudian lahirlah pluralisme. Sekularisme muncul sebagai dampak dari perselingkuhan antara agama dan Negara yang melumpuhkan kondisi keadilan sehingga kemudian lahirlah ketidak percayaan publik yang kemudian berujung adanya sekularisme. Liberalisme lahir dari keterkungkungan oleh satu doktrin yang kurang fair sehingga ada kelompok tertentu tertindas, seperti halnya contoh mencuatnya teologi eklusifisme di tubuh agama-agama di atas.
Dari kemandegan tesebut maka kemudian lahirlah ide liberalism yang kemudian merekomendasikan adanya ruang kemerdekaan dalam memeluk agama. Secara tidak langsung kemudian dari leiberalisme tersebut memunculkan kelompok-kelompok agama dan pada akhirnya mengharuskan adanya pluralisme sebagai satu penghargaan terhadap pluralitas yang ada. Di sisi lain pluralisme bisa dikatakan sebagai etika global yang didasarkan pada penderitaan manusia akibat adanya kelesuan moral, sehingga dengan pluralisme tersebut akan tercapai kesejahteraan manusia dan lingkungannya.
Banyak yang pro dan kontra dengan konsep pluralisme agama di Indonesia ini.
- Pro Pluralisme
Bagi yang pro pluralisme agama, keberagaman agama ini dianggap sebagai hal yang positif. Ini disebabkan karena keberagaman di Indonesia ini bisa menjadikan Indonesia sebagai contoh yang baik bagaimana kehidupan kerukunan antar agama, dan keberagaman agama di Indonesia memang berasal dari masa lalu yang tidak bisa dirubah. Selain itu bagi kelompok pro pluralisme ini mereka juga mengutamakan kesatuan dari NKRI.
- Kontra Pluralisme
Bagi kelompok kontra pluralisme, pluralisme itu sendiri dianggap bisa mengancam kemurnian ajaran suatu agama. Ini disebabkan karena pada dasarnya setiap agama memiliki ajaran masing-masing. Dan ketakutan para kelompok kontra pluralisme ini adalah bahwa nantinya ajaran setiap agama akan saling bercampur baur dengan ajaran agama lain. Selain tu jika dilihat dari praktek dilapangan, sangat jelas bahwa pengaplikasian toleransi masih belum dapat dilaksanakan dengan baik. Kerukunan antar umat beragama bisa dibilang masih jauh dari yang diharapkan. Sebagai contoh adalah ketakutan kritenisasi di daerah islam dan islamisasi di daerah kristen membuat setiap penganut agama akan sedikit menutup diri dari penganut agama.
Saya juga melakukan wawancara mengenai pandangan pluralisme kepada salah satu public figure di Indonesia yang bernama Muhammad Irsyadillah (21) “menurut pandangan saya mengenai pluralisme yang ada di Indonesia, masyarakat Indonesia dijaman sekarang pikirannya makin tertutup. Seharusnya semakin modern masyarakat bisa berpikiran terbuka dan meninggikan rasa toleransi. Karena bisa dilihat sesuai perkembangan zaman dan kemajuan teknologi semakin banyak budaya yang masuk, apalagi ditambah dengan adanya globalisasi. Jadi menurut saya sikap toleransi itu sangat penting.”
Saya juga menanyakan satu pertanyaan mengenai kasus yang sedang marak diperbincangkan, yaitu kasus pluralisme yang terjadi kepada Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disebut Ahok. Muhammad Irsyadillah atau Irsyad berpendapat bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pemikiran masyarakat yang melarang Ahok menjabat sebagai Gubernur Jakarta hanya karena Ahok keturunan bangsa Tionghoa. Karena menurut Irsyad, latar belakang agama, ras maupun budaya itu sangat tidaklah penting. Karena yang dilakukan oleh Ahok semata-mata untuk mengubah Indonesia khususnya Jakarta menjadi semakin lebih baik lagi.
Indonesia memiliki satu tokoh reformasi yang dikenal sebagai “Bapak Pluralisme Indonesia”, Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau sosok yang akrab disapa Gus Dur. Ia adalah tokoh Muslim yang menjunjung tinggi kebhinekaan di tanah air. Adil dan toleran, dua kata yang paling tepat menggambarkan sikapnya terhadap keanekaragaman suku, agama, dan budaya yang ada di Indonesia.
Di era kepemimpinannya, Gus Dur menunjukan bahwa ia tak hanya bicara. Salah satunya adalah mengembalikan hak-hak umat beragama Konghucu yang terpasung selama orde baru, atau mencabut peraturan yang melarang kegiatan adat warga Tionghoa secara terbuka. Nilai toleransi sudah tertanam di dalam jiwa Gus Dur sejak saat ia masih muda. Saat masih duduk dibangku sekolah, Gus Dur sudah dijejali bermacam buku yang tak selalu mengajarkan tentang Islam saja. Gus Dur dalam pidatonya mengatakan pluralisme yang menjadi isi buku dan roh dirinya diambil dari keputusan Muktamar Nahdatul Ulama (NU) pada 1935.
Bukan hanya studi di luar negeri saja, Gus Dur telah banyak menamatkan beberapa karya sastra. Karya sastra yang dibacanya antara lain karya Ernest Hemigway, Jhon Steinback, dan William Faulkner, Johan Huizinga, Andre Mairaux, Ortega Y.Gaset dan beberapa karya tulis Rusia, seperti: Puskin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Karir Gus Dur di dunia sudah tidak diragukan lagi, bahkan segudang prestasi sudah diraihnya yang menandakan bahwa ia adalah seorang manusia yang agamis dan layak disebut tokoh politik paling berpengaruh di Indonesia. Namun, meskipun memiliki karir yang sukses, Gus Dur merasa sulit hidup dari satu mata pencaharian saja, hingga akhirnya dia mencari pekerjaan tambahan dengan menjual kacang dan es lilin yang dirintis dengan istrinya.
K.H. Abdurrahman Wahid atau yang kita kenal sebagai Gus Dur merupakan presiden republik Indonesia yang ke empat dan dalam masa pemerintahannya dipenuhi dengan kontroversi dan menimbulkan pro dan kontra pada masyarakat. Setelah jatuhnya Rezim Soeharto Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan Negara, konflik meletus di berbagai daerah. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Seperti penyelesaian konflik Aceh secara damai dan menetralisir Irian Jaya dengan mendorong penggunaan nama Papua.
Gus Dur menjadi pemimpin yang meletakkan pondasi perdamaian Aceh, karena pada pemerintahan Gus Dur lah ada pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sehingga Indonesia terbuka yang tadinya permasalahan ini merupakan permasalahan yang tabu, yang seakan-akan tertutup rapat. Ditambah lagi saat sejumlah Tokoh Nasional mengecam pendekatannya dengan Aceh, Gus Dur tetap memilih pendekatan penyelesaian yang simpatik dengan mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membicarakan Aceh secara damai.
Langkah yang diambil Gus Dur memang banyak larangan dari para tokoh politik karena dianggap akan membahayakan kestabilan negara. Namun Gus Dur menganggapnya dari sudut yang berbeda, dia menganggap apabila tidak ada sebuah tindakan yang nyata maka Aceh akan lebih berbahaya dan bisa saja dia keluar dari NKRI. Dalam ambisinya, Gus Dur sering melontarkan pendapat yang kontroversial, ia tak getar mengungkapkan sesuatu yang diyakini nya benar padahal banyak orang yang sulit memahami dan menerimanya.
Setelah berhenti menjadi presiden Gus Dur tidak berhenti untuk melanjutkan karir dan perjuangannya sampai disini saja. Tahun 2002, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Kemudian pada tahun 2003, Gus Dur menjadi penasihat dalam Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional. Pada tahun 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik bersama koalisi Nusantara Bangkit Bersama bersama Tri Sutrisno, Wiranto Akbar Tanjung dan Megawati, dimana koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dan pada thaun 2009, merupakan hari terakhir bagi Bapak Pluralisme Indonesia ini. Gus Dur meninggal pada hari Rabu, 30 Desember 2009 di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul 18:45 WIB.
Gus Dur dan Pluralisme memang dua kata yang tidak bisa dipisahkan dari telinga masyarakat Indonesia. Karena jasa-jasa Gus Dur dalam mengedepankan kebersamaan walaupun berbeda ras dan keyakinan. Gus Dur digelari sebagai Bapak Pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok kaum minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan kalangan umat non-muslim seperti umat Kristen, Katolik dan etnis Tionghoa. Dan sikap yang ditunjukan oleh Gus Dur ini menghadirkan pro dan kontra tersendiri dari pemikirannya yang sering kontroversi.
Dalam memperjuangkan pluralisme di Indonesia dan dalam membela kaum minoritas, Gus Dur tidaklah takut untuk melawan arus demi menegakkan apa yang ia anggap benar, walaupun resiko yang didapat dari perbuatannya itu bisa berakibat fatal untuk kedepannya. Namun disini Gus Dur ingin mengajarkan kepada rakyat Indonesia bahwa Negara Indonesia itu negara bangsa yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, sehingga negara ini bisa maju dan bisa saling menghormati setiap perbedaan yang ada dan menjadikan Bhineka Tunggal Ika dan Undang-Undang 1945 menjadi dua dasar yang menjadi payung hukum disamping Pancasila.
Mungkin kita telah kehilangan Gus Dur. Namun, pemikiran dan jiwanya serta nilai-nilai yang diajarkan Gus Dur harus tetap kita jaga untuk dapat meneruskan perjuangan beliau dalam menjunjung tinggi nilai keberagaman dan tetap saling menghormati demi kesatuan bangsa dan negara Indonesia.