Indovoices.com– Bupati Toba Samosir Darwin Siagian mengatakan bahwa tanaman tegakan rakyat di Sibisa sudah dibayar. Apakah Darwin Siagian memikirkan jika tanaman kopi rakyat Sibisa dibayarkan, bagaimana kelanjutan hidup pemilik kopi sebagai bagian dari tanaman tegakan?.
Pernyataan Bupati Tobasa ini mengingatkan saya sekitar tahun 2008 ketika pembangunan Pembangunan Listrik Tenaga Uap ( PLTU) di Labuhan Angin , Tapanuli Tengah. Satu bagan diganti rugi/untung sekitar Rp 1 juta hingga Rp 2,5 juta.
Saya mendiskusikan AMDAL PLTU Labuhan Angin dengan almarhum George Junus Aditjondro (GJA). Salah satu teman diskusi saya ketika itu adalah Melinda Siahaan yang kini baru lulus Ph.D dari Korea. GJA ketika itu geleng geleng kepala membaca AMDAL PLTU Labuhan Angin. Di dalam dokumen AMDAL ditulis bahwa kehadiran PLTU di Labuhan Angin akan membuka kesempatan tenaga kerja, buka usaha seperti rumah makan, usaha Wartel (kini sudah tak laku) dan berbagai macam usaha. Waktu kini berlalu 11 tahun, berapa banyak rakyat Labuhan Angin bekerja di PLTU Labuhan Angin?, berapa banyak usaha rumah makan dari asalnya nelayan?, berapa banyak usaha wartel yang kini tak relevan?. Dimanakah nelayan Labuhan Angin yang tergusur ketika itu?. Adakah sesuai isi dokumen asal jadi itu?.
Seorang putra Labuhan Angin yang kini sopir di Jakarta mengatakan bahwa dulu tiap pagi tahun 2008 1 bagan bisa menghasilkan Rp 100.000 hingga Rp 200.000/hari. Jika nelayan memiliki 2 bagan bisa minimal penghasilannya Rp 200.000/hari. Karena pembangunan PLTU kami digusur.
Pada umumnya, nelayan Labuhan angin kini pengangguran, ada yang buat bagan di tempat lain, kerja di kebun karet. Intinya, kami sengsara setelah laut yang ratusan tahun dikelola nenek moyang kami.
Penulis AMDAl itu aneh, nelayan Labuhan angin mau dijadikan pengusaha rumah makan, pengusaha Wartel?. Budaya rakyat Labuhan Angin itu biasa panen ikan tiap pagi. Mereka tidak terbiasa seperti petani padi di Porsea yang bertani padi dengan memulai mengolah lahan persemaian, menyemai, mengolah sawah, menanam, menyiangi, memupuk, panen, pasca panen. Nelayan hanya tau panen dan menjual.
Kalau Bupati Toabasa mengatakan tanaman tegakan seperti kopi dibayar. Dibayar berapa?. Bagaimana cara menghitungnya?. Apakah dengan cara bagan di Labuhan Angin yang menyengsarakan itu?. Sadarkah Bupati Tobasa itu rakyat Tobasa setiap pekan mereka mendapatkan uang dari kopi secara kontinu?.
Kalau pohon kopi sudah ditebang, hidup mereka bagaimana?. Hanya dengan bahasa terbuka peluang bekerja di BPODT dengan uji kompetensi?. Kompetensi mereka bertani. Mengapa kopi tidak dibiarkan dan menjadi wisata kopi?. Membuat kopi rakyat dipasarkan ke dunia?. Wisatawan menjadi marketing petani kopi?.
Sekali lagi, “tudia do petani kopi i bupati molo dung digarar hamu bona ni kopi i?” ( kemana petani kopi pasca tanaman kopi dibayar?”. Ada orang yang bertanya, mengapa Bupati yang diserang?”. Jawaban saya adalah Bupati harus berjuang bagi rakyatnya.
Masa konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan berbagai konsep wisata ramah lingkungan tak dipahami Bupati?. Apa yang dipelajari bupati ini selama ini?. Sibuk dengan angka rekening?. Sekarang ini era Bupati kreatif membangun ekonomi rakyat yang berkelanjutan. Lihatlah Bupati Banyuwangi, Bupati di Bali, Gubernur Jawa Barat dan lain sebagainya.
Jika kita lihat cara-cara BPODT hadir di Sibisa, sangat mengkuatirkan. BPODT telah menghasilkan tragedi bagi kita hanya karena sebuah arogansi. Karena itu, dibutuhkan kesadaran bagi kita untuk melaksanakan pembangunan mutlak secara berkelanjutan. Hampir di seluruh dunia dikembangkan ekoturisme. Pariwisata yang memastikan sebuah sistem keberlanjutan. Waktu masih ada untuk sadar sebelum resiko yang teramat tinggi itu dipaksakan. Maukah kita konfliknya berkelanjutan?. Tidak, kan?. Karena itu, lakukan program wisata Sibisa secara berkelanjutan. (gurgur manurung)
*Gurgur Manurung, alumnus pascasarjana IPB bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.