Indovoices.com –Pemerintah berupaya melakukan optimalisasi bandara dan rute penerbangan dalam negeri di Indonesia. Hal ini mengingat di tengah kondisi pandemi sangat rawan apabila semua bandara dibuka penerbangan internasional.
“Kita sudah banyak bicara dengan Menhub dan beliau mendukung bagaimana nanti bandara-bandara di Indonesia ya memang tidak semuanya bisa open sky untuk pesawat asing,” ujar Menteri BUMN Erick Thohir saat srapat kerja dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR, seperti dikutip Sabtu (5/6).
Erick mencontohkan Amerika Serikat dan China yang hanya membuka beberapa bandara untuk penerbangan internasional, sedangkan rute-rute domestik diharuskan menggunakan maskapai dalam negeri.
“Nanti dari bandara titik yang dibuka itu bisa menyebar ke banyak kota tapi untuk dalam domestik hanya Garuda atau penerbangan swasta (yang diperbolehkan),” ucapnya.
Erick pun mendorong gagasan hanya ada beberapa bandara di Indonesia yang terbuka bagi pesawat maskapai asing yang mau mendarat di Indonesia. Hal ini sudah dibicarakan kepada Kementerian Perhubungan.
“Kita sudah bicara dengan menhub dan beliau mendukung. Bagaimana nanti airport tidak open sky, jadi tidak semua pesawat asing bisa mendarat, dengan kondisi pandemi sekarang juga kita harus pertimbangkan supaya penyebaran tidak terjadi,” ungkapnya.
Erick menyebut jika tidak menerapkan open sky membuka kesempatan maskapai plat merah juga swasta untuk mendapatkan pasar yang lebih besar, sehingga pintu kedatangan internasional terbatas, lalu disambung dengan penerbangan domestik untuk daerah yang dituju.
“Ini kesempatan bagi kita untuk sinkronisasi dengan kementerian – kementerian lainnya, kalau hanya beberapa titik atau bandara yang menerapkan open sky. Dari titik itu kemudian Garuda bisa dikoneksikan menyebar ke 20 kota,” ungkapnya.
Di samping itu, Erick mengungkapkan selama ini beban terbesar PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk terletak pada perusahaan penyewa pesawat atau lessor. Erick menyebut Garuda memiliki kontrak penyewaan pesawat dengan 36 lessor.
“Kami meyakini salah satu masalah terbesar di Garuda itu mengenai lessor, ada 36 lessor yang harus dipetakan ulang,” ucapnya.
Manajemen Garuda, kata Erick, harus melakukan negoisasi keras dengan lessor yang bekerja sama dalam sejumlah kasus koruptif sebelumnya. Sedangkan lessor yang tidak terkait dengan kasus, Erick mendorong manajemen untuk mengajukan negosiasi ulang.
Beban kedua terbesar Garuda, ucap Erick, ialah model bisnis. Erick meminta Garuda berani mengubah model bisnis pascapandemi dengan fokus menggarap pasar penerbangan domestik. Toh, kata Erick, selama ini 78 persen penumpang Garuda disumbang oleh pasar domestik, sementara 22 persen sisanya baru diisi penumpang penerbangan internasional.
“Kita negara kepulauan yang mestinya lebih baik domestik untuk (penerbangan) luar negeri cost sharing saja karena banyak negara harus ekspansi (penerbangan internasional) karena negara cuma satu pulau, kita tidak perlu seperti itu,” ucap Erick.