Seiring perjalanan waktu, Indonesia sedang bersaing menghadapi Negara lain dalam menghadapi kemajuan zaman. Indonesia dan negara lain diibaratkan sebagai Murid yang mulai sekolah dari Taman bermain, SD, SMP, SMA dan Kuliah. Bangsa Indonesia pernah menghadapi Ujian Sekolah Hasil Akhir pada zaman Orde Baru, dimana kegagalan terjadi disaat Timor Timur akhirnya lepas dari Indonesia dan menjadi negara sendiri dan Pulau Bali kebanggaan Indonesia menjadi target Pengeboman dua kali karena lengah, dan juga di Surabaya dan Jakarta walaupun dengan waktu yang berbeda, belum lagi adanya sejarah Gerakan Papua Merdeka dan Aceh Merdeka di masa lampau yang menambah Pengalaman Indonesia dalam belajar.
Indonesia sekarang ini sedang diuji dalam hal Keadillan. Dulu lisannya salah seorang Gubernur terpandang di DKI Jakarta dijadikan senjata mematikan dan digoreng sedemikian rupa, sehingga dimenangkan sekelompok Massa dalam bungkus Agama untuk kepentingan Politik dengan nama Penistaan Agama, yang berakibat dipenjaranya Gubernur tersebut dan kalah total dalam Pilkada Gubernur saat itu, namun ketika seorang Pemuka agama menyampaikan pandangannya terhadap akidah keyakinan agama lain, dia mengumandangkan ketidakbersalahannya karena ia menyampaikan akidah agama yang diyakininya. Apakah salah? Tidak, membela akidah agama sendiri itu tidak salah, jadi dimana salahnya? Kesalahan ada didalam sistem yang tidak adil. Sistem Keadilan menjadi tumpul ketika berada di Koridor Mayoritas sementara menjadi sangat tajam dan mematikan ketika berada di koridor Minoritas. Hal ini juga terlihat ketika ada kejadian seorang ibu yang mengeluhkan masih dalam santun dan adab atas Volume suara saat ibadah suatu agama tetapi dianggap penistaan agama juga. Jadi jelas disini, Indonesia masih harus sekolah lagi dalam hal Keadilan dalam hukum.
Hanya dalam hitungan hari, saat 17 Agustus 2019 yang lalu, insiden terjadi dengan warga Papua, siapa pemicunya, siapa biang gara-garanya, sedang ditelusuri. Bisa saja nanti terungkap bahwa itu terjadi by design atau sebuah keisengan petualang sosmed yang menyebarkan hoaks pengrusakan bendera Merah Putih, atau juga eskalasi terjadi karena melihat tayangan dan pemberitaan penangkapan dan penahanan mahasiswa Papua, atau provokasi oleh ormas-ormas terhadap mereka. Media Sosial yang harusnya menjadi pemersatu bangsa, malah dibuat sebagai media penghancur bangsa dan diri sendiri, bahkan orang orang yang dikasihi. Terlihat jelas banyak sekali skandal dari Skandal Vina Garut, Skandal Pelajar Bandung sampai Skandal mantan Narasumber ILC dari UGM yang menggunakan kecanggihan Media Sosial untuk mengekspose kelakuan buruk mereka sendiri untuk diviralkan dan hanya berakhir di Pengadilan dan Jeruji besi. Inilah potret bangsa yang membuktikan Indonesia masih belum dewasa.
Posisi Indonesia masih dalam tahap belajar. Belajar memahami arti Toleransi Suku agama dan Ras serta paham betul bagaimana secara bijaksana menggunakan Teknologi. Lihatlah China, China adalah negara Komunis terkuat di dunia, tapi para turis ataupun warga lokal sendiripun bisa dengan mudah menemukan Mesjid, Gereja dan Vihara di China, semua terbuka, bahkan untuk Turis yang baru sekali berkunjung sekalipun. Peraturan juga jelas di China, Warga Muslim menghina warga Kristen hukumannya sama dengan Warga Kristen menghina Warga muslim dan juga akan dialami juga ketika Warga Buddha menghina Warga Muslim, yaitu hukuman mati. Tidak ada basa basi, dan ini tidak perduli dilakukan oleh Warganya sendiri ataupun Turis asing. Inilah kedewasaan sesungguhnya, dan terbukti siapapun yang di China harus berhati hati sekali dalam bertutur kata.
Bahkan China lebih dewasa dalam menghadapi tekanan kemajuan Media Massa dan Media Sosial. Penyedia informasi akan diberikan hukuman jika mereka gagal untuk “mempertahankan sosialisme, mendorong budaya internet sehat, dan menjaga keamanan kepentingan nasional.”
Tiga perusahaan raksasa China dengan merk berpengaruh di pasar akan ikut kena sensor. Baidu yang menjadi mesin pencari, Tencent dengan aplikasi pesan WeChat, dan NetEase dengan aplikasi berita, akan terkikis habis. Namun ketiga perusahaan tersebut enggan memberi konfirmasi.
Seberapa jauh informasi yang akan disaring ditentukan oleh Cybersecurity Administration.
Di China, Pemerintah yang mengatur Teknologi, bukan Teknologi yang mengatur Pemerintah. Mereka tidak mau tergantung dari Teknologi Asing dan itu dibuktikan dengan pembuatan Aplikasi Media Sosial yang asli dari tangan kreatifitas anak anak muda di China, bukan teriakan teriakan demonstratif Anti Asing tapi tidak berbuat apa apa.
Wacana robot akan menggantikan pekerja manusia di pabrik-pabrik bukan isapan jempol belaka. Pada 2025, sekitar 52 persen robot akan menggantikan posisi manusia dalam sebuah perusahaan. Mereka akan bekerja layaknya peran manusia yang bekerja sebagai akuntan, manajemen klien, pemasaran, layanan pelanggan hingga kesekretariatan.
Di beberapa negara, robot telah mulai mengganti peran manusia. Seperti di Jerman, ada sebuah bar yang sejak 2013 mempekerjakan robot untuk melayani para pelanggannya. Ada juga robot bernama Chihira Aico yang menjadi resepsionis di Tokyo Departemen Store. Tak hanya pusat perbelanjaan, salah satu hotel di Jepang juga telah mempekerjakan robot sebagai resepsionisnya.
Kehadiran teknologi seperti di atas memang sangat menguntungkan dari segi bisnis terutama bagi pemilik usaha. Pelaku usaha bisa menekan biaya untuk mempekerjakan manusia. Namun di sisi lain, manusia harus kehilangan pekerjaannya karena tergerus teknologi.
Indonesia memang sedang sekolah lagi, karena kita harus belajar lebih soal kemajuan bangsa yang sekarang sudah ramai ramai memfokuskan kepada Revolusi Industri 4.0, itu kenapa Teknologi di Indonesia cenderung stagnan.
Dua faktor yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan teknologi di Indonesia. Pemerintah perlu mendukung inovasi dan riset dengan menganggarkan lebih banyak dana untuk kegiatan penelitian, atau memacu swasta agar lebih banyak melakukan Research and development.
Memang hasilnya tidak dapat dirasakan secara langsung, namun dapat berdampak sangat besar suatu saat nanti. Selain itu pemerintah juga perlu mendukung alih teknologi ke Indonesia dengan tidak mudah memberikan izin perusahaan teknologi asing berdiri dan berjualan di Indonesia. Untuk setiap perusahaan teknologi tinggi yang masuk ke Indonesia harus dibarengi kerjasama dengan perusahaan teknologi lokal.
Indonesia memang sedang belajar, tetapi jangan sampai kita belajar terus, kita harus berkompetisi dengan negara lain. Kuasai Teknologi dan jangan Teknologi yang menguasai kita, dengan kita menggunakan Teknologi sebagai penyebar berita hoax pembunuh massal dan menyebarkan rahasia hidup yang tak layak dan tak pantas untuk disebar contohnya Pornografi, tetapi gunakan Media Massa pada tempatnya dan menyaring informasi Teknologi dengan baik dan benar.
Biarlah Agama menjadi kaidah dan akidah personal saja dan jangan dipertentangkan dan pemerintah harus menjamin keamanan beragama dan bukan saatnya membahas benar salahnya isi pemahaman agama lain yang kita tidak paham.