*Prolog*
Ada dua pasangan baru menikah berusia sama sama 25 tahunan. Kerja di perusahaan yang sama dengan gaji juga sama. Yakni Keluarga Pak Joko dan keluarga Pak Beye. Gaji mereka sama sama 7 juta sebulan. Tapi punya pengeluaran Rp 8 juta sebulan. Dua Keluarga ini harus nombok sejuta sebulan untuk keluarganya.
Walau sama sama defisit , Pak Joko terbukti jago mengelola utang, sementara Pak Beye teledor dan dimanja utang yang berakibat anak anaknya terancam sekolahnya karena ketiadaan biaya. Gimana ceritanya…?
Begini:
Pak Beye berutang sejuta sebulan untuk menutup defisit kebutuhan keluarga. Makin hari jumlah utang makin besar dan mendekati jatuh tempo. Akhirnya kolaps. Utang telah menghancurkan ekonomi keluarganya.
*Tekhnik Utang yang Berbeda*
Sementara sampel kedua, Pak Joko, menempuh jalan yang berbeda dari yang ditempuh Pak Beye. Pak Joko juga kekurangan duit sejuta sebulan. Pak Joko bukannya berutang sejuta, malah dia ambil utang Rp 35 juta dengan fasilitas KUR dari pemerintah. Bunganya rendah dan tanpa agunan. Dengan 35 juta tsb, pasutri ini membuka usaha Laundry. Mereka sewa toko di tempat strategis, dekat dengan perumahan dan kos mahasiswa. Sementara Pak Joko tetep kerja di perusahaan orang, isterinya mengelola Laundri. Sore pulang kerja, Pak Joko gabung bersama isterinya. Mulai dari cuci, setrika dan ngantar baju ke pelanggan. Motor kredit yang selama ini untuk berangkat kerja kini tambah job untuk ngantar baju kerumah pelanggan.
Tak terasa utang KUR yang 3 tahunan sudah lunas, usaha Laundri tetap berkembang bagus. Ia ngambil utang KUR yang baru. Dengan utang baru Seratus juta ia buka usaha pangkas / Barber Shop. Pak Joko yang cerdas membuat system bisnis sehingga tanpa harus terlibat – Barber shop bisa jalan dengan baik. Dengan CCTV maka enam kursi pangkas dapat dipantau. Siapapun karyawan yang mangkas terdata oleh CCTV. Enam karyawannya tidak bisa ngibul melapor cuma ada 30 pelanggan padahal 100 orang pelanggan sehari karena CCTV gak kenal kompromi. Usaha Laundri dan usaha Barber shop bisa jalan tanpa harus menggunakan tenaganya langsung. Mereka hanya mengawasi. Dan mereka berhasil mengelola utang dengan baik.
*Kesimpulan*
Pak Joko bebas finansial dengan cara smart, utangnya adalah utang sehat, enam tahun menikah dan mengelola utang dengan benar dan anak anaknya masuk sekolah di sekolah terbaik di kotanya. Sementara Pak Beye juga utang, tapi utang yang ia buat makin membuat dia dan keluarganya merana, terjerat dan makin miskin. Keluarga Pak Beye menderita karena utang yang salah urus.
Kesalahan Pak Beye adalah “MEMINDAHKAN RESIKO” kemasa depan dengan cara yang salah. Saat enam tahun berlalu, resiko yang tadi ia pindahkan udah mentok di depan mata dan anaknya terancam tidak bisa sekolah karena ketiadaan biaya. Sementara Pak Joko memilih menghadapi resiko dengan bekerja. Utang yang besar itu memang pahit, tapi ujungnya manis. Ia bisa menyekolahkan anaknya dengan baik pada waktunya.
Bagaimana realitanya dengan utang negara kita…??
Presiden Jokowi telah menambah utang negara, utangnya juga besar. Namun semua utang Jokowi adalah utang produktif. Utangnya berupa waduk, Jalan Tol, PLTA, pelabuhan laut dan Infrastruktur lainnya. Dengan waduk, petani yang dulu panen sekali setahun kini bisa panen tiga kali setahun. Dengan jalan Tol – pedagang pemilik Armada L300, dulunya cuma bisa bawa sayur / buah sekali sehari abis waktu di jalan 18 jam tapi kini bisa bolak balik tiga kali sehari karena waktu tempuh kini cuma 4 jam saja dah sampai tujuan.
Bahkan lebih cerdas lagi, sebagian utang itu malah B2B, Business To Busines. Utang dua perusahaan yang tidak melibatkan negara yang tentu saja tak membebani APBN kita.
Dengan adanya PLTA listrik masuk desa desa nelayan, warga bisa bikin es untuk mengawetkan ikan hasil tangkapannya di laut, Dengan Pelabuhan laut atau Bandara yang lebih bagus, kita bisa mematahkan congkaknya Singapura. Adalah lucu saat udang Lobster kita di Sinabang Aceh dan Sumbawa malah lebih murah kalo dikirim ke Eropah melalui Pelabuhan laut Singapura. Walau tak terucap, tapi Singapura pasti gemetaran kalo kita mandiri tak lagi bergantung dengan mereka. Ekonomi mereka pasti akan lesu kalo kita gak lagi pakai pelabuhan laut mereka
infrasutruktur yang dibangun Jokowi agar biaya produksi pengusaha kita bisa kalahkan Singapura. Semua memacu pengusaha kita lebih baik dan mandiri. Makanya jangan keliru memahami utang yang dibuat oleh Pemerintah Jokowi.
Coba liat utang negara yang dibuat untuk mensubsidi BBM di masa Presiden yang lalu-lalu. Dana sekira 200 s/d 250 Trilyun setahun dibakar bakar dijalanan dalam bentuk subsidi. Andai dipukul rata, artinya sekitar 2.000 s/d 2500 Trilyun duit dibakar bakar dijalanan dalam bentuk BBM bersubsidi, duit APBN itu mengalir ke PT Petral, sebuah perusahaan minyak fiktif yang berpusat di Hongkong dimana perusahaan itu adalah milik politisi yang sedang berkuasa. Ganti penguasa juga otomatis ganti Direkturnya, coba itung ndiri berapa nilai “korupsi Legal dan sah” yang masuk ke kantong presiden terdahulu melalui Petral.
Ingat….!!!
Petral Itu perusahaan anak bangsa, tapi didirikan di Hongkong, tunduk pada hukum Hongkong. Pajak juga pajak Hongkong. Trilyunan dana APBN ini mengalir ke Hongkong bukan karena kejahatan / Korupsi.
Ulangi:
Trilyunan dana APBN ini mengalir ke Hongkong bukan karena kejahatan / Korupsi.
Mereka pesta duit Trilyunan di Hongkong sementara rakyat dibagikan duit receh dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai. Dasar Bangke …!!!
Kebrengsekan ini dibongkar oleh Jokowi. Sejak menjabat Presiden ia langsung membubarkan Petral. Presiden sebelum Jokowi telah memindahkan resiko dengan cara yang licik. Soeharto telah memindahkan resiko ke masa depan. Dan dia terkena resiko yang ia buat sendiri hingga tahun 1998 ekonomi kita tumbang, rakyat jadi korban. Saat 1998 itu ada warga bangsa yang makan daging kucing karena lapar
Para presiden lain juga memindahkan resiko kemasa depan dengan cara yang sama liciknya. Yang penting mereka disukai rakyat alias “Proyek Pencitraan” dan “Proyek Mangkrak” dengan segala uang receh subsidi yang mereka berikan padahal politisi itu dapet duit Trilyunan. Mereka gak peduli dengan resiko yang telah mereka pindahkan ke masa depan karena mereka tidak lagi jadi Presiden kalo krisis kembali terjadi. Resiko dimasa depan itu akan ditanggung oleh anak cucu kita selanjutnya.
*Penulis: Arloren Antoni