Perth. Siang hari. Kami sedang asyik ber-barbecue di sebuah taman kota. Tiba-tiba ada seorang bule rasis yang reseh. Intinya dia tidak senang kami berada di sana dan merasa bahwa dia adalah penduduk asli Australia. Di tengah sikon yang tidak nyaman seperti itu, seorang rekan dari Indonesia dengan berani berkata, “You sendiri bukan pribumi di tanah ini!”
Seketika wajahnya memerah dan pergi. Lagi pula, teman-temannya sesama kulit putih pun pun tidak suka dengan sikap rasisnya itu. Rupanya dia baru sadar bahwa dia pun pendatang. Bukankah pribumi negeri kanguru adalah suku Aborigin?
Pengalaman itu mengingatkan saya akan sebuah komik science fiction yang pernah saya baca puluhan tahun yang lalu sehingga judul maupun pengarangnya pun saya lupa. Saya bahkan lupa apakah itu berupa komik atau novel ringan. Yang jelas, sepenggal kisahnya masih melekat kuat di benak saya.
Dikisahkan seorang penduduk bumi mendarat di sebuah planet tak dikenal. Dengan keingintahuan yang besar dia menjelajahi seisi planet itu. Dia ingin tahu apakah planet yang baru didarati pesawat antariksanya itu berpenghuni atau tidak.
Di tengah jalan, dia bertemu dengan ‘seorang’ yang aneh. Daun telinganya menghadap ke belakang. Spontan dia tertawa terbahak-bahak melihat pemandangan yang ganjil itu. ‘Orang’ yang dia temui cuek saja, meski heran dengan tingkah ‘tamunya’ itu.
Orang bumi itu meneruskan perjalanannya. Sepanjang jalan semakin banyak saja ‘orang aneh’ bertelinga menghadap ke belakang. Kini giliran dia yang dijadikan tontonan. Semua mata memandang ke arahnya. Sampailah dia di sebuah ‘plaza’ tempat penghuni planet itu berkumpul. Seketika semua ‘mata’ memandang ke arahnya dan gantian mereka yang tertawa melihatnya. Kini dia satu-satunya orang yang telinganya menghadap ke depan.
Dari masa ke masa persoalan pribumi non pribumi seakan sebuah buku bersambung yang tidak pernah tamat. Setiap kali ada pilkada, isu semacam ini sering digoreng orang-orang tertentu untuk mengalahkan lawan dengan telak. Cara-cara seperti ini berulangkali terjadi di tanah air tercinta.
Sebaliknya, setiap kali saya keluar negeri dan mendapati bahwa pemimpin negara, negara bagian, provinsi atau kota yang saya tuju memiliki pimpinan yang berbeda etnis dari mayoritas penduduk ‘asli’ saya merasakan kesejukan yang luar biasa. Perbedaan tidak lagi dianggap sebagai penghalang untuk tampil sebagai orang nomor satu di daerah itu.
Namun, karena masih adanya sekat-sekat yang memisahkan antara pribumi dan non pribumi itulah yang membuat orang-orang yang berpandangan jauh ke depan mengambil langkah-langkah SENGAJA agar pembauran bisa berjalan semakin cepat. Ketika mengikuti sebuah konferensi yang memakan waktu hampir satu bulan lamanya, saya ditempatkan satu kamar dengan orang India. Panitia mengatur sedemikian rupa sehingga setiap negara diberi room mate orang dari negara lain. Seorang sahabat saya yang sama-sama dari Indonesia satu kamar dengan orang Afrika. Karena tinggal bersama selama satu bulan dengan orang India, saya jadi lebih mengenal—dan mencintai—India yang semasa kecil hanya saya kenal lewat filmnya. Demikian juga dengan teman saya. Dia jadi respek terhadap orang Afrika.
Mengapa panitia konferensi yang diadakan di negara Paman Sam itu membuat pengaturan demikian? Kita tahu bahwa negara yang mengklaim dirinya sebagai bangsa yang paling demokratis di dunia pun ternyata belum terbebas seluruhnya dari isu rasialisme. Letupan-letupan kekerasan berbau perbedaan warna kulit masih sering terjadi di beberapa negara adidaya ini. Segregasi kulit putih kulit hitam masih terjadi di berbagai sektor kehidupah. Itulah sebabnya ketika Obama menang, saya bersorak.
Ketika ada tugas bicara di New York, saya tinggal di sebuah kawasan yang mayoritas dihuni oleh penduduk kulit hitam. Ada yang menyebutnya Afro-America. Saat breakfast, anak bungsu saya begitu terkesan dengan keramahan penduduk lokal. Di jalan, ada ibu-ibu yang menyapa dengan ramah. Saat hendak masuk restoran cepat saji, ada orang yang membukakan pintu dengan sopannya. Dia bukan pramusaji di resto itu. Apalagi bell-boy. Dia sesama pelanggan yang ingin menikmati sarapan pagi di sana. Ketika hendak ke toilet, seorang gadis kecil berambut keriting dengan riangnya menunjukkan tempatnya. Suasana yang adem, ayem, tentrem. Beda sekali dengan penggambaran beberapa film Hollywood yang sengajar mendiskreditkan kalangan kulit hitam sebagai pelaku kriminal seperti trafficking, drug dealer, gangster dan sebangsanya. Memang ada di antara mereka yang demikian, tetapi bukankah sampah masyarakat itu ada di setiap etnis?
Jika di saat kampanye ada tokoh-tokoh yang mengajak kita semua—sebangsa dan setanah air—untuk menganyam tenun kebangsaan, marilah kita buktikan semua itu dengan tindakan nyata. Janji seharusnya merupakan bukti yang tertunda. Indonesia terlalu indah untuk dicabik-cabik oleh isu SARA. Menjelang bulan November ini, jangan sampai kita mengecewakan jasa para pahlawan yang gugur mendahului kita. Mereka terdiri dari berbagai latar belakang yang berbeda tetapi punya satu tujuan: MEMBELA TANAH AIR TERCINTA. Masa kita yang sudah hidup di alam merdeka ini ingin kembali dikoyakkan oleh isu-isu yang seharusnya tidak lagi mengemuka, apalagi dijadikan komoditas kampanye.
Xavier Quentin Pranata, yang lahir dan cinta Indonesia