Undang-undang yang menimbulkan banyak permasalahan, kegaduhan dan multitafsir memang sudah seharusnya di amandemen atau jika perlu dihapus sama sekali.
Bukan apa-apa, jangan sampai ketidakpastian hukum dijadikan alat untuk menjerat seseorang hanya atas dasar tidak suka.
Undang-undang pasal 156a KUHP tentang penodaan agama misalnya. Sejak kasus Ahok saya semakin yakin bahwa pasal penodaan agama ini sangat rawan sekali dipolitisir. Bayangkan saja, hanya karena (mungkin) salah berpendapat, bisa dipenjara selama lima tahun. Ini jelas ada permasalahan.
Data menunjukkan pasal penodaan agama ini sudah memenjarakan 115 orang di era reformasi. Dan salah satunya adalah Ahok. Padahal pada jaman orde baru, hanya ada 8 kasus saja.
Ini anomali, disaat reformasi dimana kebebasan berpendapat diberi tempat yang seluas-luasnya, tetapi disisi lain justru di era reformasi inilah banyak orang berpendapat yang dipidanakan. Dan ancamannya tidak main-main, 5 tahun penjara.
Ancaman hukuman 5 tahun ini implikasinya sangat besar. Kita ingat bahwa Undang-undang kita mengatakan bahwa seseorang yang melakukan tindakan pidana yang diancam hukumam penjara 5 tahun atau lebih tidak boleh menjadi presiden, wakil presiden bahkan menteri sekalipun.
Sehingga pasal penodaan agama sangat mungkin digunakan lawan politik untuk menjegal kesempatan seorang anak bangsa yang ingin menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini. Dan Ahok lah contoh yang sangat nyata…
Contoh lain adalah kasus Sukmawati dimana saat ini sedang terjadi demo mendesak Sukmawati untuk diproses hukum. Ada hal yang mengejutkan karena ternyata oh ternyata, puisi kontroversial yang dilantunkan ibu sukmawati ini dibuat tahun 1999, dibukukan tahun 2006 dan baru heboh 12 tahun kemudian. Muncul pertanyaan, tahun 1999-2006 kemana saja?
Ini ada apa? Lha disinilah letak potensi pasal ini dijadikan alat untuk kepentingan politik.
Sehingga wajar saja ketika Direktur Eksekutif Amnesty Intenasional, Usman Hamid mendesak pemerintah untuk menghapuskan pasal penodaan agama karena memang sangat bermasalah.
“Kami meminta kepada pemerintah Indonesia, parlemen Indonesia, untuk menghapuskan UU penodaan agama karena UU ini telah banyak memenjarakan orang-orang yang lebih banyak menyampaikan pandangan atau menjalankan keyakinan mereka,” ujar Usman di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat-warta kota.
Tidak hanya memenjarakan dan menghambat seseorang untuk menjadi presiden dan menteri, pasal ini juga terbukti berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang sangat majemuk seperti Indonesia ini.
Pasal penodaan agama ini bisa memperparah keterbelahan sosial di masyarakat mengingat Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama dan ras.
Sehingga jujur saja saya mendukung jika pada akhirnya undang-undang ini dihapuskan sama sekali. Cukup sudah Ahok menjadi martir pasal karet ini.
Jika demikian, bagaimana dengan kelanjutan kasus penodaan agama kristen yang masih berjalan karena yang bersangkutan kabur ke luar negeri? Menurut hemat saya dimaafkan saja seperti himbauan pak Ma’ruf Amin dan pak Din Syamsudin terhadap Sukmawati. Bagaimana para pembaca, kira-kira setuju tidak? He..he
Ingat pepatah Jawa : “Crah agawe Bubrah, rukun agawe Santosa” yang artinya perpecahan bisa mengakibatkan kehancuran, akan tetapi hidup rukun akan membuat sejahtera”
Selamat hapus pasal karet penodaan agama!
Sumber :