Harus diakui bidang hukum memang menjadi titik lemah dalam pemerintahan Jokowi-JK. Begitu memukau dalam pembangunan sarana infrastruktur, digdaya sektor kelautan dan kemaritiman namun loyo kalau sudah bicara penegakan hukum.
Nyaris tidak ada gebrakan yang berarti. Kasus lama mangkrak, kasus baru bermunculan menambah daftar pekerjaan rumah. Pelanggaran HAM masa lalu belum kelihatan titik terang, sudah disusul kasus penyiraman air keras novel Baswedan yang juga masih gelap!
Penyebabnya sederhana saja menurut saya, pak Jokowi gagal memilih “pemain” terbaik dalam bidang ini.
Sebut saja Yasonna Laoly. Menjadi Menkumham dengan rekam jejak sangat minim, alhasil nyaris tak terdengar kinerjanya bahkan banyak menciptakan kotoversi di masyarakat. Alih-alih bikin terobosan, saya lihat pak Yasonna malah keseringan mengeluh penjara over kapasitas. Lha kalau over kapasitas terus solusinya apa pak? Obral remisi?
Coba kita bandingkan dengan gebrakan menteri Susi di laut, menteri Basuki di proyek infrastruktur, pak Budi karya di perhubungan, pak Jonan di ESDM, Sri Mulyani di keuangan, jauhhh….!!
Lalu apa lagi, Kejaksaan. Publik jelas menginginkan sosok Jaksa Agung dari kalangan profesional diluar partai politik sehingga bebas kepentingan, pak Jokowi malah mengangkat mantan politikus Nasdem yang akhirnya “geraknya terbatas”, kinerjanya normatif, lesuuu…
Sempat timbul harapan saat jenderal Muhammad Tito Karnavian dilantik menjadi Kapolri. Sosok jenderal muda tegas dan cerdas, tetapi tak sanggup juga memenuhi harapan masyarakat. Saat kasus Ahok bergulir paling jelas. Banyak orang menilai Ahok terpaksa ditersangkakan, disidang dan dipenjara setelah polisi mendapat tekanan oleh demo massa, meski sebetulnya dakwaan lemah.
Dan SP3 atau penghentian penyidikan beberapa kasus diantaranya kasus penghinaan Pancasila dan chat pornografi dengan tersangka Rizieq Shihab dan penistaan agama oleh Sukmawati melengkapi keraguan publik kepada jenderal Tito. Begitu percaya diri diawal-awal namun tiba-tiba SP3 dengan alasan tak cukup bukti. Padahal kalau boleh saya bandingkan, ketiga kasus yang dihentikan ini lebih layak diproses ketimbang kasus Ahok. Tapi ya itulah..kita hanya bisa bertanya, itupun kepada rumput yang bergoyang??
Belum terjawab pertanyaan-pertanyaan ini, muncul lagi kegaduhan pengangkatan jenderal polisi aktif menjadi PJ gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara oleh Mendagri Tjahjo Kumolo. Meski sudah dibantah pelantikan polisi sebagai PJ gubernur ini bernuansa politis, banyak pengamat menilai Jokowi tidak peka dan berpotensi memicu kegaduhan.
Akhirnya kepercayaan publik terhadap Jokowi menurun dalam hal ini. Belum juga masa kampanye, beberapa relawan sudah menarik dukungan. Malah lebih parah ada ajakan untuk golput. Sedih…
Lalu apa langkah kita? Undur diri mendukung Jokowi? Kecewa dan diam? Golput? Saya tidak! Sebagai die hard Jokowi, saya akan tetap mendukung beliau karena saya melihat pak Jokowi masih berada pada jalur yang benar membawa bangsa ini lima tahun kedepan.
Hanya saja pak Jokowi harus menunjukkkan keseriusannya membereskan persoalan hukum pada periode keduanya nanti bersamaan dengan fokusnya pada pembangunan manusia.
Bagaimana caranya? Jokowi harus memilih pendamping yang mampu meyakinkan masyarakat bahwa ia komitmen terhadap reformasi hukum. Dan saya rasa sosok Prof Mahfud MD pilihan tepat! Tokoh senior yang disegani, bisa diterima semua pihak baik pro pemerintah maupun oposisi, populer dikalangan umat muslim, minim kontroversi, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak meminang pak Mahfud.
Jika tidak ingin kalah start, saya pikir parpol pengusung pak Jokowi harus segera mendeklarasikan pak Mahfud sebagai cawapres Jokowi. Bukan apa-apa, dari berbagai pernyataannya di media, saya lihat pak Mahmud ini siap dipinang siapa saja. Ibaratnya siapa yang duluan, itulah yang diterima pak Mahfud.
Menurut pembaca bagaimana! kira-kira setuju tidak duet 2019 JAMRUD, Jokowi-Mahfud?
Om pak Mahfud aja, Om!