
I’ve been running through the jungle
I’ve been running with the wolves
To get to you, to get to you
I’ve been down the darkest alleys
Saw the dark side of the moon
To get to you, to get to you
Suara apik Selena Gomez mengalun dari audio speaker mobil anak saya saat kami mengantar si bungsu ke sekolah. Siapa menyangkal bahwa lagu romantis itu sebenarnya lagu cinta. Namun, kok saya melihat ada meminjam istilah Syahrini sesuatu banget yang sangat pas dengan sikon politik saat ini.
Di tahun politik, istilah yang lagi naik daun adalah politik dinasti. Sangat benderang di mata kita, paling tidak ada 3 keluarga presiden yang memainkannya: Soekarno, Soeharto dan SBY. Kok S semua? Saya tidak mau ikut-ikutan teori gathuk alias mencocok-cocokkan. Yang jelas, Megawati yang merupakan trah Soekarno yang pernah menduduki kursi yang sama dengan bapaknya. Soeharto? Dengan partai barunya, Partai Berkarya, Hutomo Mandala Putra yang lebih beken dengan nama Tommy Soeharto, jelas ingin meneruskan trah bapaknya.
SBY? Kentara sekali saat menaikkan Agus Harimurti Yudhoyono populer dengan sebutan AHY sebagai cagub DKI Jakarta. Meskipun mendapat suara terendah, usaha ini dianggap sebagai test the water apakah masyarakat DKI yang dianggap miniatur Indonesia bisa menerima putra mahkota ini. Apalagi AHY diuntungkan dengan syarat capres harus diusung partai politik dan menutup pintu terhadap calon independen. Kini nama AHY ramai hendak dipasangkan sebagai cawapres baik untuk Jokowi maupun yang hari-hari ini begitu santer dengan Prabowo. Lobi-lobi politik antar kedua partai sudah terjalin.
Namanya saja usaha, siapa pun yang pernah berkuasa boleh saja mencari penerus dari dinastinya sendiri. Tetangga kita Singapura, sampai sekarang masih dikuasai oleh praktik politik dinasti ini. Sedangkan Malaysia mempunyai pemimpin baru yang sebenarnya pemimpin lama yang come back. Kali ini dia didampingi oleh istri rivalnya sendiri yang pernah dia masukkan ke penjara.
Demikian juga Amerika yang meskipun menyatakan diri sebagai negara paling demokratis seduniasekali lagi katanya, he, he, hetoh kita tahu praktik politik dinasti masih terjadi. George Bush dan George H. W. Bush, yang menjabat 20 Januari 1989-20 Januari 1993, memiliki putra George W. Bush yang malah menjadi presiden dua periode yaitu 20 Januari 2001-20 Januari 2009. Bukankah Bill Clinton pun mendukung istrinya yang bertarung di piplres yang lalu, meskipun kalah?
Orang tua mana pun tentu menginginkan anaknya sukses dan mewujudkan impian yang kadang berubah menjadi ambisi buta berharap anaknya menduduki kursi yang dulu didudukinya. Jika kursi itu keras, panas dan penuh kutu, ortu pasti menginginkan anaknya yang sebaliknya, yaitu tidak mengikuti jejaknya. Namun, jika kursi yang pernah didudukinya itu empuk, sejuk dan penuh kenikmatan siapa yang tidak ingin mewariskannya ke keturunannya?
Sebenarnya, apa itu politik dinasti? Dari laman Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, saya mendapatkan definisi ini: Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.
Saya tidak alergi dengan kerinduan keluarga seperti itu. Misalnya dokter ingin anaknya jadi dokter. Pengacara beken yang bergelimang uang dari hasil praktik hukumnya menikmati kemewahan tiada tara, wajar jika menginginkan anaknya ikut menjalani dan mengalami kehidupan demikian. Pengusaha pasti tidak ingin usaha yang sudah dirintisnya sejak masih jadi teri sampai meraksasa jadi gurita lepas begitu saja. Saya oke jika prosesnya berjalan dengan profesional dan demokratis. Jika anak-anak mereka mampu dan mau, mengapa tidak?
Namun kalau sekadar mau tapi tidak mampu, jangan dipaksakan, agar tidak mampus. Bukan hanya mati kutu karena diserang orang luar, melainkan digerogoti oleh kutu ketidakpercayaan diri dari dalam. Bukan hanya itu, politik dinasti juga rawan penyalahgunaan kekuasaan. Power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely. Begitu yang pernah saya dengar.
Laman yang saya baca, secara tegas menyatakan, Lembaga Negara Pengawal Konstitusi, politik dinasti merugikan. “Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, demikian tulis AG Paulus, Purwokerto, tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru.
“Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural.”
Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural. Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.
Artinya, penghalalan segala cara agar ambisi pribadi terjadi. Hal itu bisa dicegah jika pemilih cerdas dalam menyikapi politik dinasti ini. Sebesar apa pun syahwat kekuasaan bercokol, jika pemilih ogah mencoblos, nama yang dikarbit otomatis gembos. Bukan Jos Gandhos, melainkan Mbledhos!
Justru di sinilah akar permasalahanya. Kita yang berada di grass root terlalu polos untuk dicakoki minuman oplos. Berita bohong, ujaran bodong dan kampanye sundel bolong kita telan begitu saja karena gigi sudah ompong. Kita tidak punya taring sehingga tidak bernyali memilih yang memang dipersiapkan dengan baik untuk bertanding. Meskipun, untuk itu kita merisikokan diri sendiri dengan berlari bersama serigala.
Cinta pada pandangan pertama, memang buta. Mengapa? Karena kita tidak tahu isi. Yang kita lihat hanya kemasan. Di sinilah pencitraan jadi laku keras. Cilakanya, kita gampang terpikat oleh kemasan tanpa peduli isinya sudah expired dan mulai membusuk entah karena usia atau karena lebih besar hasrat ketimbang bakat. Atau sebaliknya, kita memilih pemimpin yang ganteng yang sebenarnya belum mateng (eufemisme untuk kata masih mentah).
Dengan memilih tokoh yang tidak kokoh, apalagi yang tidak senonoh, tanpa sadar kita akan roboh bersamanya. Atau jadi korbannya. Jika kita berani berlari bersama serigala, kita betul-betul seperti domba di tengah serigala yang siap mencabik-cabik daging kita dan meninggalkan tulang belulang kita begitu saja. Jika kita salah memilih pemimpin yang korup, maka bukan saja negara yang digerogoti, daging dan tulang kita pun akan habis dimangsa.
Selena Gomes yang berkolaborasi dengan electronic dance music producer and DJ, Marshmello, di dalam lagunya yang ngehits, Wolves, menggambarkan fenomena ini dengan menarik. Marshmellow adalah penganan empuk yang jauh lebih nikmat saat dibakar yang merupakan kegemaran saya saat winter, cocok dengan analogi ini. Sebagai pemilih awam yang tidak smart, kita bisa jadi makanan empuk para politisi busuk yang sengaja menggoreng isu untuk memenangkan dirinya. Jika sudah termakan, kita seperti yang dilantunkan Selena Gomez, rela menjalani gang-gang paling gelap untuk mengikuti idola kita, meskipun ironinya, kita sudah tahu sisi buruk dari bulan impian kita.
Mengapa dan bagaimana kita bisa menjadi seperti sapi yang dicucuk hidungnya sehingga mengekor dan mengikut ke mana pun idola kita pergi, meski hanya dibekali nasi bungkus? Selena Gomez menjelaskannya dengan cerdas:
I’ve looked for love in every stranger
Took too much to ease the anger
All for you, yeah, all for you
Ketika negara kita anggap tidak lagi memberi rasa aman, menyediakan rumah yang nyaman, dan cukup pakan, kita marah besar. Apalagi ketika Surabaya yang dikenal sebagai barometer keamanan nasional ikut kecolongan bom bunuh diri di tiga gereja. Negara dianggap tidak tegas. Jika negara lemah, pemimpin perlu diganti. Begitu logika berpikir sebagian kita, sehingga #2019GantiPresiden dan #DiaSibukBekerja berbenturan di Car Free Day. Untuk meredam kemarahan kitameskipun semu dan sementarakita rela mencari cinta kepada setiap orang asing yang mampu menyediakan, entah dari mana dan bagaimana dia memperolehnya. Meskipun ganteng, kalau serigala, mengapa harus dikencani, apalagi dinikahi?
Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.