Jakarta-Menanggapi pernyataan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, yang berpendapat bahwa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) mengenai larangan mantan narapidana korupsi mengajukan diri sebagai calon legislator yang sudah harus diberlakukan.
Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Ajub Suratman memberikan klarifikasi atas pernyataan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari.
Menurut Ajub, bahwa PKPU tersebut tidak segera diundangkan menjadi peraturan perundang-undangan karena materinya bertentangan dengan undang-undang yang ada, serta aturan yang ada di atasnya. Selain itu, materi PKPU tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan peraturan yang lebih tinggi.
“Sehingga bila diundangkan dikhawatirkan menimbulkan keresahan dan kebingungan di masyarakat,” ujarnya.
Ajub menegaskan, bahwa PKPU yang mengatur larangan mantan narapidana koruptor menjadi calon anggota legislatif tersebut bertentangan dengan konstitusi yang mengatur hak asasi, yakni hak memilih dan dipilih.
Hal itu dikarenakan menunjuk Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 yang menegaskan bahwa Peraturan KPU mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Pada Pasal 87 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur: Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 87:
Berlakunya peraturan peruundang-undangan yang tidak sama dengan tanggal pengundangan dimungkinkan untuk persiapan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Sementara mantan napi korupsi tidak diperintahkan berdasarkan Undang-Undang Pemilu, dan juga bukan diatur melalui Peraturan KPU karena bukan merupakan kewenangan KPU,” ucap Ajub.
Ajub menambahkan, pendelegasian atau yang diperintahkan untuk diberikan pengaturan kepada KPU didasarkan dalam Pasal 75 ayat (4), adalah peraturan KPU yang substansi atau materi muatannya berkaitan dengan pelaksanaan tahapan pemilu.
Sedangkan larangan bagi mantan narapidana koruptor untuk menjadi calon anggota Legislatif merupakan materi yang substansinya berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 merupakan materi muatan Undang-Undang, bukan materi muatan peraturan Badan atau Peraturan Lembaga, termasuk peraturan KPU.
Tidak hanya itu, menurut Ajub, pencabutan Hak Asasi Manusia atau hak politik seseorang hanya dapat dilakukan melalui Undang-Undang atau melalui Putusan atau penetapan Pengadilan atau Putusan Hakim, yang sejalan dengan asas hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur haruslah dianggap bahwa putusan hakim selalu dianggap benar, dimana putusan tersebut dijatuhkan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ajub juga mendasarkan keyakinannya itu sejalan dengan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VIII/2015, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-VIII/2015.
Menurutnya dari semua putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan, bahwa ketentuan yang mempersyaratkan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih tidak bertentangan dengan UUD 1945 itu sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan konstitusi
Lebih lanjut, meski posisi KPU sebagai lembaga terhormat, kapasitasnya terbatas pada pembuatan peraturan teknis dan tidak bisa merambah pada norma hukum yang bukan menjadi kewenangannya. Juga di sisi lain KPU tidak bisa mengelak dari kewajiban mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi.
“Jadi, kewenangan KPU itu membuat peraturan teknis pelaksanaan Pemilu, bukan norma hukum yang menjadi subtansi materi Pemilu,” tutur Ajub menjelaskan. (*hms). [kemenkumham]