Berbicara soal sampah, mengingatkan akan artikel pertama saya sebagai penulis saat masih belajar di bawah bimbingan Madame X. Isinya sangat standar sekali, lebih merupakan kumpulan-kumpulan informasi dari berbagai artikel dengan disisipi opini yang minim. Yang untungnya diloloskan oleh guru saya, dengan rasa frustasi karena lelah mengoreksinya, hahahaha…
Kali ini saya akan menulis soal sampah lagi, terutama sampah plastik, tentu saja dengan berbagai penyempurnaan, dengan opini yang lebih banyak namun tetap informatif.
Isyu soal sampah plastik sebenarnya merupakan isyu lama yang sudah dibahas berulang kali oleh berbagai media dan kalangan. Agak mencuat ke permukaan saat ditemukan Seekor paus sperma yang mati di perairan Pulau Kapota, Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada bulan November 2018 kemarin.
Yang mengejutkan adalah ditemukannya 5,9 kilogram sampah dalam perut paus sperma tersebut.
Paus sperma bukanlah satu-satunya makhluk laut pengkonsumsi plastik. Bahkan ikan-ikan yang kita konsumsi selama ini diperkirakan mengandung plastik juga, hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Kapus Penelitian Laut Dalam LIPI Dr Ir Augy Syahailatua yang menyebutkan adanya sampah plastik di dalam tubuh berbagai jenis ikan, termasuk ikan tuna.
Seakan masih belum cukup, Untuk kali pertama dalam sejarah, para peneliti dari Newcastle University di Inggris, menyebutkan adanya plastik di perut makhluk-makhluk yang berada di enam lautan terdalam bumi.
Penelitian ini dipublikasikan di jurnal Royal Society Open Science. Salah satu laut terdalam bumi adalah Palung Mariana yang kedalamannya diperkirakan mencapai 19,8 km (hampir 2,5 kali gunung tertinggi dunia, Himalaya). Artinya apa? Artinya tidak ada tempat yang luput dari pencemaran sampah plastik di muka bumi ini.
Itu baru kita bicara soal sampah plastik saja, bukan sampah secara keseluruhan. Karena sampah buatan manusia bahkan sudah mencemari luar angkasa. Diperkirakan ada lebih dari setengah juta ton sampah dari yang sebesar kelereng, dan lebih dari 20.000 jenis sampah seukuran bola kasti atau lebih besar lagi yang berserakan di orbit Bumi.
Kembali ke pembahasan utama kita, soal sampah plastik. Banyaknya sampah yang bertebaran lebih merupakan kebiasaan buruk manusia itu sendiri. Seberapa sering kita melihat orang yang membuang sampah sembarangan di negara ini. Mulai dari puntung rokok, bekas minuman dan makanan, bungkus permen, bekas peralatan rumah tangga yang berbahan plastik dan banyak lagi lainnya, termasuk kantong plastik yang kita peroleh dari toko tempat kita berbelanja.
Sampah-sampah ini lah yang sebagian karena hujan, masuk ke parit, atau dibuang langsung oleh manusia ke sungai. Dari sungai bermuara ke lautan, akibatnya lautan menjadi tempat penampungan sampah raksasa di dunia. Beberapa jenis sampah akan hancur menjadi serpihan kecil yang disebut Micro plastic yakni hasil pelapukan sampah plastik.
Serpihan-serpihan itu sangat mudah termakan oleh ikan dan biota laut lainnya. Dan pada gilirannya ikan maupun biota laut tersebut dikonsumsi oleh manusia, padahal plastik memgandung zat karsinogen yang merupakan pemicu kanker. Tidak heran bila kasus penderita kanker meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut Indonesian Journal of Cancer tahun 2017, terdapat 14 juta kasus baru kanker dengan 8,2 juta kematian akibat kanker di dunia. Bahkan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 70 persen dalam 20 tahun mendatang. Walau tidak disebutkan plastik adalah penyebab utamanya, namun ada dugaan kuat, plastik turut memegang peranan.
Bila dalam film Aquaman, saat adegan daratan dihajar Tsunami. Pembawa berita di dalam film memberikan komentar seperti ini, “Kita bisa lihat laut seolah memuntahkan seluruh sampah yang pernah dibuang manusia ke dalamnya, termasuk sebuah bangkai kapal selam.”
Mungkin Tsunami sampah sudah benar-benar terjadi dalam bentuk penyakit tanpa kita sadari selama ini. Karena kanker bukanlah satu-satunya penyakit yang ditimbulkan oleh plastik. Selain kanker masih ada cacat lahir, gangguan imunitas, gangguan endokrin dan penyakit berbahaya lainnya.
Lantas bagaimana dengan Indonesia sendiri? Berdasarkan laporan dari Bank Dunia Tahun 2015, diketahui bahwa marine debris yang didominasi oleh sampah plastik di Indonesia diperkirakan menduduki peringkat ke-2 di dunia. Jumlahnya sekitar 1,29 juta metrik ton per tahun, setelah Tiongkok yang sebanyak 3,53 juta metrik ton per tahun.
Tahun 2018, Menteri KKP Susi Pudjiastuti menegaskan kembali bila Indonesia adalah penyumbang sampah terbesar nomor dua dunia setelah Tiongkok. Bahkan dirinya menyebutkan, Tahun 2030 kalau tidak dikurangi, akan terdapat lebih banyak sampah dari pada ikan.
Beberapa komunitas kecil telah menggaungkan 3R (Reuse, Reduce dan Recycle) sejak berpuluh tahun yang lalu, namun dampaknya tidak signifikan. Tanpa dukungan pemerintah, efeknya pun sangat kecil. Memang benar bila per tanggal 1 Maret 2019 ini, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) telah mengeluarkan kebijakan Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG).
Malah Aprindo pernah melakukan uji coba kantong plastik berbayar selama periode 21 Februari hingga 31 Mei 2016. Namun sayangnya terhenti sama sekali pada tanggal 1 Oktober 2016. Hal ini akibat belum kunjung terbitnya Peraturan menteri (Permen) sebagai payung hukum dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kini Aprindo kembali mengeluarkan kebijakan Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG), lagi-lagi tanpa payung hukum berupa Permen dari KLHK. Akankah kebijakan itu akan kembali tenggelam beberapa bulan ke depan? Entahlah. Yang jelas banyak yang menyangsikan bila program kantong plastik berbayar ini akan efektif menurunkan tingkat pemakaian sampah plastik. Apalagi biaya yang dikenakan hanya Rp. 200/lembar.
Alternatif lain yang dapat kita lakukan adalah menggunakan kantong plastik Biodegradable. Yakni kantong plastik yang dapat terurai dengan lebih cepat. Namun sayangnya masih banyak yang salah kaprah. Kantong plastik Biodegradable bila terurai pun masih menjadi bubuk plastik yang malah akan meracuni tanah. Dan juga masih ada kemungkinan termakan oleh hewan ternak seperti ayam dan sapi.
Inovasi lainnya adalah menggunakan kantong plastik Compostable, yakni kantong plastik berbahan organik yang dapat terurai dengan cepat serta tidak berbahaya. Kelebihan plastik ini adalah dapat larut dalam air, hancur 90 hari di dalam tanah dan menjadi kompos bagi tanaman. Inovasi kantong plastik dari singkong ini malah sudah mendunia.
Yang luar biasanya lagi, penemu kantong plastik berbahan dasar Singkong adalah orang Indonesia sendiri yang berasal dari Bali. Teknologi ini sebenarnya sudah muncul lebih dulu di Eropa, hanya saja bahan dasarnya bukan dari Singkong.
Sayangnya ongkos produksi dan peralatan untuk menghasilkan kantong plastik tersebut masih mahal dibandingkan kantong plastik konvensional.
Lagi-lagi disinilah peran pemerintah diharapkan. Misalnya dengan memberikan keringanan pajak bagi perusahaan-perusahaan pembuat kantong plastik agar mau beralih memproduksi kantong plastik yang compostable tersebut. Untuk mesin-mesinnya dapat dibantu dari sisi pemberian insentif yang didapat dari hasil menaikkan bea impor biji plastik misalnya.
Di sisi lain, ini juga merupakan peluang usaha bagi para petani singkong. Apalagi bila mengingat pemakaian kantong plastik yang luar biasa banyaknya, tentu membutuhkan singkong dalam jumlah yang sangat besar juga.
Dengan demikian, masalah sampah dari kantong plastik yang ditemukan oleh Alexander Parkes, ahli kimia asal Inggris yang lahir di Birmingham pada 29 Desember 1813 ini, dapat teratasi. Sedangkan untuk peralatan plastik lainnya agar tidak larut dalam air tentu bisa dilakukan penelitian lebih lanjut. Namun untuk bisa sampai ke sana, sepertinya perjalanan masih akan panjang.
Menempatkan menteri yang memiliki kaliber dan kualitas seperti Susi Pudjiastuti di KLHK mungkin merupakan langkah awal yang bagus.