
Menjelang tengah malam. Saya sedang dalam perjalanan pulang dari stasiun kereta api di bandara
internasional Kingsford Smith Sydney menuju Middleton. Saat berada di Adelaide untuk tugas bicara,
saya menyaksikan perilaku warga yang tidak santun di jalan.
Saat naik bus dari city menuju ke aparteman saya di sebelah University of Adelaide, saya disuguhi pemandangan yang tidak elok. Tiga pemuda naik bus sambil menenteng skateboard masing-masing. Mereka curang dengan tidak membayar ongkos bus sesuai aturan. Sudah begitu, saat ditegur, mereka berani membantah sopirnya.
Kembali ke Sydney, di atas train dari city ke suburb, di hadapan saya kembali tersaji suguhan yang tidak
sedap. Tiga bocah laki-laki naik train sambil membawa sepedanya ke atas. Bukan itu masalahnya. Di atas
kereta mereka bikin ribut. Saat ditegur polisi yang kebetulan ada di atas kereta mereka tetap ngeyel dan
tidak menghormati otoritas sama sekali. Saya dengar polisi mengancam untuk menurunkan mereka jika
terus-menerus bikin onar.
Berikutnya, dua bocah laki-laki terus-menerus menekan tombol hijau yang memisahkan antara gerbong
saya dengan gerbong mereka. Begitu pintu terbuka mereka teriak-teriak gembira tanpa peduli orang-
orang di kereta yang sedang tidur kecapekan karena bekerja sepanjang hari. Yang menjengkelkan, sang
ibu diam saja saat mengetahui kenakalan anak-anaknya.
Saat berhenti di sebuah stasiun, mereka turun naik gerbong. Mereka begitu senang saat bisa naik
gerbong tepat sebelum pintu otomatis menutup. Tindakan yang sangat berbahaya, karena sebelumnya
di Sydney ada orang yang terjatuh di rel kereta api dan meninggal dunia.
Di tanah air, ketidaksantunan dipertontonkan di muka publik. Seorang guru di Bali dicandain muridnya
sampai marah. Murid-murid yang lain ikut menertawakan guru itu, bahkan guyonan itu diunggah ke
medsos. Di Martapura, seorang murid menampar gurunya yang berusia 59 ditampar wali murid sampai
gigi palsunya hampir tanggal.
Sebelumnya, dua peristiwa memalukan terjadi hanya dalam selang waktu tidak terlalu lama. Seorang
istri jenderal menampar petugas bandara karena diminta melepaskan arloji yang dipakainya. Berikutnya,
seorang dokter militer menampar petugas aviation security di areal pemeriksaan. Sebagian besar
warganet mengomentari peristiwa itu sebagai arogansi kekuasaan.
Jika kita menengok ke belakang, unjuk kesombongan di tempat publik itu bisa memenuhi sebuah
ensiklopedia. Seorang bupati yang ditegur karena tidak memakai helm saat mengunjungi rakyatnya
malah mengancam untuk mengerahkan massa untuk berdemonstrasi.
Seorang anggota dewan menduduki tempat penumpang lain di atas pesawat dan marah-marah saat diminta turun. Seorang wakil bupati yang sekaligus artis menyinggung perasaan wartawan saat hendak diwawancarai. Seorang
anggota TNI menerobos pintu penghalang tol. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Dan seterusnya.
Karena begitu sering disuguhi berita ketidaksopanan orang-orang terpandang membuat saya tidak lagi
kaget saat membaca dua perempuan anggota legislatif di Taiwan saling cekik dan tarik rambut gara-gara
ricuh kala membahas anggaran. Bukankah anggota dewan kita pun tidak kalah garang jika berada di
ruang sidang?
Ruang sidang di pengadilan yang sebenarnya tempat yang sakral dan harus dihormati pun ternyata ada
terdakwa yang melempar sepatu ke hakim.
Sikon yang panas ini membuat saya rindu bernostalgia dengan kesejukan masa lalu. Saya pernah
membaca kisah seorang ibu pedagang di Pasar Beringharjo, Jojga. Suatu kali dia meminta seorang bapak
yang sedang mengendarai jeep untuk menolongnya untuk mengantarkannya ke pasar.
Begitu turun, ibu itu hendak membayar dan ditolak oleh pengemudi jeep yang baik hati. Dia sempat menggumamkan kalimat—kalau tidak salah—menyesalkan kesombongan sopir jeep itu. Alangkah kagetnya dia begitu tahu dari pedagang di sekitarnya bahwa yang baru saja mengantarnya adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Raja Jogja.
Sebagai orang yang pernah tinggal di Jogja, tentu saja saya bangga dengan Sultan saya yang begitu
bersahaja dan nrimo tanpa nggrundel diperlakukan rakyatnya begitu. Begitu dalam jurang yang memisahkan kesopanan zaman dulu dengan arogansi masa kini.
Ungkapan ‘Dasar Ndeso’ yang dulu dianggap hanya sebagai olok-olok antar konco dolan dan pemanis pergaulan bisa dilaporkan ke aparat karena diunggah di media sosial.
Di sisi lain, ketika seorang presenter TV kondang turun lewat tembok pemisah dan bukan lewat tangga
di salah satu situs bidaya di Jogja, banyak netizen yang memprotesnya. Sultan Jogja yang sekarang, Sri
Sultan Hamengkubuwono X pun dengan arif dan bijak mengampuninya dengan pesan untuk tidak
mengulangi perbuatannya dan menghormati situs budaya.
Sebagai dosen ilmu komunikasi, saya melihat ironi yang begitu mengiris hati dan menggerus kalbu. Di
satu sisi, kita marah melihat arogansi orang lain. Di sisi lain, menyampaikan umpatan via medsos yang
tidak kalah arogannya.
Apa yang salah di sini? Salah satu hal yang menggelayut di—meminjam istilah Hercule Poirot—sel-sel
abu-abu di belakang tengkorak saya adalah PEMBIARAN. Terlalu lama orang-orang yang bikin onar
dibiarkan sehingga orang yang merasa berkuasa bisa bertindak “sak karepe dewe” dan seenak udelnya
sendiri.
Sebaliknya, orang yang tidak mempunyai privilase seperti mereka hanya bisa mencaci dan
mengutuk tindakan itu di media sosial dengan kata-kata yang kurang santun pula. Haruskah
ketidaksantunan dibalas dengan sikap, ucapan, dan tindakan yang tidak santun juga?