Belajar di sekolah, akan menghadirkan ilmu pengetahuan dalam diri kita, sedangkan belajar dari universitas kehidupan, akan menjadikan kita semakin arif dalam memaknai arti sebuah kehidupan. Seperti kata pribahasa “Belajar sejak dari buaian, hingga keliang lahat.” Banyak orang menganggap bahwa petatah petitih tersebut sudah usang dan kuno, serta tidak lagi relevan dengan kehidupan yang serba modern dan canggih. Justru disinilah letaknya, mengapa belakangan ini, banyak sekali orang pintar, tapi bertindak bodoh.
Banyak orang terpelajar, tapi tidak terdidik. Karena mengira, bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku universitas, bahkan mungkin dari salah satu universitas beken di dunia, Padahal ilmu yang didapat dari universitas, serta sekantung ijazah yang berhasil digondol, hanya sebatas memahami sebagian dari disiplin ilmu. Sementara usia manusia tidak cukup untuk dapat memahami semua ilmu kehidupan yang diajarkan di university of life.
Hidup Adalah Pembelajaran Diri Tanpa Akhir
Hidup adalah proses pembelajaran diri tanpa akhir. Belajar dari pengalaman hidup sendiri dan belajar juga dari pengalaman hidup orang lain akan menghadirkan kearifan hidup dalam diri untuk memaknai arti sebuah kehidupan yang sedang kita jalani. Memahami bahwa setiap manusia memiliki kelebihan, tapi sekaligus mempunyai kekurangan. Karena itu tak ada alasan bagi kita untuk merasa lebih hebat dari orang lain, karena hanya akan menghanyutkan kita kepada keangkuhan diri.
Kesombongan hanya akan mempersempit ruang gerak hidup kita, keangkuhan diri hanya mempertinggi tempat kita jatuh. Sekali kita terpeleset dan jatuh, maka akan sangat susah untuk bisa bangkit lagi. Namun bila kita rendah hati adalah ibarat orang berjalan ditanah datar. Seandainya entah karena apa, terpeleset dan jatuh, maka segera bisa bangun dan bangkit berdiri lagi. Bagi orang yang sudah pernah mengalami hidup morat-marit, pasti sudah mendapatkan pelajaran hidup yang sangat berharga, untuk tidak pernah menyombongkan diri larena memahami, bahwa apa yang dimiliki hari ini, belum tentu esok hari masih menjadi milik kita.
Rendah Hati Jembatan Segala Perbedaan
Ada begitu banyak buku-buku dan tulisan yang mengulas panjang lebar, tentang bagaimana dapat menjalin persahabatan, lintas perbedaan. Baik beda suku, bangsa, budaya, latar berlakang kehidupan maupun agama.
Bahkan orang berani mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk dapat ikut seminar-seminar pencerahan diri, agar dapat meningkatkan kualitas hidup dalam segala keberagaman. Namun yang terjadi ketika orang baru ”turun gunung” untuk mempraktekkan semua teori yang sudah dipelajari dan dilengkapi dengan inspirasi, serta motivasi berbagai seminar dengan pembicara yang bertaraf nasional, ternyata gagal. Karena ada satu hal yang terlupakan atau terlewatkan dan justru merupakan kunci atau password keberhasilan, yakni ”rendah hati”
Rendah Hati Mudah Diucapkan Tapi Sulit Dipraktikan
Rendah hati sangat mudah diucapkan, tapi perlu orang lulus dari ilmu kehidupan, yakni mampu berdamai dengan diri sendiri, untuk dapat berdamai dengan diri orang perlu mengalahkan dirinya sendiri.
Memahami bahwa segala kelebihan yang ada pada diri kita, tidak akan bermakna apapun bagi kehidupan bila tidak diikuti dengan pemantapan kepribadian.
- Bila kita merasa pintar, jangan lupa banyak orang yang lebih pintar dari kita.
- Merasa kaya, jangan lupa, apa yang dimiliki, bisa jadi bagi orang lain hanya recehan.
- Apa yang kita miliki hari ini, belum tentu besok akan tetap milik kita
- Biarkanlah orang merasa dirinya lebih hebat dari kita.
- Karena tidak akan mengurangi apapun dari diri kita.
- Memahami bahwa setiap orang berhak berbeda dari kita.
- Menerima perbedaan bukan berarti kehilangan jati diri.
Rendah Hati Menjembatani Perbedaan
Dengan modal kerendahan hati, maka akan menjadi kunci untuk menyembatani segala perbedaan, bukan hanya menjadi password pembuka pintu rumah orang lain, tetapi sekaligus menjadi password untuk membuka hati orang banyak. Menikmati hidup tanpa musuh, sungguh-sungguh merupakan hidup yang sangat damai dan menyenangkan. Apalagi memiliki sahabat dari Sabang hingga Merauke, dari berbagai suku, budaya dan latar belakang sosial dan agama.
Menerima perbedaan, bukanlah berarti kita kehilangan jati diri !
Tjiptadinata Effendi