Walaupun sudah berlalu puluhan tahun, tapi pesan dari Paman saya, yang masih melekat pekat dalam hati, adalah “Jangan hidup seperti ayam”. Yang mengais setiap hari hanya untuk dihabiskan pada hari itu juga. Pada waktu itu, kalimat yang diucapkan oleh paman saya di kala hidup kami masih morat marit sungguh terasa sangat melukai hati. Tapi kemudian saya sadar, bahwa maksudnya adalah untuk mencambuk saya, agar bekerja keras dengan cermat, agar jangan hidup seperti ayam, yang tahunya cuma mengais dan makan.
Nasihat orang lain terhadap kita, bisa disikapi dengan marah atau sakit hati, tapi sebaliknya bila kita bisa berpikiran jernih, sesungguhnya dapat dijadikan cambuk diri, agar sadar dan mengubah sikap mental dalam menjalani hidup ini. Sehingga kelak tidak berbuah penyesalan. Berawal dari nasihat yang awalnya terasa menusuk ke dalam kalbu, kemudian ketika menyadari pesan moral yang terkandung di dalamnya, saya sungguh berterima kasih kepada Paman saya. Ia telah mengingatkan diri saya, agar jangan sampai “rabun ayam”
Apa yang dimaksudkan dengan “rabun ayam”, tentu semua kita sudah tahu. Silakan memperhatikan kehidupan seekor ayam yang sedang asyik mengais ngais tanah dan mematuk apapun yang bisa dimakannya, karena seluruh perhatiannya tertuju pada apa yang ada di depan matanya.
Istilah ini disematkan kepada seseorang yang hanya mampu melihat apa yang ada di depan matanya, namun tidak dapat melihat jarak jauh. Nah, bila dijadikan kilas balik dalam kehidupan nyata banyak orang yang secara tidak sadar telah terbelenggu oleh “penyakit rabun ayam” ini.
Terlena Oleh Kenyamanan Sesaat
Banyak orang yang begitu terobesesi oleh kenikmatan sesaat, dinina bobo kan oleh berbagai pujian serta sanjungan atau berleha-leha merasakan hidup yang sudah mapan, sehingga lupa bahwa hidup bukan untuk hari ini, bulan ini, atau tahun ini, melainkan akan terus berlanjut.
Setiap kali ada kesempatan pulang kampung, di samping merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri dapat melepas kangen bertemu sanak keluarga dan teman teman semasa muda, tapi tak urung terkadang saya tak mampu membendung jatuhnya air mata, menyaksikan betapa sahabat saya yang semasa muda merupakan sosok yang kaya dan jaya. Sebagai seorang Pengusaha Kayu kini duduk di kursi reyot, menangisi saat-saat kelam dalam perjalanan hidupnya, karena perusahaannya bangkrut dan seluruh aset termasuk rumah tempat tinggal disita oleh bank.
Pak Alwi (bukan nama sebenarnya), tidak banyak bercerita tapi wajahnya yang sayu dan pucat, serta tangisannya yang pecah dalam pelukan saya sudah lebih dari cukup untuk menceritakan kondisinya, dalam menjalani hari-hari tuanya. Walaupun sesungguhnya, usianya terpaut 9 tahun lebih muda dibandingkan usia saya, tapi tampak kentara seakan sudah sangat renta.
Menyesal Setelah Semuanya Terlambat
Di masa jayanya, siapa yang tidak tahu pak Alwi di kota Padang? Semua orang akan menyapanya, sambil membungkuk hormat. Karena dirinya adalah pengusaha sukses yang senang mentraktir siapapun yang duduk sarapan pagi bersamanya. Begitu pak Alwi berbicara maka semua orang yang duduk semeja dengan dirinya, diam dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Begitu pak Alwi ketawa, maka semua orang yang ada di sana akan ikut tertawa walaupun sesungguhnya mereka tidak paham apa yang sedang ditertawakan.
Terbuai oleh sanjungan dan kenikmatan menjadi pusat perhatian, menyebabkan ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kongkow-kongkow bersama teman-teman, sehingga tidak lagi fokus pada usahanya yang pada masa itu sedang mengalami masa-masa keemasan. Lupa bahwa kebocoran sekecil apapun, dapat menyebabkan sebuah kapal tenggelam
Nasi Sudah Jadi Bubur
Pak Alwi yang dulunya dikagumi dan disanjung, kini sudah berubah total. Kalau dirinya bukan sahabat saya, mungkin saya tidak akan mengenalnya lagi, karena penampilannya sudah berubah total. Walaupun saya sangat ingin membantu, namun di dunia ini mana ada orang yang dapat menanggung beban hidup orang lain?
Belajar di bangku sekolah akan memberikan kita ilmu pengetahuan. Belajar dari Universitas Kehidupan akan memberikan kita pencerahan, bahwa suatu waktu masa keemasan akan berlalu. Meratapi apa yang sudah terjadi, tak akan mengubah apapun. Malahan justru akan menoreh luka semakin dalam. Karena itu, selagi belum terlambat, mari kita lakukan introspeksi diri. Agar jangan sampai menangisi nasib yang sudah jadi bubur
Tjiptadinata Effendi