Di tengah upaya pencarian para korban pesawat Lion Air JT 610 yang jatuh di perairan Karawang Jawa Barat. Kabar duka pun muncul kembali dengan meninggalnya salah seorang penyelam dari Indonesia Diving Rescue Team (IDRT), Syahrul Anto meninggal saat ikut dalam pencarian.
Kejadian tersebut berlangsung pada Jumat, 2 November 2018 sekitar pukul 17.00 WIB.
Walaupun Anto sempat dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Koja untuk mendapat bantuan medis namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Saat dibawa ke rumah sakit, Anto sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Meski belum diketahui detail kejadiannya, namum ada dugaan bila Anto meninggal akibat atau decompression sickness, yaitu keadaan medis di mana akumulasi nitrogen dalam tubuh selama menyelam menggelembung dan menyumbat aliran darah serta sistem syaraf. Keadaan itu seperti stroke yang sangat mematikan.
Bedanya, pada penyakit stroke penyumbat pembuluh darah adalah trombus (bekuan darah), sedangkan pada decompression sickness penyumbatnya adalah gelembung udara (nitrogen). Efeknya mirip, yaitu mati rasa, lumpuh, hingga kehilangan kesadaran. Adapun efek ringan dari dekompresi antara lain nyeri sendi, nyeri otot, atau gatal-gatal di kulit.
Decompression sickness sendiri biasanya terjadi usai penyelaman dalam laut atau ruang tertutup (misal proyek pembangunan terowongan bawah tanah) dan kembali lagi menuju permukaan. Namun dekompresi juga bisa terjadi saat tekanan udara dalam pesawat menurun.
Saat menyelam, jaringan tubuh menyerap nitrogen dari tabung gas untuk bernapas untuk menyesuaikan dengan tekanan sekitar. Jika tekanan tersebut berkurang terlalu cepat, nitrogen akan keluar dan membentuk gelembung-gelembung dalam jaringan dan aliran darah.
Biasanya, kondisi tersebut terjadi akibat penyelam yang melanggar atau terlalu dekat pada batasan Diving table. Diving table adalah tabel yang digunakan untuk menghitung sisa nitrogen yang ada dalam tubuh anda pada saat dan setelah anda melakukan penyelaman.
Gelembung yang terbentuk di dalam atau di dekat sendi merupakan penyebab terduga munculnya rasa nyeri otot. Saat gelembungnya terlalu banyak, reaksi kompleks dapat terjadi di tubuh, biasanya di tulang punggung atau otak. Mati rasa, lumpuh dan gangguan fungsi otak juga bisa terjadi.
Apabila sejumlah besar dekompresi terlewati dan gelembung masuk ke aliran darah pembuluh vena, gejala kongestif di paru-paru dan syok sirkulasi dapat terjadi. Pada kondisi ini, penyelam bisa jadi pingsan dan apabila tak segera ditangani dapat berujung kematian.
Decompression sickness dapat terjadi tak diduga dan acak. Faktor utamanya adalah penurunan ambien tekanan, namun ada faktor risiko lain yang diketahui seperti penyelaman dalam atau panjang, air dingin, latihan keras di kedalaman dan terlalu cepat naik ke permukaan.
“Faktor-faktor lainnya yang diduga dapat meningkatkan risiko dekompresi namun belum cukup banyak bukti adalah obesitas, dehidrasi, latihan keras usai naik ke permukaan dan penyakit pernapasan. Ditambah adanya faktor risiko individual, yang menyebabkan beberapa penyelam bisa mengalaminya lebih sering ketimbang yang lain padahal mereka mengikuti pelatihan selam yang sama,” tulis situs Divers Alert Network.
Secara sederhananya, Decompression sickness dapat disebut sebagai gelembung udara di dalam cairan tubuh yang mengembang secara mendadak saat penyelam naik ke permukaan air secara tiba-tiba. Ibaratnya, saat kita membuka botol air berkarbonasi, dengan tiba-tiba akan terlihat gelembung udara.
Decompression sickness juga merupakan momok yang mengerikan bagi para nelayan yang mencari nafkah dengan menyelam ke dasar laut. Adalah Pak Halir dan Anharuddin nelayan asal Simeulue, Labuan Bajau (Bajo). Merupakan dua contoh korban penyelaman. Pak Halir lumpuh anggota badannya, Dia merasakan lumpuh pada pinggang hingga ke persendian bawah dan kedua belah kakinya.
Hal yang sama dialami pulau Anharuddin, 50 tahun. Dia terkena lumpuh sejak belasan tahun lalu. Kala itu, dia terlalu cepat naik kepermukaan ketika melakukan penyelaman. Akibatnya kepalanya pusing dan mual hingga tak sadar anggota badannya sukar digerakkan. Kini mereka berdua, hanya mondar mandir dari pantai ke rumah. Roda ekonomi ditanggung anak-anaknya yang sudah mulai beranjak remaja, bahkan ada yang sudah berkeluarga.
Apa yang dialami oleh kedua nelayan Labuan Bajau di Simeule tersebut juga dialami oleh nelayan pada wilayah lain di Indonesia seperti penyelam di pulau-pulau Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Spermonde di Sulawesi Selatan maupun nelayan di Maluku dan Nusa Tenggara.
Menurut US Navy Diving Manual Revision 5, risiko terjadinya dekompresi pada orang yang menyelam selama 1 jam adalah 42 persen, pada penyelaman 3 jam 60 persen, penyelaman 8 jam risikonya 83 persen, dan penyelaman 24 jam risiko mengalami dekompresi 98 persen.
Untuk mengatasi itu, penderita dekompresi harus segera dibawa ke rumah sakit dengan fasilitas hiperbarik oksigenasi, seperti di RSAL Mintohardjo. Metode pengobatan disebut selam kering. Dalam ruang hiperbarik, pasien diberi terapi tekanan tertentu selama waktu tertentu. Tujuannya melarutkan gelembung udara, kemudian tubuh diberi kesempatan melepaskan perlahan-lahan.
Korban dapat sembuh jika diterapi dalam jangka waktu kurang dari enam jam setelah kejadian. Jika lebih dari itu, jaringan yang tersumbat dikhawatirkan telah mati sehingga ada gejala sisa.
Di lapangan, jika hal ini terjadi dan penyelam masih sadar, korban dapat dibawa kembali ke kedalaman sekitar 9 meter dan diberi oksigen murni. Jika tidak tersedia oksigen murni, cukup membawa penyelam ke kedalaman semula, kemudian naik ke permukaan sesuai prosedur sehingga nitrogen yang terlarut terlepas dari tubuh.
Karena kurang informasi dan keterbatasan fasilitas, penyelam tradisional cenderung menggunakan alat seadanya, seperti kompresor tambal ban, untuk memasok udara saat menyelam ke dasar laut. Mereka bekerja sampai setengah hari di dalam laut untuk mengambil teripang, kerang, dan sisa barang di kapal karam. Hal itu berisiko tinggi terhadap kesehatan.
Mungkin saja mereka sudah tahu resikonya namun seolah tak menghiraukan bahaya yang mengancam. Tuntutan ekonomi dan kompetisi hidup yang semakin ketat menjadi pemicu pertaruhan nasib mereka di laut.
Bawah laut bukanlah alam bagi manusia. Banyak hal bisa terjadi ketika kita tidak dapat beradaptasi. Namun dengan prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan didukung kemajuan teknologi dan penelitian serta memerhatikan aturan penyelaman, kita dapat mengeksplorasi bawah laut dengan aman.
Semoga pengorbanan Syahrul Anto dalam upayanya mencari para korban pesawat Lion Air JT 610 yang jatuh di perairan Karawang Jawa Barat. Dapat menjadi inspirasi bagi kita semua.
Dilansir dari berbagai sumber
Trailer Dekompresi Dan Syahrul Anto
https://youtu.be/EnU_KvgIgqE