Indovoices.com-Sidang penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan telah digelar empat kali di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Duduk sebagai terdakwa ialah dua polisi, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette.
Tim Advokasi penyidik senior KPK itu menilai ada 9 kejanggalan dalam proses persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara itu. Mulai dari dakwaan hingga keterangan saksi.
“Proses persidangan itu masih jauh dari harapan publik untuk bisa menggali fakta-fakta sebenarnya (materiil) dalam kasus ini,” kata salah satu anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana, dalam keterangannya kepada wartawan.
Kejanggalan Pertama
Dakwaan penyerangan terhadap Novel hanya dinilai sebagai tindak pidana penganiayaan biasa. Selain itu, perbuatan itu tak dikaitkan dengan pekerjaan Novel selaku penyidik KPK.
“Dakwaan Jaksa Penuntut Umum sangat bertentangan dengan temuan Tim Pencari Fakta bentukan Polri untuk kasus Novel Baswedan yang menemukan bahwa motif penyiraman air keras terhadap Novel yang berkaitan dengan kasus-kasus korupsi besar yang ditanganinya,” papar Kurnia.
Tim Advokasi Novel juga menilai dakwaan tidak memuat keterangan soal siapa pihak yang menyuruh melakukan penyiraman air keras itu.
Tim menduga dakwaan merupakan skenario penutupan aktor intelektual dan upaya memberikan hukuman ringan kepada para pelaku.
Kejanggalan Kedua
Jaksa dinilai tak menjadi representasi negara yang mewakili kepentingan korban, tapi malah membela kepentingan kedua terdakwa. Terlihat dalam penerapan pasal terhadap terdakwa hanya penganiayaan biasa.
“Padahal sudah jelas-jelas bahwa perbuatan pelaku dapat mengancam nyawa Novel. Selain itu, dalam dakwaan disebutkan bahwa air yang digunakan untuk menyiram wajah Novel berasal dari aki,” kata Kurnia.
“Anehnya, meski telah disebut saksi korban, nama dan informasi penting mengenai kemungkinan keterlibatan aktor lain, jaksa tidak menggali lebih lanjut,” sambung peneliti ICW itu.
Kejanggalan Ketiga
Majelis hakim dinilai pasif dan tak objektif mencari kebenaran materiil di persidangan. Hakim dinilai tak menggali rangkaian peristiwa secara utuh dalam persidangan. Khususnya peristiwa sebelum terjadinya penyerangan untuk menggali bahwa hal tersebut dilakukan secara terorganisir dan sistematis.
Saat Novel menjadi saksi, hakim dinilai cenderung hanya gali fakta soal kejadian 11 April 2017 silam.
“Hakim harus aktif dan berani untuk menemukan kebenaran di tengah keraguan publik dan juga korban sendiri bahwa dua orang terdakwa itu adalah aktor yang menyiram wajah Novel,” kata Kurnia.
Kejanggalan Keempat
Keempat, terdakwa didampingi kuasa hukum dari Polri. Hal itu dinilai menimbulkan konflik kepentingan, lantaran Polri pula yang mengusut perkara ini.
Tim Advokasi Novel pun mempertanyakan proses penyidikan. Sebab, kuasa hukum terdakwa dan penyidik berasal dari institusi yang sama.
“Terdapat konflik kepentingan yang nyata yang akan menutup peluang membongkar kasus ini secara terang benderang dan menangkap pelaku sebenarnya, bukan hanya pelaku lapangan namun juga otak pelaku kejahatan,” kata Tim Advokasi.
Kejanggalan Kelima
Tim Advokasi Novel menduga adanya manipulasi barang bukti di persidangan. Mulai dari CCTV tak dihiraukan hingga ada dugaan intimidasi pada saksi-saksi penting.
“Tak hanya itu, sidik jari pun tidak mampu diidentifikasi kepolisian pada gelas dan botol yang dijadikan alat untuk melakukan penyiraman terhadap Novel,” kata Kurnia.
Selain itu, bukti baju muslim yang dikenakan Novel saat kejadian pun disoroti Tim Advokasi. Sebab, baju itu disebut terpotong bagian depannya terpotong.
Padahal, ujar Kurnia, baju itu dalam keadaan utuh saat kejadian. Diduga, potongan itu ialah bagian yang terkena siraman air keras.
Kejanggalan Keenam
Jaksa dinilai mengaburkan fakta bahwa Novel disiram air keras. Jaksa justru mengarahkan dakwaan bahwa air yang mengakibatkan kebutaan Novel Baswedan bukan air keras.
“Bahkan dalam persidangan, Penasehat Hukum terdakwa sempat menanyakan terkait benar atau tidak kebutaan yang dialami oleh Novel Baswedan,” kata Kurnia.
Kejanggalan Ketujuh
Kasus kriminalisasi terhadap Novel kembali diungkit dalam persidangan. Kasus Sarang Burung Walet itu dinilai sengaja diarahkan untuk memojokkan Novel dan mengaburkan fokus perkara.
“Padahal sudah berulang kali ditegaskan berdasarkan temuan Ombudsman tahun 2015 bahwa terdapat rekayasa dan manipulasi pada tudingan tersebut,” kata Kurnia.
Kejanggalan Kedelapan
Tim Advokasi menilai ada upaya menghilangkan keterangan seorang saksi kunci di persidangan. Namun tak dirinci siapa saksi kunci yang dimaksud.
Tim Advokasi menyebut saksi itu telah memberikan keterangan kepada Kepolisian, Komnas HAM, TGPF bentukan Polri. Namun berkas BAP-nya tidak masuk dalam berkas Pemeriksaan Persidangan.
Selain itu, Tim Advokasi menilai saksi yang penting dan relevan juga tidak dihadirkan.
“Hal ini merupakan temuan dugaan pelanggaran serius, bentuk upaya sistematis untuk menghentikan upaya membongkar kasus penyerangan Novel Baswedan secara terang,” kata Kurnia.
“Ini tentu sangat merugikan proses persidangan yang seharusnya dapat mendengar keterangan saksi yang dapat memberikan keterangan petunjuk untuk mengungkap kebenaran kasus ini,” sambungnya.
Kejanggalan Kesembilan
Saat pemeriksaan saksi di pengadilan pada 30 April, ruang sidang dipadati oleh aparat kepolisian serta sejumlah orang lain yang diduga sudah dikondisikan.
“Bangku pengunjung yang mestinya dapat digunakan secara bergantian oleh seluruh pengunjung, ‘dikuasai’ oleh orang-orang yang tertentu sehingga publik maupun kuasa hukum dan media yang meliput tidak dapat menggunakan fasilitas bangku pengunjung untuk memantau proses persidangan,” ungkap Kurnia.
Desak KY dan MA Mengawasi
Atas sembilan kejanggalan itu, Tim Advokasi meminta Badan Pengawas Mahkamah Agung RI, Komisi Yudisial, dan Ombudsman RI untuk mengawal berjalannya sidang. Selain itu, Komisi Kejaksaan juga diminta mengawasi kinerja tim jaksa penuntut umum.
Tim Advokasi juga meminta Komnas HAM hadir di persidangan untuk memberikan keterangan.
“Menyampaikan pendapat berkenaan dengan hasil penyelidikannya terkait Kasus Penyerangan Novel Baswedan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sesuai dengan kewenangannya dalam Pasal 89 ayat (3) UU HAM untuk mendukung pengungkapan kasus secara terang benderang,” kata Kurnia.
Selain itu, Tim Advokasi meminta Polri menjelaskan dasar penunjukan kuasa hukum dari korps Bhayangkara untuk mendampingi kedua terdakwa di persidangan.(msn)