Indovoices.com -Ironi itu bernama Indonesia. Meski negeri ini kaya akan aneka sumber daya alam, namun angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), masih ada 25,1 juta penduduk yang dikategorikan miskin. Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar penduduk miskin itu berada di daerah dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Papua.
“Dengan mudah kita bisa melihat kemiskinan ada di sana, di sekitar lokasi tambang atau hutan yang seharusnya bisa menjadi sumber untuk mensejahterakan mereka,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat membuka kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Menjerakan Pelaku Kejahatan SDA dan Lingkungan Hidup Melalui Pendekatan Pemulihan Kerugian Negara & Pemulihan Kerusakan Hutan, di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi.
Menurutnya, hasil tambang atau kekayaan alam seharusnya bisa memberikan kesejahteraan kepada masyarakat di sekitarnya dan dapat menaikkan Penghasilan Asli Daerah (PAD). Namun, perilaku korup para pengusaha dan pejabat daerah, justru membuat daerah merugi.
“Biaya retribusi yang tidak dibayarkan sesuai dengan kegiatan yang mereka (perusahaan) lakukan, pasti dampaknya menjadi kerugian daerah.”
Dalam kajian KPK terkait pengelolaan SDA, lanjut Alex, proses perizinan menjadi titik rawan terjadinya tindak pidana korupsi yang berujung pada kerusakan lingkungan. Jika dicermati, tata ruang yang tidak jelas, justru menjadi celah korupsi bagi kepala daerah yang memperjual-belikan izin.
“Tata ruang akhirnya menjadi tata uang. Uang untuk mendapatkan izin,” sindir Alex.
Alex menjelaskan bahwa KPK telah berupaya menindak sekaligus menuntut biaya pemulihan lingkungan kepada pelaku korupsi, misalnya di Sulawesi Tenggara. KPK ingin biaya pemulihan lingkungan juga dibebankan kepada perusahaan dan menjadi pengembalian kerugian negara.
Namun, pihak majelis hakim tidak dapat mengabulkan hal itu. Menurutnya, perkara tindak pidana korupsi hanya menghitung kerugian negara yang bersifat nyata dan dapat dihitung, bukan berdasarkan asumsi.
“Sementara kalau kita mau menghitung kerusakan lingkungan, pasti banyak asumsi dari para ahli. Biaya pemulihan alam tidak bisa kita bebankan untuk tindak pidana korupsi,” jelas Alex.
Berdasarkan hal itu, KPK mengajak berbagai pihak seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (E-Sdm), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta masyarakat sipil untuk bersinergi memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
“Kalau kami bisa menindak korupsinya, hadirin sekalian bisa menindak perilaku perusakan lingkungannya, itu akan menjadi sangat efektif. Bisa membuat mereka jera.”
Selama ini, menurut Alex, apa yang telah dilakukan belum menimbulkan efek jera. Pelaku dengan mudahnya bisa membuat perusahaan baru dan mengulangi perbuatannya. Apalagi, perusahaan tersebut tidak membuka beneficial ownership secara transparan.
Oleh karena itu, pihak terkait seperti Kementerian E-SDM dan KHLK dapat menambah efek jera lewat menuntut biaya pemulihan kerusakan alam. Alex lalu menjelaskan bahwa kementerian terkait bisa menggunakan fakta persidangan yang dmiliki KPK sebagai landasan menghitung kerugian kerusakan alam dan menuntut biaya pemulihan alam.
Ia berharap forum ini dapat membangun sinergi dan menciptakan sebuah persepsi yang sama untuk memberi efek jera pelaku korupsi yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Sinergi ini akan mendorong para investor menjadi perusahaan yang profesional dan berintegritas.
“Kami tidak ingin menghambat investasi, karena pemerintah juga sangat berkepentingan untuk meningkatkan investasi. Tapi, kami ingin investasi yang masuk ke Indonesia juga benar-benar taat pada peraturan.”
FGD ini dihadiri berbagai narasumber seperti Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK Jasmin Ragil Utomo, Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara Roni Saputra, dan Badan Litbang Pendidikan dan Latihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Bambang Hery Mulyono.(kpk)