Setelah menunggu dua tahun lebih, akhirnya revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme disahkan DPR pada hari ini Jumat, 25 Mei 2018.
Dengan adanya landasan UU ini, akan memudahkan pihak kepolisian untuk melakukan penindakan. Bila pada UU sebelumnya, penindakan hanya dapat dilakukan bila teroris telah melakukan aksinya. Maka sekarang dengan adanya UU tersebut, kepolisian sudah dapat bertindak bila ada indikasi terorisme terhadap satu kelompok meskipun masih dalam tahap perencanaan.
Kepolisian juga diberikan wewenang untuk menangkap orang-orang yang melakukan dakwah yang mengajarkan radikalisme karena munculnya teroris berawal dari radikalisme. Dengan adanya UU tersebut, posisi kaum teroris dan pendukungnya yang kerap disebut sel tidur akan semakin terjepit.
Hal ini dipertegas oleh pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang memberikan pilihan supaya kelompok teroris tersebut insyaf atau angkat kaki dari Indonesia.
“Ancaman terbesar adalah ancaman terhadap ideologi negara. Teroris juga? Iya, dia (ingin) ganti khilafah. Kalau enggak mau Pancasila, ya jangan di sini, emangnya tanah nenek moyangnya,” kata Ryamizard di Mako Divisi Infanteri I Kostrad, Cilodong, Depok, Jawa Barat, Selasa 22 Mei 2018.
Presiden Jokowi saat membuka rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa 22 Mei 2018, juga turut menyuarakan bahkan memberikan perintah kepada bawahannya untuk memberangus terorisme dengan mengintegrasikan pendekatan hardpower dengan softpower.
Jokowi mengatakan, selama ini pemerintah fokus pada pendekatan hardpower dalam menangani terorisme. Di mana lembaga terkait lebih mengedepankan pencegahan dengan penegakkan hukum tegas, keras, dan tanpa kompromi.
Contohnya memburu dan membongkar jaringan teroris sampai ke akar-akarnya. Menurut Jokowi, langkah itu saja tidak cukup untuk memberantas terorisme sehingga dibutuhkan pendekatan softpower.
Pendekatan softpower yang dimaksud oleh beliau adalah tidak hanya fokus pada penguatan program deradikalisasi kepada mantan narapidana teroris, tetapi juga pembersihan lembaga-lembaga mulai dari TK, SD, SMP, SMA, SMK, perguruan tinggi, dan ruang-ruang publik.
“Termasuk membersihkan mimbar-mimbar umum dari ajaran ideologi terorisme,” sambung Jokowi.
Hal inilah yang memang sudah kita harapkan sejak lama, apalagi mengingat munculnya radikalisme itu berawal dari dakwah yang dilakukan oleh ustad-ustad radikal untuk mempengaruhi umat yang mendengarkan ceramahnya.
Tidak hanya dunia pendidikan, radikalisme bahkan sudah merasuk ke berbagai instansi pemerintahan. Terbukti dengan ditangkapnya beberapa oknum PNS yang mengumbar kata-kata tidak pantas yang bahkan cenderung mendiskreditkan pemerintah. Malah ada karyawan BUMN yang menyuplai dana untuk para teroris dalam melakukan aksinya.
Melalui berbagai tulisan yang sudah pernah saya tulis, berulang kali saya mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan mengatasi ajaran radikal ini dengan menggandeng ustad-ustad NU menggantikan ustad-ustad radikal dalam memberikan dakwah.
Tidak hanya di masjid-masjid umum, namun juga di instansi-instansi pemerintah, sekolah, pesantren serta berbagai tempat lainnya. Jangan berikan panggung untuk ustad-ustad radikal, termasuk diberbagai stasiun televisi.
Hanya memang setelah saya pikirkan kembali, saat itu pemerintah belum menemukan momentum yang tepat, dan bila dipaksakan, justru akan menjadi gorengan kaum radikal seakan-akan pemerintah menzolimi umat agama tertentu.
Bila isu ini dipergunakan oleh para bajingan dan bedebah khilafah tersebut untuk menghasut masyarakat, maka efeknya bisa dimanfaatkan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah saat ini.
Beruntunglah Tuhan masih mencintai Indonesia, walaupun harus melalui jalan pahit dengan jatuhnya banyak korban baik dari pihak kepolisian maupun masyarakat umum, saat pemberontakan para napiter di Mako Brimob, diikuti serangan bom yang meledak dibeberapa gereja Surabaya dan beberapa kantor kepolisian.
Namun kejadian tersebut mampu membuat mata masyarakat terbuka dan menyadari bahwa disekitar kita banyak berkeliaran sel-sel tidur terorisme yang dapat bangun sewaktu-waktu untuk melakukan aksinya. Suara-suara desakan dari masyarakat agar revisi UU Terorisme segera disahkan malah semakin menguat.
Sedangkan usaha penggiringan opini bahwa kejadian terorisme itu hanyalah rekayasa oleh sekelompok orang dan pendukung atau simpatisan dari partai tertentu, malah mengalami kegagalan.
Kejadian ini juga menyadarkan masyarakat akan adanya partai-partai tertentu yang malah lebih bersimpati kepada si teroris itu sendiri, daripada kepada korban kepolisian maupun masyarakat umum yang dapat kita ketahui melalui pernyataan kader-kadernya diberbagai media.
Tentu saja pernyataan-pernyataan tersebut sekaligus membuka topeng seperti apa partai politik tempat kader tersebut bernaung. Semoga saja hal ini menjadi pengingat yang baik bagi masyarakat, saat memutuskan kemana pilihan mereka akan berlabuh di pileg dan pilpres 2019 nanti.
Ratas (Rapat Terbatas) Jokowi, Perangi Terorisme, 22 Mei 2018
https://youtu.be/zWm49bcSyhY