Indovoices.com –Integritas calon kepala daerah dipertaruhkan setelah mereka terpilih di dalam kontestasi pilkada. Calon kepala daerah yang pada saat proses pemilihan dibiayai pencalonannya oleh pihak ketiga atau sponsor, memiliki kecenderungan untuk memenuhi keinginan sponsor yang telah membantunya.
Tren tersebut justru mengalami peningkatan dalam tiga penyelenggaraan pilkada serentak pada lima tahun terakhir. Hal itu diketahui berdasarkan survei Direktorat Penelitan dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada 2015, KPK menemukan calon kepala daerah yang bersedia memenuhi keinginan sponsor mencapai 75,8 persen. Sedangkan pada 2017 persentase itu naik menjadi 82,2 persen, dan kembali meningkat pada 2018 menjadi 83,8 persen.
Praktik menggadaikan kekuasaan, kata Ketua KPK Firli Bahuri, berpotensi memunculkan praktik tindak pidana korupsi ketika kepala daerah yang telah dibantu itu, berkuasa.
“Alasan kepala daerah ini sudah menggadaikan kekuasaannya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya pilkada. Kalau itu sudah terjadi, sudah tentu akan terjadi praktik korupsi, dan tentu juga akan berhadapan dengan masalah hukum,” kata Firli saat Webinar Nasional Pilkada Berintegritas 2020, Selasa (20/10/2020).
KPK mencatat, tak kurang dari 695 kasus korupsi terjadi di 26 provinsi sepanjang kurun 2004-2020. Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat pertama dengan jumlah kasus korupsi terbanyak yaitu 101 kasus. Disusul kemudian Jawa Timur (93 kasus), Sumatera Utara (73 kasus), Riau dan Kepulauan Riau (64 kasus), serta DKI Jakarta (61 kasus).
Bahkan pada 2018, ada 30 kepala daerah yang ditangkap Komisi Antikorupsi itu karena praktik rasuah.
“Bahkan 2018 itu tertinggi kasus korupsi yang tertangkap. Saya harus katakan itu, kasus korupsi tertinggi yang tertangkap karena bisa saja banyak yang belum tertangkap,” kata Firli seperti dilansir dari Antara.
Ongkos politik tinggi
Jenderal polisi bintang tiga itu mengungkapkan, tingginya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah tidak terlepas dari biaya politik yang tinggi yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah saat kontestasi.
Dalam indept interview yang dilakukan KPK, Firli mengungkapkan, biaya kontestasi politik yang harus dikeluarkan pasangan calon kepala daerah beragam. Mulai dari Rp 5-10 miliar, bahkan ada yang menyebut hingga Rp 65 miliar. Itu, imbuh dia, hanya untuk pemilihan di level bupati/wali kota.
Padahal, bila melihat laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang disampaikan pasangan calon kepala daerah ke KPK, rata-rata hanya Rp 18 miliar dan juga ada yang kurang dari itu.
“Dari hasil penelitian kita bahwa ada gap antara biaya pilkada dengan kemampuan harta calon. Bahkan dari LHKPN itu minus. Jadi, jauh sekali dari biaya yang dibutuhkan saat pilkada,” kata dia.
Hal itulah yang kemudian membuat calon kepala daerah bersedia menerima bantuan dari sponsor. Survei KPK menemukan, 82,3 persen pasangan calon kepala daerah mengakui bahwa mereka dibantu sponsor di dalam proses kontestasi tersebut.
Namun, bantuan yang diberikan bukanlah bantuan yang sifatnya cuma-cuma. Firli menyebut, ada kepentingan tertentu di balik pemberian bantuan dana yang diberikan kepada calon kepala daerah.
“Orang mau membantu karena ada tiga hal, satu adalah calon kepala daerah memiliki janji akan memenuhi permintaan dari pihak ketiga kalau menang,” kata dia.
Oleh karena itu, Firli mengingatkan agar masyarakat memilih calon kepala daerah yang berintegritas pada pilkada mendatang. Menurut dia, kurangnya integritas menjadi salah satu pemicu terjadinya korupsi kepala daerah.
“Korupsi terjadi karena adanya kekuasaan, kesempatan dan kurangnya integritas,” kata Firli. (msn)