Indovoices.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima kedatangan Indonesia Corruption Watch (ICW) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (10/1). Lima Pimpinan KPK Agus Rahardjo, Alexander Marwata, Saut Situmorang, Basaria Panjaitan, dan Laode M Syarif mengadakan pertemuan dengan anggota ICW yang diwakili oleh Kurnia Ramadhana, Tama S Langkun, Almas Sjafrina, dan Egi Primayogha.
Dalam pertemuan itu, ICW memaparkan hasil kajian mengenai tren penanganan perkara kepala daerah. Isinya adalah tren penanganan korupsi kepala daerah sejak KPK berdiri. Kajian tersebut turut mengungkapkan faktor penyebab maraknya korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Menurut Peneliti ICW Almas Sjafrina, integritas kepala daerah seharusnya sudah menjadi syarat utama sejak partai politik mengajukan calonnya.
“Nyatanya, partai politik masih saja mengajukan calon kepala darah yang nyatanya pernah melakukan kasus korupsi atau sedang berstatus tersangka dan terdakwa,” kata Almas.
Selain itu, biaya politik yang tinggi juga menjadi salah satu alasan mengapa korupsi yang dilakukan kepala daerah selalu berulang. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana berharap, KPK dapat memaksimalkan tuntutan pidana penjara koruptor. Soalnya sejak KPK berdiri, ICW mencatat rata-rata tuntutan yang diajukan KPK hanya 7 tahun 5 bulan. “Sementara pidana korupsi kalau dilihat pasal-pasal tipikor bisa sampai 20 tahun atau seumur hidup,” ujar Kurnia.
Selain pidana penjara, ICW juga merekomendasikan agar kpk memaksimalkan hukuman pencabutan hak politik dan uang pengganti terhadap kepala daerah yang terjerat kasus korupsi serta meletakan kembali fungsi trigger mechanism bagi lembaga penegak hukum lain dengan memaksimalkan peran tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK).
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengapresiasi masukan dan rekomendasi dari ICW. Menurutnya kajian ini merupakan masukan yang baik dan dapat mengoreksi kinerja KPK demi aksi pemberantasan korupsi yang lebih baik di masa depan. Basaria menyampaikan penangkapan kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi semakin marak karena ada faktor tersendiri. “Soal hukuman ini memang perlu dievaluasi,” kata Basaria.