Indovoices.com –Jaksa Pinangki Sirna Malasari buka suara soal kasus dugaan korupsi terkait kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA) yang menjeratnya.
Ia menyampaikan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) yang dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Rabu (30/9/2020).
Pada kesempatan itu, ia membantah telah menerima uang 500.000 dollar Amerika Serikat dari Djoko Tjandra seperti yang didakwakan JPU.
“Terdakwa tidak pernah meminta ataupun menerima uang sebesar 500.000 dollar AS, baik dari Joko Soegiarto Tjandra ataupun dari orang lain,” kata kuasa hukum Pinangki, dikutip melalui tayangan akun YouTube KompasTV.
Suap tersebut diduga terkait kepengurusan fatwa di MA untuk Djoko Tjandra, narapidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali yang kala itu masih buron.
Fatwa diduga menjadi upaya agar Djoko Tjandra tidak dieksekusi dalam kasus Bank Bali sehingga ia dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani vonis dua tahun penjara di kasus itu.
Menurut JPU, uang 500.000 dollar AS itu merupakan uang muka dari total 1 juta dollar AS yang dijanjikan Djoko Tjandra.
Untuk melancarkan permintaan fatwa ke MA, JPU menduga ada proposal action plan yang dibuat berisikan 10 poin rencana aksi.
Namun, Pinangki mengaku tidak pernah membuat action plantersebut. Ia juga mengaku tidak pernah menyerahkan action plan itu kepada Djoko Tjandra.
Pinangki sekaligus membantah telah meminta tolong kepada Anita Kolopaking maupun Andi Irfan Jaya untuk mengurus fatwa tersebut ke MA. Nama keduanya juga disebut dalam surat dakwaan.
Ia pun mengaku tidak pernah memberikan uang 50.000 dollar AS kepada Anita Kolopaking seperti tertuang dalam surat dakwaan.
Pinangki juga membantah soal permintaan uang dari dirinya kepada Djoko Tjandra.
“Terdakwa tidak pernah meminta uang sebesar 10 juta dollar AS kepada Joko Soegiarto Tjandra, baik secara langsung maupun melalui orang lain, dalam rangka pengurusan fatwa MA,” tutur dia.
Pertemuan dengan Djoko Tjandra
Lewat eksepsi itu, Pinangki menceritakan kronologi pertemuannya dengan Djoko Tjandra.
Pinangki mengaku dikenalkan kepada Djoko Tjandra oleh seseorang bernama Rahmat.
Hal itu berbeda dari surat dakwaan yang menyebutkan bahwa Pinangki minta dikenalkan kepada Djoko Tjandra.
Menurut Pinangki, ia menerima kedatangan Rahmat yang mengenalkan diri sebagai pengurus Koperasi Nusantara pada Oktober 2019.
Pada bulan berikutnya, Rahmat menghubungi Pinangki dan mengatakan akan mengenalkan kepada seorang konglomerat di Malaysia.
“Kemudian dihubungi oleh Rahmat dan diajak untuk ke Kuala Lumpur pada tanggal 11 November 2019, di mana pada saat itu Rahmat mengatakan akan memperkenalkan seorang konglomerat di Malaysia bernama Joe Chan,” ucap kuasa hukum.
Pinangki mengaku sempat menolak. Namun, ia akhirnya mengiyakan karena merasa tidak enak dan diyakinkan Rahmat bahwa pertemuan akan berlangsung sebentar dan pulang di hari yang sama.
Pertemuan terjadi di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 12 November 2019. Pinangki disebut telah membayar tiket perjalanan secara tunai kepada Rahmat.
Pada pertemuan itu, Djoko Tjandra disebut mengenalkan diri dengan memberi kartu nama dengan tulisan Joe Chan kepada Pianngki. Ketiganya kemudian membahas soal pembangunan kompleks gedung milik Joe Chan.
Pertemuan kedua terjadi di Kuala Lumpur pada 19 November 2019. Pada pertemuan ini, Anita Kolopaking yang akan berangkat ke Thailand ikut transit di Kuala Lumpur.
Menurut kuasa hukum, Pinangki, Rahmat, Anita, dan Joe Chan sempat makan durian setelah bertemu di kantor Joe Chan.
Baru pada pertemuan ketigalah Pinangki dikatakan mengetahui identitas asli Joe Chan yang merupakan Djoko Tjandra.
Saat itu, 25 November 2019, kuasa hukum Pinangki mengatakan Djoko Tjandra yang menceritakan masalah hukumnya ke Pinangki.
“Pada saat itu terdakwa hanya mengatakan, ‘Bapak dieksekusi saja karena cuma dua tahun’, selebihnya terdakwa dan Joe Chan hanya bercerita soal bisnis yang dibangun olehnya selama ini,” ujar kuasa hukum.
Nama Jaksa Agung Burhanuddin
Dalam eksepsinya, Pinangki menyinggung soal nama Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin dan mantan Ketua MA Hatta Ali yang terseret dalam kasus tersebut.
Nama kedua pejabat itu disebut dalam action plan Pinangki.
Akan tetapi, Pinangki justru mengaku tidak pernah menyebut dua nama pejabat tersebut selama proses penyidikan maupun penuntutan.
“Perihal nama Bapak Hatta Ali, mantan Ketua Mahkamah Agung, dan Bapak Burhanuddin, Jaksa Agung RI, yang ikut dikait-kaitkan namanya belakangan ini dalam permasalahan hukum terdakwa,” kata kuasa hukum Pinangki.
“Sama sekali tidak ada hubungannya dan terdakwa tidak pernah menyebut nama beliau, dalam proses penyidikan dan penuntutan perkara terdakwa,” kata dia lagi.
Menurut dia, Pinangki hanya tahu Hatta Ali sebagai mantan Ketua MA, tetapi tidak pernah berkomunikasi dengan Hatta Ali.
Senada, Pinangki mengaku hanya tahu Burhanuddin sebagai atasannya di Kejagung. Pinangki disebutkan tidak mengenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan Jaksa Agung.
Kuasa hukum justru menilai ada orang-orang yang sengaja ingin menyalahkan Pinangki dalam kasus ini.
“Penyebutan nama pihak-pihak tersebut bukanlah atas pernyataan terdakwa dalam proses penyidikan, namun karena ada orang-prang yang sengaja mau mempersalahkan terdakwa, seolah-olah dari terdakwalah yang telah menyebut nama pihak-pihak tersebut,” ucap dia.
Tak hanya mengklarifikasi melalui eksepsi, Pinangki juga meminta maaf kepada Burhanuddin dan Hatta Ali lewat surat yang ia tulis tangan.
Surat itu diserahkan kepada wartawan saat Pinangki meninggalkan ruang sidang. Dalam surat itu, Pinangki kembali menegaskan tidak pernah menyebut nama keduanya.
Isu gaya hidup mewah
Pada kesempatan sidang tersebut, isu lain yang diklarifikasi oleh Pinangki yakni soal gaya hidupnya yang dianggap berlebihan dan tidak sesuai dengan pekerjaannya sebagai jaksa.
Menurut Pinangki, ia mendapatkan harta berupa mata uang asing dari almarhum suaminya, Djoko Budiharjo.
“Saat almarhum berprofesi advokat inilah terdakwa mengetahui almarhum suami menyimpan uang dalam bentuk banknotes mata uang asing,” ucap kuasa hukum Pinangki dalam sidang.
Pinangki menikah secara resmi dengan Djoko Budiharjo pada tahun 2006.
Saat pernikahan itu, Djoko Budiharjo berstatus sebagai duda. Pernikahan terjadi dua tahun setelah Djoko Budiharjo bercerai dari istri pertamanya.
Namun, pernikahan Pinangki dengan Djoko Budiharjo berakhir ketika suaminya meninggal pada 2014.
Djoko Budiharjo merupakan seorang jaksa yang pernah menjabat sebagai Kajati Riau, Kajati Sulawesi Tenggara, Kajati Jawa Barat, dan Sesjamwas.
Setelah pensiun, Djoko Budiharjo berprofesi sebagai advokat dan menabung banknotes mata uang asing tersebut untuk istrinya.
“Yang menurut almarhum adalah untuk kelangsungan hidup istrinya, karena almarhum menyadari tidak akan bisa mendampingi istrinya yang terpaut beda usia 41 tahun, sehingga almarhum pun menyiapkan banyak tabungan tersebut,” tutur dia.
Setelah itu, Pinangki menikah dengan anggota kepolisian berpangkat AKBP bernama Napitupulu Yogi Yusuf.
Keduanya membuat perjanjian pisah harta mengingat peninggalan almarhum suami Pinangki cukup banyak.
Kejanggalan
Dalam perjalanan kasusnya, Pinangki merasakan sejumlah kejanggalan yang menjadi dasar mengajukan eksepsi.
Menurut dia, penyidik tidak memiliki alat bukti yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka.
Saat menetapkan Pinangki sebagai tersangka, penyidik disebut hanya mengantongi berita acara pemeriksaan Djoko Tjandra.
Bahkan, menurut kuasa hukum, Djoko Tjandra mengubah keterangannya di pemeriksaan berikutnya.
“Keterangan Joko Soegiarto Tjandra tersebut (dalam BAP) tidak menunjukkan adanya pemberian uang yang diterima oleh terdakwa,” ucap kuasa hukum.
“Bahkan pada pemeriksaan selanjutnya, yang bersangkutan mengubah keterangannya mengenai orang yang mengantar uang permintaan Andi Irfan Jaya dari semula Kuncoro menjadi Herryadi Angga Kusuma,” kata dia.
Kuasa hukum juga menilai penyidik tidak memiliki bukti cukup terkait dakwaan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Menurut pihak Pinangki, tidak ada keterangan saksi atau alat bukti dalam berkas perkara bahwa uang yang digunakan untuk keperluan itu berasal dari Djoko Tjandra.
“Yang dilakukan penyidik dan JPU dalam menguraikan dakwaan kedua hanyalah mencocokkan tuduhan penerimaan uang sebesar 500.000 dollar AS yang tidak jelas buktinya, sebagaimana telah kami uraikan sebelumnya, dengan pengeluaran uang terdakwa,” ucap dia.
Dakwaan terakhir terhadap Pinangki adalah melakukan pemufakatan jahat dengan Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya untuk memberi 10 juta dollar AS kepada pejabat Kejagung dan MA.
Penyidik kembali dinilai tak memiliki bukti. Menurut kuasa hukum, tidak ada satu saksi pun dalam berkas perkara yang menerangkan kesepakatan ketiganya untuk memberi uang kepada pejabat tersebut.
Selain itu, kuasa hukum berpandangan, tidak diungkapkan secara jelas siapa pejabat yang akan diberi uang seandainya dakwaan itu benar.
Kemudian, bentuk pelanggaran lain menurut pihak Pinangki adalah dakwaan yang tidak berdasarkan berkas perkara serta dakwaan tidak cermat, jelas, dan lengkap.
Minta dakwaan batal demi hukum
Pihak kuasa hukum pun meminta majelis hakim menyatakan dakwaan batal demi hukum melihat banyaknya pelanggaran-pelanggaran tersebut.
“Kami mohon kepada Yang Terhormat Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo menjatuhkan putusan sela dengan amar sebagai berikut, menerima dan mengabulkan seluruh nota keberatan ini,” kata kuasa hukum.
“Menyatakan surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima atau membatalkan surat dakwaan penuntut umum atau menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum,” ucap dia.
Kemudian, Pinangki memohon majelis hakim memerintahkan persidangan tidak dilanjutkan.
Lalu, majelis hakim diminta memerintahkan agar Pinangki dikeluarkan dari tahanan, memulihkan nama baik terdakwa, dan membebankan biaya perkara ke negara.
Selanjutnya, sidang akan kembali digelar pada 7 Oktober 2020 dengan agenda mendengarkan pendapat JPU atas eksepsi terdakwa.(msn)