Indovoices.com –Dewan Pengawas (Dewas) KPK turut dimintai keterangan dalam sidang gugatan UU KPK yang baru, UU 19/2019, yang bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Dewas diwakili Tumpak Panggabean selaku Ketua dan Albertina Ho selaku anggota.
Dalam sidang tersebut, Tumpak menjawab anggapan bahwa permintaan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan kepada Dewas menghambat proses penyidikan. Perlunya izin Dewas dianggap bisa berpotensi membuat hilangnya barang bukti yang dibutuhkan penyidik. Sebab, proses yang dibutuhkan dinilai lebih lama.
Tumpak menyatakan, penyidik tetap bisa menggeledah atau menyita barang bukti tanpa memerlukan izin Dewas apabila dalam keadaan mendesak sebagaimana KUHAP. Sebab menurut Tumpak, Pasal 37B UU 19/2019 tidak mengatur bagaimana klausul pemberian izin jika dalam keadaan mendesak. Sehingga penyidik bisa menggunakan klausul yang berlaku umum dalam KUHAP jika dalam kondisi mendesak.
“Pasal 37B UU 19/2019 hanya menentukan Dewas mempunyai tugas beri izin penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan. UU 19/2019 tidak mencantumkan klausul bagaimana kalau terjadi situasi yang mendesak. Oleh karena itu, apabila ada situasi mendesak, penyidik dapat menggunakan wewenang dalam Pasal 34 dan 38 KUHAP,” ujar Tumpak dalam keterangannya di sidang MK.
Tumpak menambahkan, sikap Dewas mengenai penyitaan-penggeledahan tanpa perlu izin apabila kondisi mendesak sudah disampaikan kepada penyidik. Sehingga ia menampik apabila ada penyidik yang mengaku perlunya izin Dewas mengganggu penyidikan.
“Setelah kami terbentuk pertama kami sampaikan kepada penyidik, penuntut, penyelidik, kami kumpulkan semua dengan memberi penjelasan bagaimana kita melakukan penyelidikan, penyidikan, yang ada hubungannya dengan pemberian izin. Semua sudah memahami, tidak ada permasalahan. Sehingga kalau dibilang kami tidak beri pandangan itu tidak benar,” ucapnya.
Bahkan, kata Tumpak, pihaknya memberikan petunjuk kepada penyidik pasal apa saja yang bisa digunakan penyidik apabila dalam hal mendesak belum mendapat izin Dewas.
“Kami beri clue-clue pasal berapa saja yang bisa diterapkan apabila ada hal-hal yang sulit untuk dapatkan izin penyitaan. Contoh bagaimana kalau mau geledah, penyitaan, kalau izin belum ada, sedangkan kita sudah geledah, harus pulang dulu? Begini kita pasang police line (KPK line -red), catat apa yang mau disita, datang ke KPK, kita punya IT, dari mana bisa diminta izin kita akan layani,” kata Tumpak
“Kita juga berikan clue sesuai kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud Pasal 7 KUHAP, salah satunya wewenangnya melakukan tindakan lain yang bertanggung jawab menurut hukum kalau memang masalahnya belum dapatkan izin dari Dewas,” lanjutnya.
Setelah mendengarkan penjelasan Tumpak, hakim MK Suhartoyo mempertanyakan argumen bahwa penyidik bisa menggunakan KUHAP. Padahal dalam Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (2) KUHAP, tidak ada sama sekali disinggung peranan Dewas. Menurut Suhartoyo, kelonggaran tersebut justru berpotensi digugat secara praperadilan.
“KUHAP tidak ada hubungannya dengan Dewas, persetujuan ada di Ketua PN, nanti terjadi ambiguitas. KUHAP tidak ada disebut Dewas. Masalah penggeledahan, penyitaan berpotensi dipraperadilan, mana yang mau dipakai, izin ke Dewas atau merujuk KUHAP?” tanya Suhartoyo.
Menjawab pertanyaan tersebut, anggota Dewas KPK, Albertina Ho, menyatakan ketika penyidik sudah menggeledah dan menyita barang bukti tanpa izin lantaran keadaan mendesak, izin disusulkan ke Dewas, bukan Ketua PN. Sebab UU KPK merupakan lex specialis.
Sehingga Albertina berpendapat hal itu tidak akan menimbulkan permasalahan, termasuk ketika digugat praperadilan.
“Kami berpendapat dari Dewas itu persetujuan, bukan kepada pengadilan karena ini lex specialis. Kami coba terapkan dan baca ketentuan KUHAP masih banyak singgung masalah perizinan dari Menteri Kehakiman. Misal pindah sidang harus ada izin Menteri Kehakiman, namun ketika semua pengadilan di bawah MA, izin itu tidak dikeluarkan lagi oleh Menteri Kehakiman, tapi dikeluarkan MA,” ucapnya.(msn)